Sebuah rumah besar nan megah berdiri kokoh di tengah pedesaan yang jauh dari perkotaan. Rumah yang terlihat megah itu sebenarnya menyimpan banyak misteri. Rumah yang dikira biasa, nyatanya malah dihuni oleh ribuan makhluk halus.
Tidak ada yang tahu tentang misteri rumah megah itu, hingga satu keluarga pindah ke rumah tersebut. Lalu, mampukah mereka keluar dengan selamat dari rumah tempat Iblis bersemayam itu? Ikuti perjalanan mistis Bachtiar Purnomo bersama keluarganya!k
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rijal Nisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 25
"Mbak, tolong Bella!" pekik Bella.
Dewi segera berlari ke arah Bella, ia ingin menolong gadis itu, namun satu benda tajam menghadang langkahnya.
Pisau dari dapur melayang sendiri, menyuruhnya untuk tidak mendekati Bella.
Dewi panik, ia terdiam di tempat. Bella lupa kalau dirinya masih memakai kalung pemberian dari Andini.
"Mbak, cepat panggil papa dan mama!" suruh Bella.
"Tapi ka_"
"Cepat, Mbak!" potong gadis itu.
Brak!
Pintu menuju dapur tertutup rapat, mereka tidak bisa keluar dari sana.
"Bella, gimana ini?"
"Mama!" jerit Bella.
"Papa!"
Bella terus saja memanggil kedua orangtuanya, meski tak ada sahutan, tapi dia tidak putus asa.
Di atas lantai sudah penuh dengan tulisan peringatan, itu sebuah ancaman. 'TERIMA ATAU MATI!.'
Ancaman itu ditulis dengan darah, Dewi berusaha mendekati Bella. Dia merangkak menuju tempat Bella berada lalu memeluk tubuh Bella yang mulai gemetaran.
"Keluar kamu! Jangan cuma berani menakut-nakuti kami seperti ini!" teriak Dewi.
Hening, tak ada jawaban. Yang ada hanya kursi yang bergerak-gerak sendiri, Iblis-Iblis yang bersemayam di sana mulai menampakkan kemarahannya.
Bella berteriak sekeras-kerasnya, berharap mama dan papanya datang ke sana.
Tidak ada yang mendengar teriakan mereka, semua orang seolah dibuat tuli dengan panggilan Bella dan Dewi.
Ruang tengah berada jauh dari dapur, rumah mereka cukup luas. Namun nyatanya mbah Ijan tetap bisa mendengar teriakan Bella, beliau memutuskan untuk ke dapur dan meninggalkan ki Seto yang masih panik akan keberadaan sang istri.
"Pintunya terkunci!" teriak mbah Ijan.
Anggun dan Bachtiar mendesak mbah Ijan untuk mencari jalan keluar.
Lelaki itu menyuruh mereka untuk tetap tenang, mbah Ijan punya caranya sendiri.
"Tidak perlu takut, mereka tidak akan bisa menyentuh Bella. Bella masih memiliki kalung pemberian Andini," ujar mbah Ijan.
Saat mereka tengah sibuk di lantai bawah, dari lantai atas terdengar suara jeritan yang begitu melengking.
"Pa, itu suaranya kayak di dalam kamar mama kamu," ucap Anggun.
Bachtiar membelalakkan matanya, dia baru teringat akan sesuatu.
"Jangan-jangan seseorang sudah membangkitkan_" Bachtiar tidak sempat menyelesaikan omongannya, dia langsung pergi dengan buru-buru menuju lantai dua untuk segera melihat keadaan di sana.
Mbah Ijan mengikuti pak Bachtiar, beliau baru sadar kalau apa yang terjadi kepada Bella dan Dewi cuma untuk mengalihkan perhatian mereka saja.
Yang tujuan sebenarnya adalah, makhluk itu berniat masuk dalam ruangan tempat jasad pak Purnomo dan istrinya disimpan.
Begitu mbah Ijan pergi dari sana, pintu menuju dapur terbuka.
Dewi dan Bella akhirnya bisa keluar dari sana.
