Ini cerita tentang gadis yang periang, cantik dan pintar. Nina namanya, sekarang berusia 17 tahun dan telah masuk Sekolah Menengah Atas, dia tinggal bersama 2 saudarinya dan kedua orangtuanya. Mereka tinggal di sebuah desa kecil dengan pemandangan alam yang indah. Tinggal di sana bagaikan tinggal di surga, penuh dengan kebahagiaan. Namun, ada satu masalahnya. Dia diam-diam suka sama seseorang,....Ayo tebak siapa yang dia sukai yah??...
lanjut baca part-nya !
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hijab Art, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 26
"Nina akan tetap melanjutkan sekolahnya di sini. Dan aku yang akan jagain dia berhubung juga kuliahku sudah hampir selesai", Ucap Siska. Dia begitu peduli dengan adik-adiknya. Dan, ada sesuatu yang dia tahu mengenai papahnya yang membuat dia bersikap seperti itu ke anak-anaknya.
"Baiklah. Papah akan pergi malam ini", ucap papah mereka.
" Mamah baru aja meninggal, pah. Papah lebih mentingin pekerjaan dari pada kami?", Nina sudah tak tahan dengan sikap papahnya itu. Papahnya sedari dulu jarang pulang, hanya pulang ketika ada acara penting dan pergi lagi setelah acaranya selesai. Alasannya selalu pekerjaan.
Tapi, kini bukan acara penting lagi. Itu adalah hari berduka bagi keluarganya. Papahnya itu seperti tidak bisa melakukan sebagaimana seharusnya ayah bersikap pada kondisi seperti itu atau ada yang ia sembunyikan.
"Ini demi kalian juga. Papah kerja buat kalian. Kalau papah nggk kerja, kalian mau makan apa?", ucap papahnya dengan suara yang agak ditinggikan.
'Papah?, dia tidak seperti dulu lagi. Papah yang penyayang dan akan tetap berbicara lembut pada kami walaupun marah', batin Nina.
Papahnya dulu sangat menyayangi keluarganya. Bahkan, dia tidak tega berkata-kata kasar atau meninggikan suaranya dihadapan anak-anaknya. Tapi, kini semua berbeda.
" Apa tidak bisa izin dulu, pah?. Ini juga belum 3 hari. Apalagi, nanti ada acara 7 hariannya mamah.", Siska berusaha berbicara lembut agar mereka tidak tersulut emosi.
"Tidak bisa. Papah ada pekerjaan besok, jadi harus pergi malam nanti.", tegas papah mereka dan berlalu pergi memasuki area rumah bagian tengah.
" Baiklah. Kalau papah mau pergi, biarkan saja.", Ketus Nina sudah muak dengan papahnya itu. Bahkan, dia sudah tidak memanggilnya papski seperti dulu. Panggilan saat mereka ceria dan bahagia yang membuat mereka terdengar dekat.
Nina keluar dari rumah, entah apa yang dipikirkannya sekarang. Tapi, rasanya dia ingin menenangkan pikiran dan hatinya terlebih dahulu.
Nina keluar, menatap nanar motor pespa berwarna pink yang terpakir diluar. Rusaknya parah, mengingatkan ia pada mamahnya. Bahkan, kini ia tidak bisa naik motor lagi karena motornya sudah rusak.
Nina sedih dengan motornya, tapi dia lebih sedih kehilangan mamahnya. Jika waktu bisa diulang, Nina tidak akan membiarkan mamahnya naik motor sendiri. Kalau saja ia ikut dengan mamahnya, itu rasanya lebih baik.
Dia hanya berjalan meninggalkan halaman depan rumahnya yang masih berdiri kokoh sebuah bendera putih yang mengartikan seseorang telah meninggal di sana.
Tatapannya kosong, dia berjalan menyusuri jalanan berbatu.
"Nin!", panggil seseorang dari arah belakang. Walaupun Nina tidak menoleh, tapi Nina tahu betul siapa yang memanggilnya.
Roni berusaha menyejajarkan langkah kakinya dengan langkah kaki Nina. Walaupun Nina tak meresponnya, Roni paham keadaan Nina sekarang.
"Nin!, aku turut berdukacita", ucap Roni sambil menoleh ke arah Nina yang menunduk menatap langkah kakinya sendiri.
Nina tak bisa seceria dulu. Rasanya, bagian hidupnya yang lain telah pergi meninggalkanya. Sesak, batinnya sesak dan sakit.
" Lihat!, bukankah itu tempat bermain kita waktu kecil!",
Roni menunjuk sebuah pohon mangga yang terdapat rumah pohon di atasnya.
Nina mengikuti arah telunjuk Roni. Dia tersenyum. Nina ingat, saat kecil selalu datang bermain bersama Roni di sana. Terkadang lupa untuk pulang saking asyiknya bermain.
