ELINA seorang guru TK yang tengah terlilit hutang warisan dari kedua orangtuanya terus terlibat oleh orang tua dari murid didiknya ADRIAN LEONHART, pertolongan demi pertolongan terus ia dapatkan dari lelaki itu, hingga akhirnya ia tidak bisa menolak saat Adrian ingin menikah kontrak dengannya.
Akankah pernikahan tanpa cinta itu bisa berakhir bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiedha saldi sutrisno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16: Hanya sebuah Permainan
Aroma bunga segar mulai memenuhi udara di kediaman Leonhart. Tak lagi hanya bau kayu tua dan keheningan aristokrat yang mendominasi, tapi ada semacam kehidupan baru yang menggeliat dari balik dinding-dinding batu dan lorong panjang berkarpet merah itu. Kesibukan tampak dari pagi hingga senja. Orang-orang lalu-lalang, membawa kain-kain lembut, mengukur lebar tangga marmer, menata meja makan panjang dengan lilin dan kristal.
Elizabeth Leonhart, sang matriark, berdiri di balkon lantai dua dengan secangkir teh di tangannya. Wajahnya teduh, tapi mata tajamnya menyoroti tiap pergerakan di halaman depan yang perlahan berubah menjadi taman pesta. Ia tidak ingin pesta pernikahan cucunya sekadar megah. Ia menginginkan sesuatu yang meninggalkan kesan mendalam, sebuah pernikahan klasik yang pantas masuk dalam sejarah keluarga Leonhart.
Tak akan ada aula hotel yang dingin dan anonim. Tidak akan ada gedung pinjaman untuk hari yang seharusnya istimewa. Rumah ini...rumah besar tempat Adrian tumbuh, tempat kenangan dan warisan keluarga ditanamkan dari generasi ke generasi, akan menjadi saksi penyatuan dua dunia yang begitu berbeda.
Elizabeth tak menyerahkan tanggung jawab ini pada sembarang tangan. Ia memanggil para profesional terbaik, desainer taman kenamaan yang biasa menata rumah-rumah bangsawan, florist yang terbiasa menyusun rangkaian untuk gala dinner keluarga kerajaan, dan koki pribadi yang telah puluhan tahun mengerti selera Leonhart. Mereka bekerja dalam diam, dengan efisiensi yang elegan, menyulap halaman belakang yang luas menjadi taman pesta dengan tenda putih, lampu gantung dari dahan pohon tua, serta lintasan batu menuju altar kecil berlatar bunga mawar putih dan biru keabu-abuan.
Adrian, meski terkesan cuek dengan segala detail pesta, tak pernah absen memantau setiap kemajuan. Ia bukan pria yang menyukai keramaian atau selebrasi besar. Tapi kali ini ia membiarkannya, karena ia tahu... ini bukan hanya tentang dirinya. Ini tentang Elina. Tentang Claire. Tentang bagaimana wanita yang telah menyentuh hidup mereka layak disambut dengan kehormatan.
Sementara itu, Claire kecil sibuk bermain di antara para pekerja, berlari dengan gaun latihan kecil yang menyerupai milik pengiring pengantin. Tertawa-tawa sambil menyeret Elina melihat susunan bunga dan meja hias, sesekali bertanya, "Apa aku akan berdiri di sebelahmu nanti, Miss Elina?"
Elina hanya tersenyum, hatinya campur aduk. Ia merasa seperti sedang berada dalam mimpi yang aneh, indah, tapi terlalu besar untuk dirinya. Namun saat melihat Claire, dan ketika Adrian menggenggam tangannya diam-diam di sela-sela waktu mereka, ia tahu... ini bukan sekadar pesta mewah. Ini adalah awal.
Di balik tirai, Elizabeth Leonhart memperhatikan semua itu dengan sorot mata yang tak bisa ditebak. Mungkin masih ada keraguan. Mungkin masih ada ketidakrelaan. Tapi satu hal pasti, ia tak akan membiarkan pesta ini menjadi biasa. Karena jika wanita itu memang akan masuk ke dalam keluarga Leonhart, maka ia akan melakukannya dengan cara Leonhart: penuh kehormatan, penuh kontrol... dan penuh makna.
...****************...
Ruang rias di kediaman Leonhart tak ubahnya sebuah galeri seni. Cermin-cermin besar berdiri di setiap sudut, memantulkan kilau lampu gantung kristal yang memecah cahaya menjadi serpihan keemasan. Di tengah ruangan itu, berdiri Elina, mengenakan gaun yang tak pernah ia bayangkan akan menjadi miliknya.
Gaun itu jatuh dengan anggun dari bahunya, dibuat dari satin murni berwarna putih gading, dihiasi sulaman tangan berwarna mutiara yang menjalar seperti urat emas di sepanjang lengan dan dada. Potongannya klasik, namun siluetnya begitu lembut, seperti membungkus tubuh Elina dengan keanggunan yang tak memaksa. Rok panjangnya mengembang ringan, dengan ekor yang menyapu lantai bagai gelombang halus. Kerudung tipis bertabur renda menyatu lembut di belakang rambut yang ditata rendah.
Desainer keluarga Leonhart, wanita paruh baya dengan reputasi yang menembus benua Eropa, mengangguk puas. "Ini gaun yang akan membuat siapa pun membungkam kritiknya," bisiknya kepada Elizabeth Leonhart yang diam mengamati dari belakang.
Namun bukan pujian sang desainer yang membekas di benak Elina, melainkan tatapan seorang pria, Adrian.