"Ini jalan buntu, tidak ada siapa pun yang pernah datang ke sini." Rendra memperhatikan jalan di depannya, sejauh matanya memandang hanya ada pepohonan besar dan tumbuhan liar.
Tadi dia melihat neneknya masuk ke dalam hutan itu, tapi hati Rendra mulai ragu untuk menyusul sang nenek.
"Apa mungkin nenek berani datang ke sini?"
Rendra berpikir lagi sebelum masuk ke dalam hutan tersebut.
Hujan semakin lebat, tanah tempatnya berpijak juga semakin basah dan licin.
Dingin mulai menyergap tubuhnya, Rendra memutuskan untuk berbalik arah dan pulang saja.
Saat angin dari timur menerpa kulitnya, Rendra merasa merinding. Dia semakin mempercepat langkahnya, tak hanya itu, Rendra juga merasakan ada seseorang yang terus mengikutinya.
Rendra ketakutan, cowok itu lari tunggang-langgang di tengah lebatnya hujan.
Tiba di rumah dia langsung menutup pintu dan menguncinya.
Tok...
Tok...
"Buka! Buka! Rendra, ini nenek."
Kedua kakinya menggigil hebat, Rendra tahu itu bukanlah sang nenek.
Cuaca di luar semakin gelap, suara tadi terus memaksanya untuk membuka pintu.
Kabut tebal menutupi langit, angin kencang dan petir turut meramaikan.
Suasana begitu mencekam, warga desa karang ketakutan di rumahnya.
Para petani yang sedang bercocok tanam juga menghentikan aktivitasnya, mereka mencari tempat berteduh yang aman.
Awalnya semua warga mengira kalau itu hanya perubahan cuaca seperti biasa. Nyatanya ini adalah malapetaka di desa mereka, tak ada lagi yang berada di jalan, semua orang berada dalam rumah dalam keadaan dibalut ketakutan.
"Iren, bagaimana bisa kamu ada di sini?" tanya mbah Ijan.
Bi Iren tersenyum miring. "Aku memang ada di sini, dan yang diikuti oleh Rendra adalah makhluk lain. Kalian sangat mudah ditipu, hahaha..."
Tawa keras dari makhluk itu membuat mbah Ijan naik darah, sekarang dia menyesal telah membangkitkan jiwa kesepian itu. Jiwa yang penuh dendam, dan kemudian menghasut Purnomo untuk masuk lebih jauh dalam dunianya.
"Keluar kamu dari tubuh wanita ini!" sentak mbah Ijan.
"Tidak akan! Aku tidak akan pernah keluar dari tubuh ini, daripada berdebat sebaiknya kalian ambil keputusan sekarang!" desak Iblis itu.
Ki Seto memandang ke arah pintu menuju ruang bawah tanah, pintu itu sudah terbuka. Bawang putih yang diletakkan di dekat pintu sudah tidak ada, beberapa alat yang dijadikan sebagai pengahalang supaya Iblis itu tidak keluar dari sana juga sudah raib dari tempatnya.
"Mbah, semua penghalang di dekat pintu itu sudah dicabut!" tunjuk ki Seto.
Mbah Ijan terkejut melihatnya, Iblis yang mereka hadapi sekarang rupanya punya banyak cara untuk mendapatkan salah satu dari cucu Purnomo.
Angin dari luar bertiup kencang memasuki kamar itu, Anggun yang kala itu tengah berada di dekat pintu menuju ruang bawah tanah langsung ditarik ke sana.
"Pa, tolong!" jerit Anggun.
Brak!
Pintu kembali tertutup, mereka terlambat.
"Jangan macam-macam dengan istri saya!" sentak Bachtiar dengan wajah memerah.
"Hahaha! Jangan takut Bachtiar, aku tidak akan mengambil istri dan anakmu, asalkan kamu mau menjadi pewaris dari harta ini," ancam makhluk itu.
Mereka semua semakin tidak mengerti, ada apa ini sebenarnya?
