NovelToon NovelToon
GITA & MAR

GITA & MAR

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda / CEO / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Fantasi Wanita / pengasuh
Popularitas:4.2M
Nilai: 5
Nama Author: juskelapa

Gita yang gagal menikah karena dikhianati sahabat dan kekasihnya, menganggap pemecahan masalahnya adalah bunuh diri dengan melompat ke sungai.

Bukannya langsung berpindah alam, jiwa Gita malah terjebak dalam tubuh seorang asisten rumah tangga bernama Mar. Yang mana bisa dibilang masalah Mar puluhan kali lipat beratnya dibanding masalah Gita.

Dalam kebingungannya menjalani kehidupan sebagai seorang Mar, Gita yang sedang berwujud tidak menarik membuat kekacauan dengan jatuh cinta pada majikan Mar bernama Harris Gunawan; duda ganteng yang memiliki seorang anak perempuan.

Perjalanan Gita mensyukuri hidup untuk kembali merebut raga sendiri dan menyadarkan Harris soal keberadaannya.


***

Cover by Canva Premium

Instagram : juskelapa_
Facebook : Anda Juskelapa
Contact : uwicuwi@gmail.com

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

015. Status Harris

Jaya terlihat kecewa dengan keputusan Mar membawanya ke rumah Nek Imah. Bocah laki-laki itu cemberut tapi tidak berlangsung lama karena Mar mengajak dua anak laki-laki itu mampir ke mini market sebelum ke rumah nenek mereka.

“Kita beli kebutuhan kalian dan sedikit jajanan untuk bekal selama di rumah nenek kamu. Selain nenek kamu, yang mata duitan siapa lagi di rumahnya?” Mar mendorong stroller tua berisi Hasan dan tiga bungkus kecil pakaian yang tersangkut di pegangan kereta itu.

“Ada adik bungsu-nya Bapak yang lebih cerewet dari nenek.” Jaya mengatakan itu dengan sorot mengiba. Berharap kalau Mar akan mengubah keputusannya. Namun jin yang memasuki tubuh Ibu memang keras kepala, pikirnya.

“Oke. Adiknya bapak kalian itu akan kuwanti-wanti. Mulai sekarang nggak akan ada yang berani menyenggol kalian.”

Dalam terangnya lampu mini market, Gita yang menumpangi tubuh Mar tidak berani melihat penampilannya sendiri. Ia semakin tidak mengenali dirinya. Semakin merasa kehilangan jati diri. Pakaian yang terlalu biasa, membawa dua anak dengan pakaian lusuh, bungkusan pakaian dan dahi penuh peluh. Ditambah sudut bibir yang luka karena tangan seorang suami.

“Rak susu di sebelah sini, Tan.” Mini market selalu membuat Jaya bersemangat. Dalam satu detik ia sudah berteriak dari salah satu lorong rak. “Hasan pasti senang! Malam ini Hasan minum susu.” Jaya melonjak-lonjak bahagia dengan tangan menunjuk jajaran susu formula.

Mar tersenyum miris lalu mendorong stroller mendekati Jaya. “Susu mana yang biasa dibeli ibu kalian untuk Hasan?”

Jaya memandang jajaran susu di rak dan menyentuh semuanya. “Hasan udah pernah minum semuanya. Dari yang mahal sampai yang murah. Tergantung dari duit Ibu.” Jaya tersenyum bangga.

Sedangkan Mar membuka dompet kain Mar dan menghitung sisa uangnya. Mar memandang Hasan dengan wajah iba. “Kamu nggak mencret minum susu berbeda-beda gitu? Ayo sekarang kita cari susu yang pas buat kamu.” Mar mengacak rambut Hasan dan bayi itu terlihat senang dengan keceriaan yang baru diterimanya.

Lima belas menit melihat-lihat berbagai merek susu dan membaca sekilas kandungan juga harganya membuat Mar menggaruk kepala. “Harga susu formula mahal banget. Ternyata Mar terlalu melarat. Boleh nggak, sih, bayinya minum teh pucuk aja?”

“Kalau minum teh pucuk, Hasan nangisnya sambil ngomong pucuk…pucuk…pucuk….” Jaya terbahak-bahak karena hal yang baru dikatakannya.

Mar membelai kepala Jaya. “Ternyata kamu lucu juga, ya. Tetap begini biar ibu kamu selalu ngerasa terhibur dan capeknya kerja nggak berasa.”

Jaya tersenyum memperlihatkan giginya yang rapi. Bocah itu melupakan sejenak soal Nek Minah. Jaya berlarian ke sana kemari di dalam mini market dan memilih jajanan yang akan dibayar Mar menggunakan kartu debit milik Gita.

Dengan dua bungkus belanjaan dari mini market langkah Mar semakin lambat. Untungnya rumah Nek Minah tidak jauh. Sepuluh menit keluar dari mini market mereka sudah tiba di depan gang rumah orang tua Samsul.

“Sebelum ke rumah nenek kalian, apa ada yang mau kamu sampaikan?” Mar membelai kepala Jaya.

“Misalnya?” Jaya memang benar-benar tidak paham.

