berfokus pada kisah Satya, seorang anak dari mantan seorang narapidana dari novel berjudul "Dendamnya seorang pewaris" atau bisa di cek di profil saya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nemonia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
"Mengenai hal itu... aku hanya ingin kau merestuiku."
"Aku dan Shintia saling mencintai."
Yoga terkejut hingga ulu hatinya seakan ditusuk. Apa ia tak salah dengar?
"Dulu, sebelum seorang pria brengsek menghancurkan hidup Shintia," lanjut Raska tanpa melunturkan senyuman di wajah.
Yoga terdiam, dirinya sudah mengerti sekarang.
"Apa kau tidak keberatan jika memberikan Shintia padaku? Dulu kami harus berpisah, dan saat dipertemukan kembali, aku sangat yakin sebenarnya kami diharuskan bersama. Sayangnya, sekarang Shintia telah berubah meski aku yakin tidak begitu dengan perasaannya."
Yoga tetap hanya diam sampai akhirnya suara Raska kembali terdengar.
"Shintia bilang dia masih menyimpan perasannya walau telah menguburnya begitu lama. Tapi dia kasihan pada seseorang. Seseorang yang selama ini telah membantu kehidupan susahnya. Jika bukan karena rasa terima kasih dan balas budi, dia tak pernah berpikir dua kali untuk kembali padaku," ujar Raska tanpa mengalihkan pandangan sedikitpun dari Yoga. Sorot matanya begitu serius di mana senyuman yang sedari tadi ia lempar pada Yoga tak lagi terlihat.
Tangan Yoga gemetar. Haruskah ia percaya?
Sementara itu di tempat lain, terlihat Satya yang menutup layar laptopnya. Karena kondisinya, Shintia melarangnya mengantar menyuruhnya tetap istirahat di rumah. Sementara ibunya itu pergi menjenguk ayahnya menggunakan taksi.
Satya bangun dari duduknya dan melangkah sampai akhirnya berhenti di depan jendela. Pandangannya mengarah ke luar pada tanaman bunga mawar yang ibunya tanam di taman kecil samping rumah.
Sangat cantik, memikat siapapun untuk kagum sayangnya, memiliki duri yang mampu melukai siapapun. Dirinya sudah menemukan seseorang yang pantas untuk dicurigai, seseorang yang sejak awal tidak ia sukai. Jika itu benar, ia tak akan segan mengambil tindakan.
Tiba-tiba perhatian Satya teralihkan saat ketukan pintu terdengar. Dirinya berbalik, kemudian melangkah keluar kamar menuju pintu depan melihat siapa yang datang. Karena sangat tidak mungkin itu ibunya.
"Selamat siang."
Seorang wanita berdiri di hadapan Satya dan tersenyum padanya kala ia telah membuka pintu. Seseorang yang tak pernah Satya kenal sebelumnya.
Wanita itu tak melunturkan senyuman tersirat seakan menunggu serta berharap Satya mempersilakannya masuk ke dalam rumah.
Melihat sikap wanita tersebut, Satya membuka pintu sedikit lebih lebar mempersilakannya masuk ke dalam.
Wanita itu mengedarkan pandangan sekilas kemudian duduk tenang di sofa berhadapan Satya yang duduk di sofa tunggal. Satya tetap hanya diam, menunggu wanita itu mengatakan apa tujuannya.
"Sebelumnya, aku minta maaf karena sudah mengganggu waktumu. Dan perkenalkan, namaku Olivia. Dan aku ...." Belum sempat wanita bernama Olivia itu melanjutkan kata-katanya, ponsel Satya dalam saku celana berdering.
Satya mengambil ponselnya, dan saat melihat nomor sang ibu yang tertera, dirinya memberi isyarat pada wanita di hadapannya untuk mengangkat panggilan.
Olivia mengangguk sebagai jawaban, mempersilakan Satya mengangkat panggilan.
"Halo. Ada apa, Bu?"
["Sat, ada tempat yang ingin ibu kunjungi. Jadi, mungkin ibu akan terlambat nanti."]
"Apa? Ke mana? Harusnya saat Satya yang mengantar ibu."
["Tidak apa-apa, Satya. Ibu akan baik-baik saja. Ibu ingin mengunjungi makam bibimu."]
"Besok saja, Satya akan mengantar ibu," pinta Satya. Dirinya hanya mengkhawatirkan sang ibu mengingat rencana pembunuhan yang ayahnya alami.
["Jika ada apa-apa, ibu akan segera menghubungimu. Jadi, jangan khawatir."]
Satya tak bisa lagi mencegah meski dirinya merasa aneh ibunya bersikeras padahal dirinya bisa mengantarkannya besok mengunjungi makam Yume. Sejak hubungan Shintia dan Yoga lebih dekat, Yoga meminta Shintia meluangkan waktunya jika bisa untuk mengunjungi makam Yume dan mengirim doa. Setidaknya walau hanya satu tahun sekali. Tapi pada kenyataannya, Shintia lebih kerap mengunjungi makam Yume paling sedikit sebulan sekali.
"Baiklah. Jika terjadi sesuatu segera hubungi Satya." Setelah mengatakan itu, panggilan pun berakhir.
Olivia sedari tadi hanya diam dan mengedarkan pandangan seolah tak berani dan tak ingin mencuri dengar pembicaraan Satya dan ibunya.