Saat pintu ruang rias terbuka dan pria itu melangkah masuk, waktu seakan membeku. Ia tak berkata sepatah kata pun. Tatapannya yang biasanya tenang dan tertahan kini tampak terbakar diam-diam. Untuk pertama kalinya, Elina melihat keterkejutan nyata dalam wajah Adrian, seolah dirinya, seorang wanita biasa, dengan masa lalu yang tak sempurna, telah berubah menjadi seseorang yang pantas berdiri di altar bersama pria sehebat dia.
"Elina..." Suara Adrian pelan, hampir tak terdengar. "Kau... menakjubkan."
Elina hanya tersenyum kecil, tangannya menggenggam lipatan rok di depannya agar tidak bergetar. Ia tahu pujian itu bukan untuk cinta. Ini semua hanya pernikahan pura-pura, sebuah pengaturan untuk menenangkan keluarga, demi Claire, demi reputasi. Tapi saat ia melihat pantulan mereka berdua di cermin, Adrian dengan tuxedo hitamnya yang dibuat khusus, dengan jas berpotongan sempurna dan dasi kupu-kupu yang membuat garis rahangnya tampak lebih tegas, mereka terlihat seperti pasangan sesungguhnya.
Terlalu sempurna.
Dan justru karena itulah, hati Elina bergetar tak nyaman. Ia tahu, kesempurnaan seperti ini hanya akan lebih sulit dilepaskan nanti. Jika segalanya tetap pura-pura... mengapa hatinya mulai berharap?
"Gaunnya pas sekali padamu," kata Adrian akhirnya, suaranya sudah kembali stabil. "Pernikahan pura-pura kita akan sangat meyakinkan."
Kata-kata itu membuat Elina tersenyum tipis, menunduk agar matanya tidak terlalu lama terkunci pada milik Adrian. Ia menjawab pelan, "Semoga yang melihatnya percaya sepenuhnya... meski yang memakainya belum tentu percaya pada dirinya sendiri."
Adrian tidak menjawab. Tapi dari sorot matanya, Elina tahu, bahkan lelaki itu pun sedang tenggelam dalam badai kecil di hatinya sendiri.
...****************...
Satu hari menjelang hari H, kediaman keluarga Leonhart berubah menjadi panggung besar yang dipenuhi oleh lalu lalang pekerja profesional. Musik lembut mengalun dari pengeras suara tersembunyi di taman belakang, tempat upacara pernikahan akan digelar. Para dekorator sibuk menata bunga-bunga putih dan biru pucat di sepanjang pagar besi tempa dan meja-meja bundar berlapis linen halus. Tenda-tenda elegan sudah berdiri, dengan lampu gantung kecil bergoyang lembut tertiup angin sore.
Elizabeth Leonhart berjalan mengelilingi halaman dengan clipboard di tangan, memeriksa setiap sudut dengan mata kritis. Ia tidak pernah main-main soal reputasi keluarga. Ini bukan sekadar pernikahan, ini adalah pernyataan. Bahwa Adrian Leonhart, cucu kebanggaannya, tetap berada dalam garis yang layak.
Namun di balik semua itu, ada sesuatu yang berubah dalam sorot mata Elizabeth. Ia mulai memperhatikan hal-hal kecil: bagaimana Claire berlarian sambil menyeret gaun kecil berenda, memanggil Elina dengan riang dan tanpa jarak, atau bagaimana Elina dengan sabar membetulkan pita rambut bocah itu sembari tersenyum penuh kelembutan. Wanita itu... memang punya kelembutan yang tulus, dan Claire merasakannya.
Elina duduk di meja riasnya, rambutnya digelung perlahan. Gaun pengantinnya tergantung di dekat jendela, memantulkan sinar mentari pagi yang lembut.
Namun hatinya... belum siap.
Pernikahan ini, seindah apa pun gaun dan pestanya, tetaplah permainan. Setidaknya begitu yang ia yakini sejak awal. Tapi semakin dekat ke hari itu, semakin sulit baginya memisahkan mana yang nyata dan mana yang hanya kesepakatan.
Claire masuk sambil membawa seikat bunga lili putih. "Miss Elina, ini bunganya buat kamu. Bunga ini cantik dan lembut... kayak kamu."
Elina tertegun. Ia meraih bunga itu, dan tanpa sadar memeluk Claire. Anak itu menyandarkan kepala mungilnya di dada Elina.
"Aku senang kamu jadi mama baruku," bisik Claire.
Elina tak mampu menjawab. Matanya hangat, tapi bibirnya tetap diam. Seandainya semua ini tidak berawal dari pura-pura, mungkinkah ia layak menerima cinta semurni itu?
Sementara itu, Adrian berdiri di balkon kamarnya, memandang ke halaman belakang. Ia menyaksikan kesibukan itu dalam diam. Tapi pikirannya penuh dengan Elina, wanita yang seharusnya hanya bagian dari solusi, kini perlahan menjadi pusat dari kegelisahannya.
Ketika pelayan mengetuk pintu dan memberitahukan bahwa semuanya berjalan sesuai jadwal, Adrian hanya mengangguk.
Pernikahan ini akan terjadi.
Tapi apakah hatinya sudah siap jika semua ini menjadi nyata?
Dan di satu sudut rumah megah itu, Elizabeth Leonhart memperhatikan Adrian dan Elina, dari jauh, dengan mata yang sudah terbiasa membaca gerak-gerik manusia. Ia tahu. Kedua anak itu perlahan sedang terseret dalam sesuatu yang jauh lebih dalam dari yang mereka kira.
Dan pesta mewah itu... bisa saja bukan akhir dari sandiwara.
Melainkan awal dari segalanya.