Dikhianati oleh dua orang yang paling ia percayai—tunangannya dan adiknya sendiri—Aluna Kirana kehilangan semua alasan untuk tetap hidup. Di tengah malam yang basah oleh hujan dan luka yang tak bisa diseka, ia berdiri di tepi jembatan sungai, siap menyerahkan segalanya pada arus yang tak berperasaan.
Namun takdir punya rencana lain.
Zayyan Raksa Pradipta, seorang pemadam kebakaran muda yang dikenal pemberani, tak sengaja melintasi jembatan itu saat melihat sosok wanita yang hendak melompat. Di tengah deras hujan dan desakan waktu, ia menyelamatkan Aluna—bukan hanya dari maut, tapi dari kehancuran dirinya sendiri.
Pertemuan mereka menjadi awal dari kisah yang tak pernah mereka bayangkan. Dua jiwa yang sama-sama terbakar luka, saling menemukan arti hidup di tengah kepedihan. Zayyan, yang menyimpan rahasia besar dari masa lalunya, mulai membuka hati. Sedangkan Aluna, perlahan belajar berdiri kembali—bukan karena cinta, tapi karena seseorang yang mengajarkannya bahwa ia pantas dicintai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Zayyan memandangnya lama, lalu tersenyum. Tapi bukan senyum sembarangan. Senyum itu seperti jawaban yang tak pernah ditanya. "Aku yang seharusnya berterima kasih, Aluna. Karena kau sudah tetap bertahan. Dan karena... kamu ada di sini."
Mata mereka bertemu lebih lama dari biasanya.
Seketika, listrik kecil menjalari udara. Seperti benang tak kasat mata yang menarik mereka lebih dekat.
Tanpa aba-aba, Aluna berjalan ke arah mannequin yang sedang Zayyan pakaikan gaun. Ia mengulurkan tangan, memperbaiki pita di pinggang mannequin, jari-jarinya menyentuh tangan Zayyan tanpa sengaja.
Sentuhan itu seperti percikan.
Mereka sama-sama membeku. Diam. Nafas mereka sedikit terhenti. Aluna menatap tangannya yang menyentuh tangan Zayyan, lalu menatap laki-laki itu. Zayyan tak menarik tangannya, dan Aluna tak juga melepaskan tangannya dari tangan Zayyan.
"Maaf..." bisik Aluna pelan, wajahnya mulai memanas.
"Tidak apa apa, tenang saja," jawab Zayyan nyaris tak terdengar.
Deg.
Aluna merasa jantungnya hampir merobohkan tulang rusuknya dengan keras. Ia buru-buru menunduk, menarik tangannya, melangkah mundur—namun tanpa sadar, tumitnya tersandung gulungan kain yang diletakkan di bawah meja.
"Aluna!" Zayyan refleks meraih pinggang gadis itu.
Aluna menutup matanya karena mengira ia akan jatuh, namun tubuhnya justru bersandar erat di dada Zayyan yang kokoh.
Dalam keheningan yang terlalu pekat itu, mereka menyadari betapa dekatnya jarak mereka sekarang.
Zayyan menatap wajah Aluna yang hanya beberapa inci dari wajahnya. Matanya menangkap setiap detil sosok wanita yang ada di pelukannya—alis yang sedikit berkerut karena terkejut, mata yang membulat, napas yang memburu, dan bibir yang sedikit terbuka.
"Kamu nggak apa-apa?" bisik Zayyan, masih memeluk pinggang Aluna.
Aluna mengangguk, tapi tidak bergerak menjauh. Entah karena terlalu kaget, atau karena ia sendiri tidak ingin melepaskan pelukan itu.
"A- aku nggak apa-apa, terima kasih." ucap Aluna yang segera melepaskan diri dari pelukan Zayyan dan menjauh sedikit dari laki laki itu.
Apa yang terjadi padanya dengan Zayyan barusan, memunculkan perasaan aneh yang beberapa hari ini Aluna tahan untuk tidak semakin tumbuh. Aluna tidak tahu, apakah perasaan yang dirasakannya saat sedang dekat dengan Zayyan itu adalah perasaan cinta atau tidak?
Namun, aluna tidak bisa lancang dengan menyukai laki laki yang ada di hadapannya. Apalagi setelah semua yang laki laki itu berikan kepadanya. Aluna tidak bisa menyukai Zayyan, karena ia terlalu sadar diri akan statusnya yang kecil kemungkinannya untuk bisa bersanding dengan Zayyan.
...----------------...
Pagi itu, cahaya matahari menari-nari di sela tirai butik kecil yang dulunya hanyalah gedung kosong tanpa nyawa. Kini, setelah hampir dua bulan penuh perjuangan, tempat itu telah menjelma menjadi ruang yang hidup, bernama Aluna boutique—butik milik Aluna, yang lahir dari ketulusan tangan dan kepercayaan yang diberikan oleh Zayyan.
Aluna berdiri di depan kaca besar yang menghadap ke jalan. Tangannya gemetar saat merapikan brosur pembukaan yang akan dibagikan hari itu. Di belakangnya, gaun-gaun dengan potongan elegan, berwarna lembut, dan detail manik-manik yang rumit menghiasi mannequin. Masing-masing baju membawa potongan cerita dari perjalanan batin Aluna—tentang luka, ketabahan, dan harapan.
Zayyan masuk membawa dua cangkir kopi dan memberikannya satu untuk Aluna.
"Kau belum makan apa pun sejak pagi," ujarnya lembut, menyodorkan satu cangkir ke arah Aluna. Gadis itu menoleh dan tersenyum kecil.
"Aku tidak lapar. Tapi terima kasih..."
"Apakah kau merasa gugup?"
Aluna mengangguk. "Aku takut tidak ada yang datang. Takut tak ada yang suka dengan desainku. Takut semuanya sia-sia."
Zayyan menatapnya, lalu menaruh cangkir di meja dan mendekat. "Kalau tidak ada yang datang, aku akan tetap di sini dan jadi pelanggan pertama untukmu. Kalau tidak ada yang suka, aku akan tetap beli semuanya. Dan kalau semuanya sia-sia... kita mulai dari awal lagi. Sama-sama."
Air mata Aluna nyaris tumpah. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengangguk "Terima kasih Zayyan, kau selalu bisa membuatku percaya diri lagi."
itu sakitnya double
bdw tetap semangat/Determined//Determined//Determined//Determined/