Dunia Elea jungkir-balik di saat dirinya tahu, ia adalah anak yang diculik. Menemukan keluarga aslinya yang bukan orang sembarangan, tidak mudah untuk Elea beradaptasi. Meskipun ia adalah darah keturunan dari Baskara, Elea harus membuktikan diri jika ia pantas menjadi bagian dari Baskara. Lantas bagaimana jika Elea merasa tempat itu terlalu tinggi untuk ia raih, terlalu terjal untuk ia daki.
"Lo cuma punya darah Baskara doang tapi, gue yang layak jadi bagian dari Baskara," ujar Rania lantang.
Senyum sinis terbit di bibir Elea. "Ya, udah ambil aja. Tapi, jangan nangis jika gue bakalan rebut cowo yang lo suka."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhanvi Hrieya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25| Cemburu?
Bibir Elea terbuka lebar, atensinya mengedar kala matanya melirik hamparan lautan lepas tepat di depan matanya. Saka mengitari mobil, keluar membawa jaket kulit. Pemuda jangkung itu bergerak mendekati Elea, menyematkannya ke atas bahu Elea.
Elea mendongak, "Mau ngapain kita ke sini?"
Saka berdehem rendah, "Bukannya lo suka dengan laut? Katanya lo tumbuh di pulau terpencil. Gue pikir ngeliat laut akan bikin suasana hati lo membaik."
Elea berkedip, atensinya kembali di bawa ke depan. Elea mengayunkan kedua tungkai kakinya, diikuti oleh Saka.
"Gue udah minta izin sama Bokap lo, kalo kita berdua bakalan nginep di villa keluarga gue." Saka menerangkan jika mereka berdua akan menginap di villa keluarganya.
Saka mendengar tentang kehancuran keluarga Elea, orang-orang berpikir jika keluarga kaya seperti mereka memiliki kehidupan yang memukau. Hingga mendekati kesempurnaan sayangnya tidak ada yang tahu, di balik kesempurnaan ada harga mahal yang harus mereka bayar.
Termasuk kebebasan dalam memilih, anak-anak yang lahir dari keluarga seperti mereka tidak memiliki kebebasan. Segala sesuatu di kehidupan mereka telah diatur dengan sedemikian rupa, termasuk dengan pernikahan.
"Elea," panggilan Saka saat langkah kakinya berhenti.
Elea menoleh ke belakang, alis matanya mengerut. "Apa?"
"Maafin omongan gue ya," ucap Saka, "bukannya gue bermaksud buat ngelukain perasaan lo, gue cuma ngerasa frustrasi dengan segalanya. Lo tau perasaan gue, yang gue mau jadi pendamping gue cuma Rania. Karena itu, gue—"
"Ya, gue tau," potong Elea cepat, "lo mau dia, meskipun lo jelas tau jika dia cuma mau harta lo. Meskipun lo tau dia memanfaatin lo, lo tetap mau dia."
Saka tercekat, cinta itu bodoh anggap saja seperti itu adanya. Saka tahu betul apa yang diinginkan oleh Rania dari dirinya, yang dicintai oleh gadis remaja itu bukan Saka.
Saka mengulum bibirnya, dan berkata, "Gue sangat mencintai dia, bagi gue asalkan dia berada di sisi gue. Nggak masalah dengan apa yang dia mau, gue akan kasih semuanya. Toh, gue nggak akan jatuh miskin cuma karena ngebahagiain satu orang cewek yang gue suka."
Elea menatap lambat wajah Saka, pria itu tertunduk.
"Menyedihkan," gumam Elea.
Kepala Saka kembali terangkat, ia mengerutkan pangkal hidungnya. "Ya, gue menyedihkan," aku Saka.
"Sekeras apapun lo berusaha buat nahan orang yang cuma mau harta lo, akan ada saatnya lo lelah sendiri. Lo memupuk hubungan dengan uang, ada kalanya uang yang lo berikan nggak akan lagi dia inginkan. Dan yang tersisa di hati lo cuma kehancuran. Kekecewaan hingga lo terus berpikir kalo lo gak sepantas itu buat dicintai," ujar Elea lantang.
Elea melihat sosok ayahnya pada diri Saka, pria yang tulus mendekati bodoh. Memberikan segalanya pada ibunya, dengan harapan suatu saat ibunya akan sadar dan membalas perasaan ayahnya. Nyatanya, harapan yang besar menyeret rasa sakit yang tak kalah besarnya.
Suasana mendadak hening, hanya suara deburan ombak yang mengisi kekosongan. Elea menghela napas kasar, dan kembali melirik ke depan.
"Gue sama sekali nggak ngarepin cinta dari lo, Saka. Gue cuma mau hubungan ini terjalin untuk saling menghargai aja, hati lo bebas mencintai perempuan mana pun. Toh, gue nggak akan jatuh cinta sama lo," sambung Elea.
Bibir Saka terbuka Elea lebih dahulu melanjutkan langkah kakinya, meninggalkan Saka.
...***...
Langkah kaki Elea memelan saat ia mendapati kebenaran pria yang entah sudah berapa lama duduk di sana, sementara Saka di sampingnya ikut melirik keberadaan teman seangkatan mereka berdua dengan dahi berlipat.
"David," panggil Elea cukup keras.
"Apa yang lo lakuin di sini, hah? Dan dari mana lo tau gue di sini?" Elea menghampiri David.
