Di balik gaun pengantin dan senyuman formal, tersembunyi dua jiwa yang sejak lama kehilangan arti cinta.
Andre Suthajningrat—anak dari istri kedua seorang bangsawan modern, selalu dipinggirkan, dibentuk oleh hinaan dan pembuktian yang sunyi. Di balik kesuksesannya sebagai pengusaha real estate, tersimpan luka dalam yang tak pernah sembuh.
Lily Halimansyah—cucu mantan presiden diktator yang namanya masih membayangi sejarah negeri. Dingin, cerdas, dan terlalu terbiasa hidup tanpa kasih sayang. Ia adalah perempuan yang terus dijadikan alat politik, bahkan oleh ayahnya sendiri.
Saat adik tiri Andre menolak perjodohan, Lily dijatuhkan ke pelukan Andre—pernikahan tanpa cinta, tanpa pilihan.
Namun di balik kehampaan itu, keduanya menemukan cermin dari luka masing-masing. Intrik keluarga, kehancuran bisnis, dan bayang-bayang masa lalu menjerat mereka dari segala sisi. Tapi cinta… tumbuh di ruang-ruang yang retak.
Bisakah dua orang yang tak pernah dicintai, akhirnya belajar mencintai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Mobil hitam Andre melaju tenang menuju rumah sakit swasta bintang lima di kawasan Menteng. Di kursi penumpang, Lily bersandar pelan, tangannya yang masih dibalut perban bersandar di paha.
“Jadwalmu jam berapa?” tanya Andre sambil melirik spion.
“Setengah sepuluh. Tapi enggak apa-apa, lebih awal sedikit. Aku… agak lapar, sih.”
Andre tersenyum tipis. “Mau mampir dulu?”
“Nggak. Nanti di sana aja beli roti atau bubur. Rumah sakit gini biasanya punya bakery enak.”
Mobil menepi tepat di drop-off area. Seorang petugas menyambut mereka dan langsung mengantar ke bagian rawat jalan khusus luka bakar ringan.
Lily menjalani kontrol tanpa drama. Dokter menyatakan lukanya bersih dan dalam penyembuhan baik. Tapi saat keluar dari ruang pemeriksaan, langkah Lily langsung menuju sudut lobi rumah sakit—ke arah bakery mungil dengan wangi croissant dan kopi panas yang menguar lembut.
Andre mengikutinya. Lily memesan dua roti isi telur dan sebotol air mineral, lalu mereka duduk di sudut dekat jendela kaca besar.
Baru saja Lily menggigit roti, seorang pria berkacamata dengan jas dokter dan senyum hangat mendekati mereka. “Andre?”
Andre menoleh cepat. “Bram?”
“Gila. Nggak nyangka ketemu lo di sini.”
Mereka berpelukan sebentar, lalu saling menepuk punggung. Andre tampak lebih rileks daripada biasanya.
“Bram, ini istriku. Lily,” kata Andre sambil menoleh.
Lily bangkit dan mengulurkan tangan. “Lily Halimansyah.”
“Bramantya Prakoso. Tapi semua orang di kampus dulu panggil gue Bram.”
“Oh, kamu temen kuliah Andre?” tanya Lily sopan.
“Iya. Dulu kita sering satu tim debat kampus. Andre paling males ngomong, tapi kalau udah buka suara, jurinya diem semua,” ucap Bram sambil terkekeh.
Andre mengangkat bahu, pura-pura cuek.
Bram lalu menatap Lily, seolah baru menyadari sesuatu. “Kamu… kamu yang punya Ember & Ember?”
Lily tertegun sesaat. “Iya. Kamu tahu?”
“Gue ke sana dua bulan lalu buat dinner ulang tahun mama. Sedih banget denger kabarnya. Tapi bagus kamu nggak kenapa-kenapa.”
Lily tersenyum lembut. “Thanks.”
Setelah basa-basi, Bram bertanya pada Andre, “Eh, Andrea sehat-sehat aja kan sekarang?”
Lily menoleh, penasaran.
“Lumayan,” jawab Andre pelan.
Bram menepuk bahu Andre. “Salam ya buat dia. Dia orang paling sabar yang pernah gue kenal.”
Setelah Bram pamit karena harus kembali jaga, Lily dan Andre berjalan pelan menuju lift parkiran.
“Siapa Andrea?” tanya Lily di dalam lift.
Andre tak langsung menjawab. Tatapannya menurun, bibirnya sedikit mengatup.
“Dia kakakku,” ujarnya akhirnya. “Anak pertama dari istri pertama Bapak.”
“Yang sering disebut-sebut keluarga?”
Andre mengangguk. “Dia seharusnya jadi ‘yang utama’. Tapi karena perempuan, dia disingkirkan pelan-pelan.”
“Dia sakit?” tanya Lily hati-hati.
“Autoimun. Sudah dari usia dua puluhan. Kambuh-kambuhan. Salah satu penyebabnya katanya stres jangka panjang. Tekanan jadi ‘sempurna’ tapi juga ‘dikesampingkan’.”
Lily menunduk, diam lama. “Keluargamu… rumit juga, ya.”
Andre menyeringai datar. “Sama kayak kamu.”
Lily menatapnya, lalu berkata pelan, “Eh iya, ngomong-ngomong… ibumu gimana? Aku nggak pernah dengar kamu nyebut.”
Andre menarik napas pelan, matanya lurus ke depan. “Sudah meninggal. Waktu aku umur dua tahun. Kecelakaan.”
Lily menoleh cepat, matanya melembut. “Maaf… aku nggak tahu.”
Andre menggeleng. “Nggak apa. Aku dibesarkan sama Andrea. Dia kakak sekaligus ibu buatku. Tapi tetap aja, aku tetap dianggap anak dari… gundik.”
Lily menatap Andre lama. “Tapi kamu… kamu kelihatan kuat.”
Andre terkekeh. “Bukan kuat. Cuma capek marah.”
...****************...
Setelah check-up dan membeli beberapa vitamin, Andre menyetir sendiri. Lily duduk di sampingnya sambil membuka jendela sedikit. Angin Jakarta masuk dan mengacak rambutnya.
“Kenapa kamu nggak pernah cerita soal Andrea?” tanya Lily tiba-tiba.
Andre menoleh sebentar, lalu kembali ke jalan. “Karena aku nggak yakin kamu peduli.”
“Aku peduli,” jawab Lily cepat. “Terutama kalau itu bikin kamu jadi… kamu yang sekarang.”
Andre menahan senyum.
Lily melanjutkan, “Aku… suka kamu yang sekarang. Walau menyebalkan.”
Andre terkekeh. “Kamu juga. Menyebalkan tapi… cantik.”
“Flirting di jam kerja, Tuan Suthajningrat?”
“Gue suami lo.”
Lily tertawa.
Tiba-tiba, ponsel Andre berbunyi. Sebuah notifikasi dari tim proyek masuk. Dia menepikan mobil ke depan kafe kecil.
Satu notifikasi mencolok: “Urgent: rekaman CCTV proyek minggu ini.”
Andre membuka file video yang diunggah tim IT. Di layar, terlihat seorang staf bagian procurement membuka ruang server proyek properti mereka. Namun yang membuat Andre menegang, adalah seseorang yang muncul lima menit kemudian salah satu partner bisnis utamanya, Ridwan, masuk diam-diam. Membuka beberapa file. Memotret. Lalu pergi.
Andre diam.
Lily yang memperhatikan dari samping ikut menegang.
“Ada yang nggak beres?” bisiknya.
Andre mengangguk perlahan.
“Sepertinya… kita bocor.”
...----------------...