Rasa trauma karena mahkotanya direnggut paksa oleh sahabat sendiri membuat Khanza nekat bunuh diri. Namun, percobaannya digagalkan oleh seorang pria bernama Dipta. Pria itu jugalah yang memperkenalkannya kepada Vania, seorang dokter kandungan.
Khanza dan Vania jadi berteman baik. Vania menjadi tempat curhat bagi Khanza yang membuatnya sembuh dari rasa trauma.
Siapa sangka, pertemanan baik mereka tidak bertahan lama disebabkan oleh perasaan yang terbelenggu dalam memilih untuk pergi atau bertahan karena keduanya memiliki perasaan yang sama kepada Dipta. Akhirnya, Vania yang memilih mundur dari medan percintaan karena merasa tidak dicintai. Namun, Khanza merasa bersalah dan tidak sanggup menyakiti hati Vania yang telah baik padanya.
Khanza pun memilih pergi. Dalam pelariannya dia bertemu Ryan, lelaki durjana yang merenggut kesuciannya. Ryan ingin bertanggung jawab atas perbuatannya dahulu. Antara cinta dan tanggung jawab, siapakah yang akan Khanza pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Puluh Dua
Vania dibantu Susi dalam menangani persalinan Khanza. Dia kembali menarik napas, menghilangkan rasa gugup.
Vania kembali bertanya pada Khanza, apakah wanita itu telah siap untuk melahirkan. Kembali tampak dia menarik napas dalam dan panjang sebelum memulai membantu persalinan sahabatnya tersebut.
"Dengar Khanza, pada hitungan ke sepuluh kamu mulai mengedan'nya, ya! Sebelum itu kamu tarik napas panjang."
Vania mulai menghitung. Khanza lalu menarik napasnya sebelum mengedan. Tangannya menggenggam besi tepi ranjang. Dalam hatinya tak henti membacakan doa.
"Satu, dua ... sepuluh," ucap Vania.
Khanza tampak mulai mengedan. Tapi, tak ada tanda bayi akan keluar. Setelah di coba satu kali belum ada tanda bayi akan keluar. Vania kembali memberikan instruksi pada sahabatnya untuk kembali mencoba.
Wanita itu kembali mencoba mengedan, sampai sedikit kepalanya terangkat. Namun sepertinya belum berhasil. Khanza sudah tampak kelelahan. Susi ikut memberikan semangat pada wanita itu.
"Khanza, sekali lagi coba ya. Ini kepala bayi kamu sudah nongol sedikit. Kamu coba lagi. Tarik napas dan mengedan saja seperti orang yang mau buang air besar. Coba pegang. Ini rambut anakmu," ucap Vania.
Vania lalu meminta Khanza memegang rambut bayinya, yang mana kepala bayi itu sudah mulai tampak keluar.
"Aku sudah nggak kuat, Mbak. Capek," ucap Khanza dengan suara yang lemah.
"Mbak Khanza harus semangat. Apa Mbak tak ingin melihat wajah putranya?" tanya Susi.
"Betul, Khanza. Apa yang Susi katakan itu. Kamu harus semangat."
Khanza hanya bisa mengangguk karena memang tenaganya telah terkuras habis. Sementara itu di luar ruangan, Dipta mondar mandir menunggu kelahiran putra pertama Kanza.
"Sekarang tarik napas kuat dan hitungan ke sepuluh kamu mengedan lagi. Jangan putus hingga bayimu keluar."
Vania kembali menghitung, dan hitungan ke sepuluh, Khanza kembali mengejan. Cukup lama hingga akhirnya terdengar suara tangisan bayi.
"Alhamdulillah, selamat Khanza. Bayiku sehat," ucap Vania dengan terharu.
Vania dan Susi menyambut bayi itu dengan tersenyum. Dia lalu memotong tali pusar. Menggendongnya dan memandangi wajah tampan dari putra Khanza.
"Wajahnya sangat tampan, apakah mirip dengan ayah kandungnya," gumam Vania dalam hatinya. Vania lalu meletakkan bayi mungil itu di dada Khanza.
"Putramu tampan sekali, Khanza," ucap Vania.
Khanza lalu memandangi wajah bayi yang masih merah itu. Persis sekali dengan Ryan. Walau biasanya wajah bayi itu masih berubah-ubah, tapi tak bisa dipungkiri. Wajah putranya kembaran dari sang ayah.