Roni melihat Nina yang tersenyum tipis, tapi detik berikutnya Nina memudarkan senyumannya dan kembali menatap kosong.
"Dulu, bahkan mamski selalu menyuruhku pulang. Tapi, aku tidak mau", datar Nina mengingat kembali kenangannya dengan mamanya.
" Bermain-main bahkan sampai lupa waktu. Kamu ingat, bahkan kita pernah sampai ketiduran. Dan mama kita cariin, karena sudah sore tapi belum pada pulang. Hhh...",
Roni pun terhanyut mengingat kembali kenangan itu.
"Hiks!, hiks!...",
Tapi, Nina makin sedih.
" Mm...maaf Nin!, aku mengingatkanmu kembali dengan mamamu", Roni merasa bersalah, niatnya mau menghibur malah bikin Nina makin sedih.
Mereka terus berjalan menyusuri jalanan. Rumah disekitar situ jarang, hanya ada perkebunan di samping kanan dan kirinya.
"Aduhh!!!...",
Roni terjatuh hingga tersungkur, membuat celana pendek yang ia pakai kotor.
" Hahaha...hahah...!", Nina tertawa melihat Roni. Ekspresinya saat jatuh sangat lucu dilihatnya. Sejenak, dia merasa lebih baik.
Diam-diam, Ronipun ikut tersenyum. Dia tidak tahu lagi harus menghibur Nina bagaiamana. Jadi, dia sengaja jatuh dan menimpa jalanan yang kotor.
"Bantuin dong!", ucap Roni sambil mengulurkan tangannya hendak meminta tolong pada Nina.
Bukannya cepat menolong Roni, Nina malah sibuk mencari sesuatu. Ronipun hanya diam sambil tetap mengulurkan tangannya dan tidak bergerak.
" Ah!, ketemu!",
Nina mengambil tangkai kayu yang sudah patah, karena lumayan panjang, ia mematahkannya lagi hingga tangkai itu menjadi lebih pendek dari sebelumnya.
Roni hanya menatap heran gadis itu.
"Nih!",
" Hah?, buat apa?", tanya Roni menatap Nina yang menyodorkannya tangkai kayu itu.
"Pegang!", titah Nina.
" Pegang ajah!", titah Nina kembali karena Roni hanya menatapnya saja.
Roni pun akhirnya paham, ia hampir lupa kalau sahabat kecilnya itu kini sudah hijrah. Nina tentu tak mau bersentuhan apalagi memegang tangan Roni sebagai laki-laki yang bukan mahramnya.
Roni hanya memegang tangkai kayu seperti perintah Nina. Walaupun dia sebenarnya bisa berdiri sendiri, tapi dia tidak akan mengecewakan sahabatnya itu karena sudah ingin membantunya walaupun dengan sebatang tangkai kayu.
"Jangan bodoh!, kamu sengaja yah?",
Tanya Nina.
" Siapa juga yang sengaja?, itu gara-gara batu itu, tuh!", bohong Roni sambil menunjuk batu kecil yang tak bersalah apa-apa.
"Jangan menyalahkan batu. Itu salah kamu sendiri, kali", ucap Nina seraya tersenyum tipis.
" Mana ada, batu itu yang salah. Siapa suruh nggk pindah, malah ditengah jalan", Roni tak habis-habisnya menyalahkan batu itu.
"Kalau batu itu pindah sendiri. Nanti kamu kaget loh...hh", Nina menertawakan ucapannya sendiri.
Tak lama kemudian, seseorang membunyikan klaksonnya pada mereka berdua.
"Tin!, tin!",
Mereka menoleh, dan mendapati papah Nina yang sedang naik motor. Nina awalnya kaget, 'secepat itu papah mau pergi?', batin Nina.
" Nina!, papah pergi dulu. Jaga diri kamu!", dingin papahnya Nina yang sempat berhenti sebentar.
"Iya. Hati-hati!", cuek Nina. Tapi tetap berusaha bersalaman dengan papahnya. Ia tidak ingin Roni tahu kondisi keluarganya yang sedang kacau.
Motor papahnya Nina pun pergi. Setelah beberapa meter jauhnya, Roni yang penasaran membuka suara.
" Nin!, papah kamu kok cepet banget mau pergi?, emang nggk berduka yah?", tanya Roni.
"Ya berduka lah. Tapi, mau di apa. Pekerjaannya lebih penting". Datar Nina.
" Jadi suami kok lebih pentingin pekerjaan daripada keluarganya.", oceh Roni.
"Makanya, jangan jadi seperti dia. Kalau kamu udah jadi suami orang jangan gitu.", ucap Nina.
" Ye, kalau aku nanti nggk bakalan deh. Keluarga yang paling utama. Jadi suami baik dan pinter. Sempat kamu kamu mau Nin?",
"Mau apa?",
" Mau jadi istri aku"
***Next!