“Unek-unek? Keluhan? Keinginan? Kemauan?” Jaya bebas memilih padu-padan kata mana yang paling pas buat dia.

“Aku nggak pernah ditanya soal kemauanku, jadi aku nggak tau apa yang aku mau. Aku nggak punya keinginan selain … aku nggak mau liat ibu nangis. Aku juga mau Hasan minum susu setiap hari. Karena kadang-kadang untuk nangis aja Hasan nggak punya tenaga. Badannya kurus.” Jaya berhenti memegang kepala adiknya yang terkantuk-kantuk dalam stroller.

“Itu aja?”

“Aku nggak mau kelamaan di rumah nenek.” Jaya kembali diam dengan tangan membelai kepala adiknya.

“Aku bakal jemput kalian secepatnya.” Mar tersenyum optimis walau ia sendiri tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Jaya melanjutkan, “Rumah Nek Imah itu terlalu rame. Aku nggak bisa belajar. Aku dan Hasan tidur di ruang tamu. Adik perempuan bapak sering bawa pacarnya. Ganti-ganti terus. Setiap ada orang baru yang dateng sering nanya, ‘Dek, ada WC?’” Jaya cemberut. “Aneh banget nanya gitu. Kayak kami pup di kebon aja.” Wajah Jaya sangat serius berhasil membuat Mar tergelak.

“Baiklah semua keluhan udah didenger. Sekarang aku antar kalian ke rumah Nek Imah. Aku nggak janji semua bakal cepat, tapi aku janji nggak akan lama.”

Wajah Jaya menggambarkan kelegaan. Langkahnya lebih ringan ketika Mar menggandengnya ke depan pintu rumah Nek Imah.

“Ngapain ke sini lagi? Memangnya kamu mau ke mana sampai-sampai nggak bisa jaga anak sendiri? Aku sibuk. Aku nggak bisa….” Nek Imah berhenti bicara karena melihat Mar dengan sangat santai membuka dompet dan mengeluarkan beberapa lembar.

Mar menjejalkan lima lembar uang pecahan seratus ribu ke tangan Nek Imah. “Ini uang belanja Jaya dan Hasan selama beberapa hari. Aku bakal cek apa yang mereka makan.”

Nek Minah menghitung cepat uang di tangannya. “Uang segini buat beli apa?”

Mar menggeleng dengan elegan. "Aku nggak akan ngasih banyak karena nenek Jaya bakal bagi-bagi ke si putri bungsu yang hidupnya kayak di keraton."

"Kamu kira aku bisa diperintah seenaknya kayak gini?"

“Sini,” kata Mar, membawa Nek Imah ke dalam rumah agar perkataannya tidak didengar Jaya. “Nek, dengar baik-baik.” Mar belum melepaskan tangannya di lengan Nek Imah.

“Makin kurang ajar aja kamu,” ucap Nek Imah dengan nada mengancam.

“Aku nggak mau banyak basa-basi. Jaya dan Hasan aku titip di sini untuk beberapa hari. Susu dan beberapa kebutuhannya udah aku beli. Masak makanan enak dan jangan sakiti mereka secara fisik ataupun mental.”

“Kamu kira aku siapa, Mar?” Nek Imah menghempaskan tangan Mar dari lengannya.

Mar kembali mencengkeram lengan Nek Imah. “Aku bukan Mar. Aku bukan menantu yang biasa cuma bisa nangis tiap Anda maki. Aku adalah jin yang menyaksikan Samsul merampok dan mendorong perempuan di tepi jembatan. Anda bisa diam dan merawat dua cucu laki-laki Anda dengan baik. Atau aku akan menjebloskan kalian semua ke penjara dengan banyak tuduhan kekerasan atas Mar dan tuduhan perampokan juga percobaan pembunuhan. Nasib putra Anda tergantung dari apa yang keluar dari mulut Anda. Ngerti? Ngerti, dong …. Masa gitu aja nggak ngerti.” Mar melepaskan lengan Nek Imah dengan wajah puas.

Nek Imah menjauhi Mar dan mengambil alih stroller Hasan yang kini sudah tertidur. “Jaya … kita masuk sekarang. Bawa semua bungkusan itu. Udah malam. Besok sekolah, kan? Mau dibekalin apa?” Nek Imah tak berani memandang Mar yang berdiri di ambang pintu mengawasinya.

Sebelum pintu tertutup, Jaya menoleh ke belakang. “Tante … jaga Ibu baik-baik ya.” Jaya melambai. Mar mengangguk kecil.

Ini adalah pilihan terbaik buat kamu dan Hasan, Jay. Bagaimana pun juga yang bisa menjaga kamu dengan baik adalah keluarga kamu. Kalau semuanya udah lebih baik, aku bakal jemput kamu. Syukur-syukur kalau yang jemput adalah ibu kamu yang sebenarnya.

Hari yang benar-benar aneh dan terasa sangat panjang itu akhirnya hampir berakhir. Sudah beranjak malam dan Mar ingin beristirahat di kamar khusus pegawai di kediaman Harris. Walau kamar asisten rumah tangga biasanya berukuran kecil, tapi kamar itu pasti setidaknya lebih aman dibanding kamar di rumah Mar yang bisa dimasuki Samsul setiap saat. Kamar di rumah Harris juga pasti lebih bagus. Begitu isi pikiran Mar.

