Pendekar Sinting adalah seorang pemuda berwajah tampan, bertubuh tegap dan kekar. Sipat nya baik terhadap sesama dan suka menolong orang yang kesusahan. Tingkah nya yang konyol dan gemar bergaul dengan siapapun itulah yang membuat dia sering berteman dengan bekas musuh atau lawan nya. Perjalanan nya mencari pembunuh keluarga nya itulah yang membuat sang pendekar berpetualang di rimba persilatan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ikko Suwais, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BERLATIH KANURAGAN
Perpaduan dua sinar yang beradu di udara itu membuat angin semakin kencang hingga pondok tempat Resi Jayabaya tinggal roboh terbawa arus angin itu. Rangga takjub melihat pertarungan itu dan ia pun tak bisa melihat dengan jelas karena angin kencang itu menghalangi pandangan nya.
"Heaaaahhhh....!!" Ayu Cendani mengerahkan seluruh kemampuan nya dengan menghentakan inti tenaga dalam nya. Resi Jayabaya sedikit terdorong, Namun ia masih tenang karena ia sudah tahu kelemahan jurus serap getih tersebut. Makanya ia menggunakan jurus penahan agar jurus itu dapat berbalik ke tubuh pengguna nya.
Resi Jayabaya memejamkan matanya dan kemudian ia menyentakan kaki kanan nya di tanah.
*Bugg* Ayu Cendani tersentak mundur karena mendapat sentakan batin di jiwa nya. Pada saat itu pula pikiran nya buyar dan ilmu serap getih melesat membalik kepada diri nya sendiri sangat cepat.
"Tidaaakkk!!" Teriak Ayu Cendani dan sinar tenaga dalam itu membuat tubuh Ayu Cendani kering tanpa darah dan daging hanya menyisakan tulang terbungkus kulit. Rangga tertegun melihat kehebatan ilmu itu dan tercengang setelah melihat tubuh Ayu Cendani yang berbadan sekal itu hanya tinggal kulit dan tulang.
Keadaan di sekitar pantai segara anak sangat porak poranda dan menyebabkan badai cukup besar di sekitaran pantai tersebut. Resi Jayabaya pun menarik napas lega dan menatap Rangga yang berjalan mendekati nya.
"Rumah kakek hancur, Kita akan bermalam dimana nanti kek?"
"Kakek sudah menemukan rumah baru untuk kita tinggali, Nak." Rangga hanya mengangguk saja dan setelah mereka menguburkan mayat Ayu Cendani di dekat guru nya yaitu Karang Gantung. Meskipun mereka adalah musuh dan sering mencelakai Resi Jayabaya, Kakek tua itu tetap menaruh hormat pada lawan nya yang sudah mati dengan cara menguburkan nya.
Kini Rangga dan Resi Jayabaya pergi ke sebuah air terjun yang berada lumayan jauh dari pantai segara anak. Ditempat itu ada air mengalir dari atas turun ke bawah sungai dangkal dan banyak batu-batu kali sebesar anak gajah. Disana sudah ada pondok berdiri dan seperti pondok itu baru saja dibuat oleh Resi Jayabaya ketika ia pergi meninggalkan Rangga tanpa pesan. Nama tempat itu adalah Lembah Sunyi yang arti nya lembah itu berada ditempat tersembunyi jauh dari keramaian dan belum pernah dijamah manusia Sebelumnya.
Malam tiba, Cuaca malam itu sangat cerah karena bulan sedang purnama. Di tanah lapang dekat air terjun nampak seorang anak kecil sedang belajar gerakan silat dengan di bimbing oleh seorang kakek tua yang kini telah menjadi guru nya. Suara deras air terjun kian menderu bersama hembusan angin malam yang membuat kulit tubuh menggigil kedinginan.