David berdiri perlahan, guratan ekspresi wajahnya jelas sekali terlihat tidak suka dengan keberadaan Saka di samping Elea.
"Gue dengar dari Bokap lo, kalo lo berada di sini bareng dia. Makanya gue langsung ke sini," balas David.
Tangannya bergerak meraih pergelangan tangan Elea, menariknya perlahan hingga tubuh gadis itu berdiri di sampingnya.
Jealous.
Saka tersenyum geli, gelagat pria di depannya ini jelas sekali. Saka dan Elea baru menyantap sarapan pagi di restoran terdekat, cukup terkejut mendapati David di depan villanya.
"Gue bawa Elea balik," kata David melirik lurus ke netra mata Saka.
"Dia dateng ke sini sama gue, dan pulangnya harus gue yang mulangin dengan cara baik-baik ke bokapnya," tolak Saka santai.
David mendengus, "Lo tenang aja, nanti gue yang jelasin ke Om kalo Elea balik bareng gue."
Elea melirik Saka dan David secara bergilir, alis matanya mengerut.
"Lo mau balik bareng dia?" Saka malah langsung bertanya pada Elea tanpa mengindahkan jawaban David.
Elea menghela napas berat, David sontak saja melirik ke arah Elea dengan ekspresi memelas. Seakan-akan ia ingin mengatakan agar Elea setuju dengan keinginannya, gadis itu mengangguk perlahan. Senyum kemenangan terbit di bibir David, rasa senang meletup di dadanya.
"Gue balik bareng dia aja, lo masih ada keperluan di sini 'kan," ucap Elea, "lo tunggu gue di sini. Gue mau ambil tas gue di dalem."
David mengangguk, ia melepaskan tangan Elea. Perempuan itu melangkah memasuki villa, meninggalkan keduanya di teras.
"Gue saranin buat lo, jauh-jauh dari Elea, Saka."
Saka mendengus, "Dia yang nempel ke gue, bukan sebaliknya."
David tidak bisa membantah fakta satu ini namun, bukan berati ia akan membiarkan semuanya terjadi begitu saja. Ia yang lebih dahulu mencintai gadis berparas ayu itu, ia yang terus menunggu Elea. Lantas betapa tidak adilnya, setelah cinta pertamanya kembali. Malah Saka yang menjadi tunangan Elea, David sama sekali tidak terima.
"Lo bisa ngomong ke ortu lo, buat putusin pertunangan. Bukankah lo cinta mampus sama Rania."
Mata Saka berotasi malas, andaikan semudah itu. Sudah pasti Saka tidak perlu sefrustrasi ini, karena tidak bisa bersama dengan wanita yang dia cintai.
"Kalo ngomong emang gampang, karena bukan lo yang jadi gue," ketus Saka kesal.
David tersenyum getir, mudah sekali menjadi seorang Saka. Semua hal bisa dia dapatkan tanpa harus bekerja keras, bahkan ia bisa mendapatkan wanita yang sangat dicintai oleh David.
"Kalo gue yang jadi lo, jelas gue bakalan milih Elea." David mempersempit jarak di antara mereka berdua. "Karena gadis yang gue cintai gak sebanding sama cewek murahan yang lo kini kejar," sambung David merendah suara bas-nya.
Saka melotot mendengar penghinaan David pada Rania, derap langkah kaki keluar dari dalam villa mengalun. David memundurkan tubuhnya ke belakang, mengulas senyum lepas saat ia mendapati wajah Elea. Tangannya terulur, untuk menyambut Elea.
"Ayo," ucap David ceria.
Elea mengangguk, ia meraih tangan David. "Gue balik duluan, Ka!" Elea pamit.
Keduanya melangkah meninggalkan teras depan villa milik Saka, bibir Saka berdecak kesal sebelum memaki pelan.
...***...
Kedua sisi bibir David tidak berhenti ditarik tinggi ke atas, menghidupkan kamera ponselnya. Keinginannya untuk membawa pulang Elea hanya kebohongan semata, nyatanya pemuda satu ini membawa Elea ke pantai. Mengajak serta Isyana, kedua menyibukkan diri berdua sementara David hanya ingin mengabadikan momen Elea.
"Elea! Liat sini!" seru David keras.
"Cantiknya," gumam David, ia tersenyum begitu lepas.
Dari arah belakang Isyana datang memeluk pinggang Elea, dan menyeretnya masuk ke air laut. Pekikan keduanya membuat senyum di bibir David semakin meninggi.
"Basah, Na!" Elea menjerit keras, sementara Isyana tertawa.
"Lah gue ikut ke sini sama si David 'kan mau basah-basahan," jawab Isyana enteng.
Elea mendelik, Isyana berbisik di daun telinga Elea. Keduanya melirik ke arah David secara serentak, David mengerutkan dahinya.
"Mau ngapain kalian, gue lagi pegang kamera. Jangan macam-macam," peringat David saat kedua gadis remaja itu bangkit dari posisi duduk di bibir pantai.
"Kejar!" Elea berteriak keras.
Tawa Isyana melambung, keduanya malah mengejar David yang ikut berlarian. Mereka bertiga seperti anak kecil, dengan tawa lepas. Sementara pria jangkung di dalam mobil mendengus, menghela napas kasar.
Dinaikannya kembali kaca mobil yang dibuka, mesin mobil menyala.
"Apanya yang balik, dia malah bermain di sini," monolog deep voice itu mengalun.
Bersambung....