Untungnya satpam pintu masuk kompleks yang bernama Pion mau memberitahu letak rumah Harris setelah Mar sedikit berbasa-basi soal urusannya pulang ke rumah hari itu. Kalau tidak, Mar terpaksa harus kembali mencari alasan dan berbohong dan bertanya soal alamat rumah langsung pada Harris. Satpam komplek genit itu bahkan mengedipkan sebelah matanya pada Mar ketika menerima ucapan terima kasih.

Mar tiba dengan sebuah taksi saat satpam rumah Harris sedang membukakan pintu pagar untuk mobil yang akan keluar.

“Itu mobil tamunya Pak Harris?” tanya Mar pada satpam. Mobil sedan yang lampunya sudah menyala dan bersiap pergi itu platnya memang berbeda dari mobil sedan hitam yang dikendarai Harris tadi.

“Iya, tamunya. Mungkin juga pacarnya Pak Harris,” jawab satpam itu.

Deg.

Mar langsung membaca nama satpam yang tertera di seragamnya.

Agung. Oke. Satpam komplek bernama Pion dan satpam rumah Harris bernama Agung. Satu dipanggil Mas Pion, satunya lagi Mas Agung.

“Udah punya pacar aja …,” ucap Mar pelan. Ia berhati-hati mengeluarkan kalimat demi memancing kalimat baru yang ia tunggu dari Agung.

“Wajar, sih. Hampir dua tahun jadi duda itu pasti rasanya nggak enak. Semua-semua serba sendiri. Andai wanita di mobil itu benar pacarnya, aku rasa wajar aja, Mar. Mungkin selama ini Pak Harris udah pacaran diem-diem dan baru malam ini pacarnya ke rumah." Agung memandang bagian depan rumah di mana Harris berdiri dengan dua tangan di saku dan terlihat menunduk untuk berbicara dengan seseorang di dalam mobil.

“Wajar bagaimana? Bisa aja istrinya dulu ….” Mar sengaja menggantung ucapannya. Berharap Agung kembali meneruskan soal status duda Harris.

“Bisa aja apa? Bisa bangkit dari kuburan seandainya ngeliat si suami nyari calon istri? Kayaknya kamu kecapekan Mar. Sana masuk ke rumah. Chika udah rewel nyariin kamu dari tadi.”

Mar mengatupkan mulut.

Hampir dua tahun menjadi duda karena istrinya meninggal? Hmm …. Pantes di rumah sakit nggak mau ngeliat aku. Ternyata udah ada pacarnya.

To be continued

1
lisna
🤣🤣🤣ketawa Mulu bacanya ada ya rambut bisa hijrah blom lg bunga pasir mana Harris percaya lagi itu nama kepanjangan bunga😅🤣🤣 ih gokil mah otornya🫰
SRI Wahyuni
ternya semua sekutu dgn harris 🤣🤣🤣
Esti Afitri88
aq juga ikut mewek
lisna
nah loh hayo git gmn ngadepin chika 😅
Bakul Lingerie
pada gengsi sih..udahan dong gengsi2 nya
Bakul Lingerie
Kaka Chika sakit kangen
Sri Prihatinie
sudah sedekat itu cikagita. aku jadi ikutan nyesek😥
Sri Prihatinie
ayo gita kesampingkan gengsimu. kasian cika. dia butuh kasihsayang seorang ibu
Sri Prihatinie
neneknya bukan sayang itu namanya lagi tapi ambisi. ntah apa yg dicari
Usnani
😭😭😭 nyesek banget,,, itulah yg namanya sayang yg tulus...
suci anggita
karya yg luar biasa, semoga kaka sehat selalu
neng beth
Sediiiih bangettt.... menahan rasa itu berattt yaa....

Bu Helena emang mati rasa... mungkin agak sakit jiwa...
Sampai dia lupa atau emang gak nyadar penyebab dia ditinggalkan orang² terdekatnya... hadeeehhh
Poernama 💜💜💝💝
seperti pertemuan ibu dan anak yg terpisah lama
Poernama 💜💜💝💝
seperti ibu dan anak njuss
Poernama 💜💜💝💝
Aalinya kmu sdh mendapatkan hati Anak dan Ayahnya Gita hanya soal waktu klu kmu sanggup bersabarlah
Ipehmom Rianrafa
lnjuut 💪💪💪
fitria pras
part yg mengandung bawang banget, udah neleleh² nya, d ujungnya kok jd buaya d kadalin, rencana mau nilap Harris ternyata gita jga dalam rencana mar,, trimakasih up nya kak njuss
Rini Eni
antara sedih & seneng di part ini. mellow bgt ni hati baca bab ini
🥀 UCHRIT Ossy 🔥
ikut trenyuh 🥺🥺🥺
Lailatus S
haris suruh meluk rumah sakit peninggalan istrinya aja gak usah melibatka wanita lain d hidupnya
biar gak nyusahin orang
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!