Seperti yang saat itu sedang dirasakan oleh bocah cilik bernama Rangga. Tubuh nya yang tanpa baju itu sedikit menggigil kedinginan, Namun ia tetap melanjutkan gerakan-gerakan silat yang telah diajarkan guru nya. Resi Jayabaya melihat tanda lahir di dada anak itu dan memang benar apa yang ada dalam pertapaan nya. Resi Jayabaya mendapat tanda bahwa anak yang diramalkan untuk mewarisi pedang naga petir itu memiliki tanda lahir di dada nya.
"Lebarkan kaki mu Rangga! Pijak tanah itu dengan kuat! Kuda-kuda kaki mu kurang renggang, Lebih rendah lagi!" Ujar sang guru tegas terhadap murid nya. Sang murid tak menjawab ocehan guru nya itu, Ia tetap fokus memperbaiki kesalahan gerakan nya.
"Bagus! Tahan napas mu sebentar, Sejajarkan kedua tangan mu di samping dan kepalkan tinju mu." Rangga melakukannya dan perlahan-lahan ia mulai menghapal sedikit-sedikit gerakan silat yang diajarkan orang tua itu.
"Sekarang maju satu langkah dan tinju ke depan. Setelah itu memutar badan mu ke samping, Layangkan kaki kanan mu menyamping." Rangga pun memperagakan nya walaupun agak sedikit limbung namun menurut guru nya gerakan nya itu cukup bagus untuk anak seumuran tujuh tahun.
"Bagus, Rangga! Sudah tutup dengan tangan merapat dan kaki merapat juga. Lalu hembuskan napas panjang dari mulut." Rangga melakukannya dan latihan malam itu pun selesai.
"Besok kau harus melakukan nya sendiri, Rangga. Ingat-ingat lah gerakan yang aku ajarkan itu pada mu. Gerakan tadi adalah gerakan awal untuk menguasai ilmu kanuragan."
"Baik Guru!" Tegas Rangga patuh dan kini kedua nya masuk pondok karena cuaca malam itu semakin dingin.
Mungkin sudah hampir seminggu Rangga tinggal bersama Resi Jayabaya di pondok yang baru mereka buat dan pondok itu berada di sekitaran wilayah air terjun. Jauh dari hiruk pikuk orang ramai dan tempat nya yang tersembunyi hanya dikelilingi hutan-hutan berpohon besar dan rindang. Anak itu di gembleng dalam hal ilmu pengetahuan dan ilmu jurus silat tangan kosong. Adab dan tata Krama pun di ajarkan kepada anak itu agar suatu kelak ia sudah dewasa dan melanglang buana di rimba persilatan ia tak akan sembrono ketika bertemu dengan orang baru. Begitulah ajaran silat aliran putih, Semuanya diatur oleh adab dan tata Krama. Saling membantu dan mengasihi terhadap sesama.
Kadang mereka berbincang-bincang tentang cerita Resi Jayabaya ketika masih mengembara di rimba persilatan. Melawan musuh nya hingga mengalahkan bahkan sampai berteman juga. Ada juga yang tetap bermusuhan saah satu nya adalah Nyai Kidung Getih yang telah menurunkan ilmu nya kepada Ayu Cendani yang saat ini sudah almarhumah.
"Mungkin suatu saat dia akan menuntut kematian murid nya itu padaku." Ujar Resi Jayabaya dalam hati nya. Resi Jayabaya hanya menceritakan orang-orang baik bekas sahabatnya waktu muda dulu. Ia memberitahu Rangga jika suatu saat nanti bertemu dengan mereka Rangga tak sembrono dalam bersikap. Kini keduanya sudah pergi ke kamar nya masing-masing, Rangga masih belum tertidur begitu juga dengan sang Resi.
Pondok ini agak besar dari pondok yang sebelumnya, Seperti rumah joglo dan memiliki kemiripan seperti rumah panggung yang terbuat dari papan dan bilik bambu. Rangga sejak tadi hanya merenung menatap langit-langit, Suasana malam itu Ia tak biasa tidur dikamar nya. Entah apa yang sedang anak itu pikirkan, Hati nya merasa gelisah dan gundah gulana.
