Anya tidak menyangka bahwa hidupnya suatu saat akan menghadapi masa-masa sulit. Dikhianati oleh tunangannya di saat ia membutuhkan pertolongan. Karena keadaan yang mendesak ia menyetujui nikah kontrak dengan seorang pria asing.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Japraris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 28
Mimpi buruk tentang peristiwa masa lalu membangunkan Anya. Kepalanya berdenyut hebat. Peristiwa yang ingin ia lupakan—wajah ibunya yang pucat pasi, ayahnya yang terbaring lemah, kekejaman pamannya, dan rasa sakit yang tak terperi—terukir jelas dalam mimpinya. Bayangan itu terasa begitu nyata, menghantuinya hingga ia terbangun dengan tubuh gemetar.
"Mama... Mama mimpi buruk?" Suara Kinan, lembut dan memecah kesunyian, membuyarkan lamunannya.
Kinan kecil terbangun dan melihat Anya yang tampak tersiksa. Ia merangkak mendekati Anya dan memeluknya erat. Anya membalas pelukan Kinan, rasa hangat tubuh mungil putrinya sedikit meredakan rasa sakit yang menghimpit hatinya. Kinan, dengan polosnya, mengelus rambut Anya, seolah mengerti kesedihan ibunya.
"Mama kenapa nangis?" tanya Kinan, suaranya masih serak karena baru bangun tidur. Kinan menatap Anya dengan mata berkaca-kaca, wajahnya penuh kekhawatiran.
Anya menghapus air matanya, berusaha tegar di hadapan putrinya. Ia memaksakan senyum, meskipun hatinya sesak. Senyum Anya terlihat dipaksakan, matanya masih berkaca-kaca.
"Mama cuma mimpi buruk, Sayang," jawab Anya lembut. "Sekarang sudah tidak apa-apa kok."
Kinan mengangguk, tetap memeluk Anya. Kehangatan dan ketenangan meliputi mereka. Meskipun ia tidak mengerti penyebab kesedihan ibunya, ia tahu harus selalu ada untuknya.
Setelah beberapa saat, Anya merasa sedikit lebih tenang. "Sayang, kita turun sarapan yuk," ajaknya. Suaranya masih sedikit gemetar.
"Ok, Mama," jawab Kinan riang, senyumnya merekah.
Di meja makan, Arga dan Rangga sudah menunggu.
"Selamat pagi, Nyonya Muda, Nona Muda," sapa Rangga ramah, senyumnya hangat.
"Selamat pagi, Om Rangga, Om Arga," sahut Kinan, tersenyum cerah.
Arga mengamati Kinan, harapan masih terpatri di matanya. Ia masih berharap Kinan akan memanggilnya 'ayah'. Ia tidak tahu kenapa Anya belum memberi tahu Kinan kebenaran tentangnya. Tetapi ia akan menunggu dengan sabar. Mungkin ada kesulitan yang membuat Anya menyembunyikan kebenaran.
Anya lega melihat Kinan yang sudah mulai terbiasa dengan Arga dan Rangga. Mereka duduk bersama. Arga memperhatikan Anya; wajahnya kusut, lingkaran hitam di bawah mata menandakan kurang tidur.
"Kamu tidak tidur semalam?" tanya Arga, suaranya penuh perhatian.
"Aku tidur," jawab Anya singkat, menghindari tatapan Arga.
"Om Arga, tadi Mama bangun dengan sedih." Ucap Kinan dengan polosnya.
"Sedih? Kinan tahu kenapa?" tanya Arga, matanya tertuju pada Anya, menatapnya dengan lembut, penuh perhatian dan sedikit kekhawatiran.
Anya buru-buru menyela, "Kinan, Mama bilang apa? Kalau sedang makan tidak boleh berbicara, kan?" Tegur Anya yang melarang Kinan untuk berbicara lebih lanjut.
"Kinan belum makan, Mama. Dan Om Arga sedang bertanya, bukankah harus dijawab?" tanya Kinan balik dengan polos, wajahnya sedikit bingung melihat ibunya.
"Om Arga, Mama sedih karena mimpi buruk. Bahkan Mama tadi nangis," ungkap Kinan, lugu dan jujur.
Arga menatap Anya dalam-dalam. Anya menunduk, menghindari tatapan penuh perhatian sekaligus sedikit mendesak itu. Ia terlihat gugup.
"Kinan tahu Mama mimpi apa dan menangis kenapa?" tanya Arga lagi, lembut namun mendesak.
Kinan menggeleng.
"Ambillah sarapanmu dan segera makan," kata Arga, mengalihkan perhatian, namun tatapannya tetap tertuju pada Anya.
Arga dan Rangga menyelesaikan sarapan mereka lebih dulu.
"Kalian makanlah, aku dan Rangga pergi dulu," pamit Arga, raut wajahnya tampak sedikit cemas.