Vania membantu Khanza untuk mencoba menyusui bayinya. Wanita itu seperti enggan memandangi wajah putranya.
"Khanza, coba sakali lagi. ASI pertama itu sangat baik buat kesehatan bayimu," ucap Vania dengan suara pelan.
Jika kebanyakan ibu-ibu bahagia melihat kehadiran bayi mereka ke dunia ini,berbeda dengan Khanza. Dia tampak kurang bahagia.
"Mbak, boleh bawa anak itu dulu. Aku masih capek," ucap Khanza. Air mata menetes di pipinya.
"Baiklah. Aku akan minta tolong Dipta untuk mengadzani!" ucap Vania.
Vania lalu meminta Susi untuk membersihkan Khanza. Dia lalu keluar dari ruangan. Dipta yang melihat Vania menggendong bayi langsung mengejarnya.
"Apakah ini anaknya Khanza?" tanya Dipta.
Dia melihat wajah putranya Khanza. Dalam hati Dipta mengakui ketampanannya.
"Iya, Dip. Aku bersihkan dulu. Setelah itu kamu tolong adzan'kan!" seru Vania.
"Iya, Vania. Bagaimana dengan Khanza, baik-baik saja?" tanya Dipta masih dengan raut wajah yang kuatir.
"Alhamdulillah Khanza sehat dan dalam keadaan baik-baik saja," jawab Vania.
Vania lalu membawa bayi itu ke ruangan pemeriksaan dan membersihkan. Setelah itu minta tolong Dipta mengadzani.
Mereka berdua keluar dari sana, setelah bayi di bedung dan kembali terlelap. Dia menggendong dengan lembut. Vania ingin mengajak Dipta melihat keadaan Khanza setelah melahirkan.
Mereka berjalan menuju kamar Khanza. Dipta masih terlihat khawatir, tapi Vania berusaha untuk menenangkannya. "Khanza baik-baik saja, Dip. Bayinya juga sehat, nih," kata Vania lagi, mencoba meyakinkan Dipta.
Saat mereka memasuki kamar Khanza, mereka melihat Khanza terbaring di tempat tidur, dengan wajah yang masih lelah tapi sudah terlihat sedikit bahagia. Dipta langsung menuju ke samping Khanza dan memegang tangannya. "Bagaimana keadaanmu, Sayang?" tanya Dipta dengan suara yang lembut.
Vania yang mendengar Dipta menarik napasnya. Dadanya masih terasa sakit dan nyeri mendengarnya. Walau dia sudah berusaha mengikhlaskan.
Khanza tersenyum lemah dan memandang Dipta. "Aku baik-baik saja, Mas. Sedikit lelah, tapi aku bahagia," jawab Khanza. Vania berdiri di samping mereka, memandang dengan senyum. "Aku akan meninggalkan kalian berdua sekarang. Aku masih memiliki pasien lain yang harus diperiksa," kata Vania.
Dia lalu berjalan menuju tempat tidur bayi dan menidurkan bayi itu didalamnya. Khanza saat ini telah berada di kamar pasien.
Dipta mengangguk, masih memandang Khanza dengan penuh kasih sayang. "Terima kasih, Vania. Aku sangat berterima kasih atas bantuanmu," kata Dipta. Vania tersenyum dan meninggalkan kamar, meninggalkan Dipta dan Khanza berdua.
Vania merasa ini yang paling tepat. Tetap berada di dekat mereka, dia seperti kekurangan oksigen. Merasa sesak.
Setelah Vania pergi, Dipta memandang Khanza dengan lebih dekat. "Aku sangat mencintaimu, Khanza. Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa kamu," kata Dipta dengan suara yang lembut. Khanza tersenyum dan memeluk Dipta. "Aku juga mencintaimu, Mas. Aku bahagia memiliki kamu," jawab Khanza.
"Berjanjilah, kamu tak akan pernah meninggalkan aku. Kamu adalah segalanya bagiku, Khanza. Tak pernah aku mencintai wanita seperti denganmu. Dalam cintamu, aku menemukan arti kebahagiaan yang sebenarnya.Tak ada kata yang bisa menggambarkan betapa besar cintaku kepadamu."
Semoga kalean selalu dalam lindungan Alloh SWT dan selalu di jaga oleh mama Reni 🤗🤗😍😍