Wulan masih tidak percaya bahwa dia telah reinkarnasi ke dalam tubuh seorang perempuan yang cantik namun tidak bahagia. Dia adalah istri dari kapten yang tampan dan berkuasa, namun dingin dan tidak peduli dengan istrinya.
Wulan mempunyai janji dengan jiwa aslinya, yaitu mengubah takdir hidup sang kapten agar jatuh cinta dengan tubuh istrinya yang bermana Livia. Tapi bagaimana caranya? Kapten tersebut sangat dingin dan tidak peduli dengan istri.
.
Namun, semakin Wulan mencoba untuk mendekati sang kapten, semakin dia menyadari bahwa kapten tersebut memiliki luka yang dalam dan tidak mudah untuk diobati.
Wulan harus mencari cara untuk menyembuhkan luka tersebut agar sang kapten dapat membuka hatinya dan jatuh cinta dengan Livia.
Bagaimana kelanjutan cerita Wulan? Apakah dia berhasil mengubah takdir hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aira azahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 19
"Haa ... haa ... haa ...!" Livia mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba mengatur napas yang tersengal. Jam menunjukkan pukul delapan pagi, dan kepalanya masih terasa berat.
"Sialan! Aku bahkan tidak bisa tidur nyenyak tadi malam," gumam Livia dengan suara nyaris tidak terdengar. Pikiran tentang Alex—yang berbaring begitu dekat dengannya engan tadi malam—membuat dada sesak.
Meski Alex sudah berjanji untuk tidak macam-macam, Livia tetap merasa terjebak di antara dinding-dinding kewaspadaan sendiri.
Livia melirik ke arah suaminya dengan perasaan merinding, ingin meyakinkan diri bahwa ia masih aman. Namun, begitu ia mendengar suara Alex yang berat dan santai, tahu bahwa kenyamanan itu terlalu sulit didapatkan.
"Sudah bangun? Bersihkan dirimu dulu. Bau, tidak? Kita sarapan bareng. Apa perlu aku memandikanmu?" ucap Alex, sambil menaikkan satu alis dengan senyum yang menyebalkan.
Darah Livia mendidih dalam sekejap. "Mesum! Keluar dari kamarku!" teriaknya sambil menunjuk pintu, tidak peduli dengan reaksinya. Tapi alih-alih pergi, Alex hanya terkekeh pelan, tawa yang menyakitkan telinganya. Ia mengatupkan rahang, mencoba menahan emosi, tapi bibir akhirnya meletup juga. "Apa sih yang lucu, Alex? Apa mau sebenarnya kamu, hah?! Bukankah kamu ingin kita berpisah? Ya sudah, ayo kita bercerai sekarang juga!"
Alex menarik napas panjang, sorot matanya berubah dingin, tapi tidak menunjukkan tanda ingin menyerah. "Kita akan berpisah, Livia," katanya dengan nada tenang, "di saat usia pernikahan kita dua tahun. Apa kamu tidak kenapa-kenapa sejauh ini? Ada aku bilang ingin perpisahan lebih cepat? Jangan terlalu banyak berpikir macam-macam pagi ini. Aku bisa menelanmu sekarang kalau aku mau." Kata-katanya menusuk seperti sembilu.
Glek!
"Kenapa aku selalu terperangkap di dalam situasi seperti ini dengannya? Apa artinya semua ini?" batin Livia terdiam, tapi hatinya berteriak. "Alex, berhentilah bermain-main denganku. Kalau kamu benar-benar ingin perpisahan, lepaskan aku. Jangan buat aku hidup dengan ketakutan ini lagi"
Livia bangkit dari tempat tidur dengan gemuruh kecemasan dalam hatinya. Tangannya gemetar saat ia memastikan pintu kamarnya terkunci. Ketakutan itu selalu menghantui pikirannya, bayang-bayang tentang Alex yang tiba-tiba masuk ke kamar mandi saat pintunya rusak, memunculkan rasa ngeri dalam benaknya.
"Suami gila! Suami mesum!" Livia menggerutu dengan geram, mencoba melawan rasa takutnya yang menumpuk. Ia menyalakan shower, membiarkan air dingin mengalir ke tubuhnya, seolah berusaha membersihkan otak yang kacau dan dipenuhi kecemasan.
Namun, suara langkah kaki Alex menghantui keheningan itu. Pintu kamar terdengar dibuka dengan mudah, lalu pintu kamar mandi itu sedikit bergeser.
Livia menahan napasnya, tubuh membeku saat menyadari bahwa Alex bisa melihatnya dengan jelas dalam keadaan tanpa sehelai kain pun. "Apa yang dia inginkan dariku kali ini?" pikirnya dengan gemetar.
Wajah Livia memucat saat bayangan dirinya muncul perlahan mendekati . Suaranya tidak terdengar, gerakannya begitu pelan tetapi penuh maksud yang jelas. Dari ujung mata, ia menangkap tubuhnya yang hanya berbalut boxer.
Jantung Livia berdegup kencang, bukan karena keberadaan suami yang seharusnya dipercayai, tapi karena ketakutan atas apa yang akan Alex lakukan. Ia tidak tahu bagaimana cara melarikan diri dari ketegangan yang suasana ruang ini.