Pikiran nya menerawang jauh ke atas langit-langit pondok beratap daun kering dan ijuk itu. Hawa di ruangan itu cukup panas dan membuat nya segera membuka baju nya. Ia melihat ke arah dada nya, Ada semacam tanda lahir memanjang dari rusuk kiri ke dada kanan membentuk hurup Z. Tanda itu awal nya tak terlalu nampak karena samar-samar, Namun malam itu justru warna nya menjadi merah kecoklatan.
Ia tak merasa panik akan hal itu, Sebab ia sudah sering melihat nya ketika umur nya masih sekitar tiga tahun dan lima tahun. Ibu nya yang menyuruh nya untuk tidak panik ketika melihat tanda itu menebal warna nya ketika bulan purnama.
"Tanda lahir di dada ku ini menebal kembali setelah beberapa tahun!" Tukas nya dalam hati. Namun lamunan nya segera buyar ketika mendengar suara orang tua memanggil nya untuk masuk ke dalam kamar.
"Masuk ke dalam kamar ku, Rangga!"
"Ba..baik Guru." Jawab Rangga sedikit gugup dan akhirnya ia beranikan masuk ke dalam kamar itu. Kamar sang guru tak terlalu lebar, Tercium wangi rempah-rempah yang dibakar namun memiliki kesan nyaman dan enak di hirup. Hanya ruangan dalam yang bercahaya obor di setiap sudut pondok itu yang menerangi.
"Kenapa kau belum tidur, Rangga?"
"Anu kakek guru,...." Jawab nya gugup dan kakek tua itu hanya diam menatap bocah itu.
"Sepertinya kau sedang demam, Coba kemari." Rangga mendekat dan benar saja tubuh nya panas ketika disentuh oleh Resi Jayabaya.
"Hmm,, Tanda lahir di dada mu itu bukan tanda lahir biasa Rangga."
"Maksudnya kek?" Tanya Rangga sambil melihat dada nya yang terbuka.
"Sebenarnya kau di takdirkan untuk menjadi seorang pendekar pedang sakti dan kau lah titisan seorang pendekar pemilik pedang naga petir ini." Ujar Resi Jayabaya menunjukan pedang pusaka itu yang di simpan di kamar nya.
"Sayang nya kau belum mumpuni dan masih kecil untuk menguasai benda keramat ini. Sebab jika dirimu di penuhi rasa sombong dan picik merasa hebat, Niscaya pedang ini akan menjadi penyakit bagi penggunanya sendiri. Seperti orang-orang yang sebelumnya berlomba-lomba memburu pedang pusaka ini." Lalu Resi Jayabaya menceritakan kisah awal ia menjaga Pedang keramat itu dari incaran para manusia rakus sampai pada akhirnya memilih Rangga untuk menjadi pewaris pedang tersebut.
"Apakah tanda lahir ini adalah tanda akulah pewaris pedang ini, Kek?"
"Yah benar Rangga, Kau adalah titisan dari seorang pendekar sakti zaman dulu bernama Eyang Agung Wijaya Kusuma."
*Blegaaarrrrrrr!* *Gluduk!Gluduk!* Terdengar suara petir menggelegar bersahutan dan membuat Rangga kaget.
"Aduh, Harusnya kakek tak mengucapkan nama itu." Ujar Resi Jayabaya sedikit gelisah dan Rangga bertanya.
"Memang nya kenapa dengan nama itu kek? Apakah orang itu berilmu sangat sakti kek?"
"Tentu saja Nak, Dia adalah buyut dari guru ku. Jika nama nya disebutkan, Pasti akan ada suara guntur menggelegar. Siapa saja orang dirimba persilatan dilarang mengucapkan nama itu jika tanpa tujuan." Ucap sang Resi berkata berbisik kepada Rangga dan membuat Rangga sedikit tercengang kagum.
"Ngeri juga kek, Jadi kakek pernah punya guru dan guru kakek itu murid nya pemilik pedang ini, Begitu?"
"Betul sekali, Tumben kau cerdas biasanya kau sering bengong." Ucap sang Resi bercanda berniat ingin menghibur Rangga dan anak itu hanya tertawa malu saja.