Bulan purnama masih lama, tapi kenapa Iblis itu sudah mulai mengganggu dan sangat mendesak mereka.
Mbah Ijan tahu apa yang sedang dipikirkan oleh orang-orang di sekelilingnya, beliau kembali menatap bi Iren.
"Jawabannya ada pada Iren," ujar mbah Ijan menunjuk ke arah bi Iren yang sudah tidak lagi dirasuki roh jahat.
Bi Iren terdiam, tatapan semua orang yang memandangnya dengan penuh kecurigaan membuat dia gugup.
Ki Seto masih belum paham dengan itu semua. Di dalam ruang bawah tanah, Anggun hanya bisa pasrah menunggu mereka datang menolong.
"Jangan pikirin tentang bi Iren dulu, Mbah! Cepat cari cara untuk bantuin mama!" ucap Bella dengan raut wajah panik.
Mbah Ijan memejamkan mata sambil mulutnya komat kamit membaca mantra.
Pintu kembali terbuka dan bau busuk segera menyebar memenuhi seluruh isi kamar tidur.
"Ayo cepat cari mama!" Pak Bachtiar memimpin jalan di depan.
Dewi, Bella, mbah Ijan, dan ki Seto mengikuti dari belakang, sedangkan bi Iren diam-diam meninggalkan tempat itu.
Dalam keadaan seperti ini, bi Iren masih sempat melepaskan diri.
"Semua orang sudah tahu tentang apa yang sudah aku perbuat? Bagaimana ini? Maafkan aku, Pak. Bapak pasti kecewa sama aku," lirih bi Iren. Wanita tua itu menyeret kakinya yang sudah terasa letih pulang menuju rumahnya. Hujan sudah agak sedikit reda, awan hitam juga tidak setebal tadi. Namun, matahari masih tetap bersembunyi di balik awan kelabu.
Bachtiar melihat keadaan sang istri yang masih baik-baik saja. Mereka beruntung karena Iblis itu tidak berani untuk menyentuh langsung cucu Purnomo, para Iblis tersebut masih harus menunggu sampai bulan purnama tiba.
Menunggu hingga sampai di waktu yang telah ditentukan.
Mbah Ijan menyuruh mereka semua untuk segera naik lagi ke atas, karena beliau khawatir sesuatu yang buruk akan kembali terjadi.
"Tidak ada yang berubah, peti mati itu masih tertutup rapat," ujar Bella yang terus memperhatikan peti mati yang berdebu dan sudah dihiasi dengan sarang laba-laba itu.
"Cepat keluar dari sini! Jangan terus memandangi peti itu!"
Dewi menarik tangan Bella untuk ikut keluar bersamanya, Bachtiar membantu istrinya, sedangkan mbah Ijan tidak langsung keluar. Lelaki tua itu memastikan lebih dulu kalau dalam peti tersebut memang masih ada mayat bu Arum.
Mata mbah Ijan yang awalnya terpejam, tiba-tiba dibuka lagi seiring dengan napasnya yang memburu.
"Ada apa, Mbah?" tanya Dewi yang sempat melihat reaksi syok mbah Ijan.
"Enggak ada apa-apa, ayo kita keluar!" ajaknya. Dewi dan Bella kembali menaiki tangga. Sedangkan mbah Ijan masih bengong dengan yang barusan terlihat dalam bayangannya.
Apa yang sebenarnya beliau lihat?
.
Dua hari telah berlalu sejak mereka masuk ke desa winara.
Anggi mengajak Andini dan Sisi keluar jalan-jalan.
Beberapa ibu-ibu di sana menatap mereka dengan tatapan asing.
Tak ada satu orang pun yang bersikap ramah, hal ini membuat Andini heran, lekas saja ia bertanya pada si bunga desa.
"Anggi, ada apa sama ibu-ibu itu?" tanya Andini.
"Biasa, Mbak. Mereka tidak
pernah senang kalau ada orang baru yang masuk. Mereka menganggap orang yang masuk ke sini hanya datang untuk mencari kekayaan."
Sisi mengernyit heran mendengar omongan Anggi.