Satya memasukkan kembali ponselnya ke saku celana dan mempersilakan Olivia melanjutkan perkenalan dirinya.
"Ah, baiklah. Melanjutkan yang tadi... namaku Olivia dan aku anaknya Rasta. Kau pasti mengenal ayahku, bukan?"
Satya terdiam sejenak kemudian mengangguk. Dirinya mengenal Rasta sebagai teman ibunya meski dapat melihat ada yang aneh dengan pria itu. Padahal ibunya sudah menolak, tapi pria itu seolah tak berhenti berharap.
"Jadi, tujuanku datang kemari sebenarnya ingin menanyakan hubungan ayahku dengan ibumu. Aku sangat menyayangi ayah. Dia adalah ayah paling baik yang aku miliki dan aku ingin yang terbaik untuknya juga ingin melihatnya bahagia. Setelah sekian lama kehilangan ibu, aku bisa melihat senyum ayah kembali terbuka. Tapi akhir-akhir ini aku kembali melihat wajah sedihnya dan itu membuatku tidak tenang."
"Katakan saja apa tujuanmu datang," sela Satya menyuruh Olivia mengatakan langsung pada inti permasalahannya.
Olivia sempat terkejut saat Satya memotong pembicaraannya. Namun dirinya hanya bisa tersenyum walau jelas sekali tampak canggung.
"Baiklah, begini. Yang kutahu ayahku menyukai ibumu. Menurutmu, bagaimana dengan ibumu? Sebagai anak aku hanya ingin yang terbaik untuk ayahku. Jika memungkinkan, bisakah kita bekerja sama membuat mereka bersatu?" ungkap Olivia mengatakan tujuannya yang sebenarnya.
Satya hanya diam tak mengalihkan pandangan dari Olivia. Memejamkan mata sejenak, ia pun menjawab, "Itu urusan mereka. Sebagai anak harusnya kita tidak ikut campur."
"A- apa? Ta- tapi kenapa? Bukankah ibumu juga sudah bercerai dengan ayahmu? Bahkan ayahmu sekarang di penjara, kan?" Ketenangan yang sebelumnya Olivia tunjukkan seketika menghilang. Dirinya sudah percaya diri mengira Satya akan mau diajaknya bekerja sama. Terlebih, menurut yang diketahuinya, ayah Satya adalah kriminal yang dipenjara karena kasus pembunuhan. Hanya sebatas itu informasi yang ia dapat, selebihnya, dirinya tidak tahu-menahu.
Raut wajah Satya menjadi dingin. "Sebaiknya berhenti berpikir menyatukan mereka. Karena sampai kapanpun, aku tidak akan pernah menyetujuinya," ucapnya dengan rahang mengeras.
"Apa? Apa kau yakin? Kau tidak tahu siapa ayahku? Ayahku pasti bisa membahagiakan ibumu. Ayahku bisa memberikan apapun padamu juga pada ibumu. Yang perlu kau lakukan, kau hanya harus membujuk ibumu menerima ayahku." Olivia menggebu mengatakan kalimat panjang itu. Dirinya berpikir hanya orang bodoh yang menolak ayahnya. "Lagipula menurut yang kutahu, ayahku dan ibumu dulu adalah mantan kekasih. Jadi-"
"Apa ucapanku masih belum jelas?"
Ucapan Olivia terpotong saat suara dingin Satya terdengar. Tengkuk Olivia bahkan terasa tebal melihat bagaimana Satya menatapnya sekarang.
Satya bangkit dari duduknya, membuka pintu, dipersilahkannya Olivia keluar. "Jangan paksa aku bicara lebih kasar baru membuatmu keluar,"
Ucapnya di mana suaranya terdengar begitu jelas dan padat.
Olivia masih tak percaya, rencananya memberi kejutan untuk ayahnya dengan keberhasilannya membujuk Satya, pada akhirnya gagal. Merasa kesal dirinya pun bangkit dari duduknya dan melangkah keluar. Namun, sebelum benar-benar pergi, dirinya kembali berbalik menatap Satya seraya mengeluarkan kartu nama berisi nomor teleponnya pada Satya. "Jika kau berubah pikiran, kau bisa menghubungiku. Aku tahu kau sangat menyayangi ibumu. Jadi aku yakin, kau pasti tahu yang terbaik untuk ibumu. Dan itu adalah, ayahku."
Jderr!!!
Tepat saat kata terakhir Olivia terucap, pintu di hadapannya tertutup rapat. Dirinya bahkan melebarkan mata, tak percaya mendapat perlakuan buruk dari Satya. Dirinya tidak tahu apapun mengenai Satya dan Shintia kecuali mengenai Yoga sebagai ayah Satya yang dipenjara. Yang ia tahu, Shintia dan Satya hidup sederhana dan yang pasti memiliki keinginan hidup bergelimang harta dalam hati mereka.
Satya masih berdiri di balik pintu menatap pintu yang kini tertutup rapat dengan tangan bersedekap. la tidak tahu isi otak Olivia hingga berpikir mengajaknya bekerja sama menjodohkan kedua orang tua. Namun, pada akhirnya dirinya menyadari sesuatu. Sama sepertinya, Olivia juga pasti menyayangi ayahnya dan ingin melakukan apapun demi melihat ayahnya bahagia.
Satya menghela nafas sejenak kemudian berbalik melangkah menuju kamarnya. Sementara Olivia pergi dari kediamannya dengan kekecewaan yang tampak jelas di wajah.