"Aaaaaa ..... aaaaa .... hhhmmmpttt ..... hmmmpttt ...!" Livia meronta-ronta mulutnya dibungkam Alex dan kedua tangan terkunci ke belakang.
"Hussssttt .... jangan berteriak keras istriku. Malu didengar orang sebelah," bisik Alex menjilat telinga istrinya beberapa kali.
"Bagaimana dia bisa masuk ke kamar mandi? Kenapa aku tidak mendengar langkahnya? Apa yang dia inginkan dariku? Tuhan, aku tidak mau disentuh oleh pria ini!" Air mata bercampur air dari shower tidak mampu menyembunyikan ketakutan di hati Livia.
Tubuh Livia menegang, pikirannya berkecamuk. "Mengapa harus seperti ini? Mengapa aku tidak berdaya melawan?" Ia mencoba memberontak, tetapi sia-sia. Mulutnya dibungkamnya, meninggalkan ia terperangkap dalam kebisuan dan ketidakberdayaan.Rasanya seperti terhisap ke dalam jurang tanpa dasar.
"Apakah ini hukuman atas semua dosa yang pernah kulakukan? Tetapi apa salahku sekarang? Mengapa aku, mengapa tubuhku menjadi pelampiasannya?" Livia terus bertanya tanpa jawaban.
"Apa itu? Ak-aku merasa sesuatu yang hangat di belahan bawahku. Tidak! Aku tidak mau melakukannya, tapi aku tidak bisa bergerak sedikitpun," batin Livia menggeleng kepalanya. Merasakan ada yang mengganjal di antara dua pahanya, ia mencoba melirik ke bawah dan benar.
Sosis jumbo berurat sudah muncul dan dijepit kedua paha Livia. "Astaga! Dia mulai menggesek miliknya itu, kenapa jadi seperti ini?" pikir Livia berusaha untuk melepaskan diri, sayangnya tenaga tidak terlalu kuat. 33
Alex tidak membungkam mulut Livia lagi, tapi menarik kedua tangan Livia ke arah belakang. Serta pinggulnya bergoyang, tentu melakukan pergesekan di bawah sana. "Ssssshhhtt .... kenapa baru sekarang aku melakukannya, Livia. Mana suara indahmu, hmmmm ...? Aku tahu, kamu menikmati gesekannya. Ngaku kamu."
Livia menggeleng kepala dengan cepat. Ia mencari benda di dekat, agar bisa memukul suaminya itu. Namun, kedua tangannya bertumpu pada dinding karena Alex terlalu cepat menggera-kkan pingg-ulnya. Tidak hanya itu, kedua gundukan kenyal diremas-remas kuat.
"Tubuhmu yang mungil ini, mana mampu melawanku sekarang. Jangan menangis Livia, nikmati permainan gilaku ini. Mau berpisah denganku? Hanya sebuah mimpi mampu melakukannya. Rrrrggghhh ...!" Alex menahan tubuh istrinya, di saat Livia lemas karena ulahnya.
"Sialan! Kenapa tubuhku berkhianat?" batin Livia, sekarang bersandar di dada bidang suaminya. "Ja-jangan lakukan itu."
Alex membawa Livia duduk bersama dan membiarkan tubuh istrinya bersandar di dada bidangnya itu. Tangannya mulai beraksi meremas dua gundukan sintal, bahkan mulai turun ke bawah.
Livia menggeleng kepalanya, menghimpit bagian sensitifnya saat jemari besar mau menelusuri lebih jauh di bawah sana. "Jangan lakukan itu, Alex. Hentikan semua ini."
Namun, Alex menyeringai tajam dan membungkam mulut istrinya. Di saat Livia lemah seperti ini, tidak mau membuang kesempatannya.
Jemari besar Alex, akhirnya bisa bermain-main di bawah sana. Membuat tubuh Livia menggelinjang hebat, mulut memang berkat tidak. Tapi badannya berkata lain. "Aah .... aahh ... ssshhtt .... jangan! Aah ... hentikan, ja-jangan lakukan itu. Ak-aku mohon Alex, stop!"
"Jangan bertahan sekarang Livia, tubuhmu sangat menginginkan hal ini. Ayolah, lakukan apakah kamu bisa menghentikannya?" seringai tajam Alex, dengan cepat mengubah posisi istrinya.
"Aaaakkhhh ..... jangan lakukan itu, Alex! Alex! Aahhhh ...!" Livia tidak kuasa menahan dirinya, pelepasan keluar dengan mudahnya. "Ja-jangan ..."
"Kenapa jangan Livia? Bukannya sejak dulu kamu menginginkan aku menyentuhmu, hmmm ...? Maka nikmatilah permainan ini, istriku yang manja. Kamu pasti merasakan sesuatu yang belum pernah kamu rasakan," kata Alex menyeringai tajam.
"Aahh .... aahh ... stop! Stop! Jangan masuk! Jangan!" Livia menggeleng kepalanya, sambil menahan lengan kekar itu.
"Oh, masih menjaga kesucianmu. Tenang saja, aku tidak akan menghancurkan dengan tanganku. Tetapi dengan adik kecilku," bisik Alex dan terkekeh kecil.