Mereka pergi. Anya dan Kinan melanjutkan makan. Pikiran Anya masih terganggu mimpi buruk itu, mempengaruhi nafsu makannya.
"Mama, Kinan sudah kenyang."
"Mama juga, Sayang."
"Tapi makanan Mama masih banyak. Mama bilang kalau makan harus dihabiskan makanannya, nanti nasi nangis." Kinan terlihat lucu dan menggemaskan.
"Tapi Mama sedang sakit perut. Mama gak bisa makan lagi."
"Mama sakit perut? Kinan beritahu Om Arga dan Om Rangga," Kinan berdiri dari duduknya, khawatir dengan ibunya.
"Kinan tidak perlu, Mama tidak apa-apa," cegah Anya.
"Perutmu sakit? Aku antar kamu ke rumah sakit," tiba-tiba suara Arga terdengar dari pintu. Arga terlihat khawatir dan buru-buru.
"Iya, Om, Mama bilang perutnya sakit," ucap Kinan. Kinan tampak lega karena Arga datang.
"Aku tidak apa-apa. Hanya sakit perut biasa. Dengan istirahat akan sembuh," jawab Anya.
"Bibi, tolong temani Kinan di ruang bermain," pinta Arga.
"Baik, Tuan," jawab Bibi.
Bibi membawa Kinan ke ruang bermain. Meski khawatir, Kinan mengerti bahwa masalah orang dewasa harus ditangani oleh orang dewasa.
"Anya, ikut aku," ajak Arga, tangannya meraih lembut tangan Anya, menariknya ke arah mobil.
"Arga, aku baik-baik saja. Tidak perlu ke rumah sakit," bantah Anya lirih.
"Aku tahu kamu hanya membuat alasan untuk Kinan. Aku juga tahu kamu tidak nafsu makan," kata Arga, suaranya tegas namun lembut, menunjukkan ia memahami perasaan Anya yang terpendam.
Anya terdiam, merasakan perhatian Arga. Anya mengikuti Arga masuk ke dalam mobil. Suasana hening menyelimuti mereka.
"Kamu mau membawaku ke mana?" tanya Anya, penasaran.
"Nanti kamu akan tahu," jawab Arga.
Arga melajukan mobilnya. Ketegangan yang tercipta di antara mereka semakin terasa, membuat Anya semakin penasaran sekaligus khawatir akan tujuan mereka. Di luar, kota terlihat ramai, namun di dalam mobil, hanya ada keheningan yang diselingi debaran jantung Anya yang semakin cepat.
Mobil berhenti mendadak di depan gedung tinggi menjulang, perusahaan peninggalan ayah Anya. Anya tersentak, matanya membulat sempurna. Bangunan itu, saksi bisu kenangan manis dan pahit masa lalunya, memicu gelombang perasaan campur aduk. Kenangan indah bersama sang ayah bercampur dengan rasa takut yang menusuk, kembali menghantui.
"Anya, ayo turun," ucap Arga, suaranya lembut namun tegas.
"Tidak. Aku tidak mau," jawab Anya, menolak dengan suara gemetar, matanya berkaca-kaca. Tubuhnya menegang, menolak untuk bergerak.
"Anya, dengar aku. Turunlah," desak Arga, suaranya masih lembut, namun dengan nada yang lebih serius. Ia menatap Anya dengan tatapan yang penuh pengertian dan sedikit desakan.
"Tidak, Arga. Jangan paksa aku," racaunya, air mata mulai berjatuhan. Ia terlihat ketakutan dan putus asa.
Arga, memahami ketakutan Anya, keluar dari mobil, lalu membuka pintu mobil di sisi Anya, membantunya keluar. Anya masih menolak, namun Arga tetap membantunya hingga ia berdiri di atas tanah. Namun, begitu kakinya menyentuh aspal, Anya berlari sekencang mungkin, mencari taksi yang lewat. Ia ingin menjauh dari tempat yang menyimpan begitu banyak luka.
"Anya!" Arga berlari mengejarnya, suaranya dipenuhi kekhawatiran. Arga menahan Anya.
"Arga, aku tidak mau!" teriak Anya, menangis histeris, tangannya meremas baju Arga dengan kuat. Tubuhnya gemetar hebat, menunjukkan betapa besar ketakutan yang sedang ia alami.
Arga memeluk Anya erat, menenangkannya dengan lembut. Ia merasakan tubuh Anya yang gemetar hebat, seakan ingin runtuh.
"Anya, percayalah padaku. Ikut aku. Jangan takut. Ok?" bisik Arga, suaranya menenangkan, penuh kelembutan dan pengertian. Ia mengelus rambut Anya perlahan, berusaha meredakan kepanikannya.
Arga juga blm terbuka soal kejelasan skandal dia sama wanita2 yg digosipkan!!!
klu reno kn nikah sm wanita lain gk zina jg.
gitu kok anya tetap cinta arga.iihh...😒
jangan lupa mampir di "Menukahi musuh kakakku"