NovelToon NovelToon
Rissing Sun

Rissing Sun

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu / Epik Petualangan / Dunia Lain / Penyeberangan Dunia Lain / Fantasi Wanita / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:532
Nilai: 5
Nama Author: Vidiana

Ketegangan antara Kerajaan Garduete dan Argueda semakin memuncak. Setelah kehilangan Pangeran Sera, Argueda menuntut Yuki untuk ikut dikuburkan bersama suaminya sebagai bentuk penghormatan terakhir. Namun, Pangeran Riana dengan tegas menolak menyerahkan Yuki, bahkan jika itu berarti harus menghadapi perang. Di tengah konflik yang membara, Yuki menemukan dirinya dikelilingi oleh kebohongan dan rahasia yang mengikatnya semakin erat pada Pangeran Riana. Setiap langkah yang ia ambil untuk mencari jawaban justru membawanya semakin jauh ke dalam jebakan yang telah disiapkan dengan sempurna. Di sisi lain, kerajaan Argueda tidak tinggal diam. Mereka mengetahui ramalan besar tentang anak yang dikandung Yuki—anak yang dipercaya akan mengubah takdir dunia. Dengan segala cara, mereka berusaha merebut Yuki, bahkan menyusupkan orang-orang yang berani mengungkap kebenaran yang telah dikubur dalam-dalam. Saat pengkhianatan dan kebenaran saling bertabrakan, Yuki dihadapkan pada pertanyaan terbesar dalam hidupnya: siapa yang benar-benar bisa ia percaya? Sementara itu, Pangeran Riana berusaha mempertahankan Yuki di sisinya, bukan hanya sebagai seorang wanita yang harus ia miliki, tetapi sebagai satu-satunya cahaya dalam hidupnya. Dengan dunia yang ingin merebut Yuki darinya, ia berjuang dengan caranya sendiri—menyingkirkan setiap ancaman yang mendekat, melindungi Yuki dengan cinta yang gelap namun tak tergoyahkan. Ketika kebenaran akhirnya terbongkar, akankah Yuki tetap memilih berada di sisi Pangeran Riana? Atau apakah takdir telah menuliskan akhir yang berbeda untuknya? Dalam Morning Dew V, kisah ini mencapai titik terpanasnya. Cinta, pengkhianatan, dan pengorbanan saling bertarung dalam bayang-bayang kekuasaan. Di dunia yang dipenuhi ambisi dan permainan takdir, hanya satu hal yang pasti—tidak ada yang akan keluar dari kisah ini tanpa luka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

32

Pangeran Riana berdiri di dekat jendela, punggungnya tegang, tangannya terkepal hingga buku-buku jarinya memutih. Matanya menyala dengan kemarahan yang tak terbendung. Dia telah mengendalikan segalanya, membentuk ulang dunia Yuki agar hanya ada dirinya di dalamnya. Tapi Lekky—bajingan licik itu—datang dan menghancurkan semua yang telah dia bangun.

Dia bisa membayangkan bagaimana Yuki sekarang, tenggelam dalam kesedihan yang seharusnya sudah dia kubur bersama ingatannya. Lekky dengan kemampuan terkutuknya telah merusak itu semua, membuka kenangan yang seharusnya tetap terkunci di alam bawah sadarnya.

Pangeran Riana menghela napas panjang, mencoba menekan amarah yang berkecamuk di dadanya. Dia tidak akan tinggal diam.

Saat Dia berbalik.

Pangeran Riana menatap dengan mata yang berkilat dingin. Rahangnya mengeras saat melihat Lekky duduk santai di sofanya, seolah tempat ini miliknya, seolah dia tidak peduli pada amarah yang hampir meledak di dada Riana.

Lekky memainkan pisaunya dengan malas, ujungnya berkilau di bawah cahaya lilin. Tatapannya tenang, tapi penuh perhitungan. Dia tahu apa yang baru saja dia lakukan telah mengguncang segalanya, dan dia tampak menikmatinya.

“Aku rasa tidak adil jika Yuki tidak mengingat apa pun,” kata Lekky ringan, seolah dia hanya menyatakan fakta sederhana.

Pangeran Riana mengepalkan tinjunya. “Kau tidak ingin dia meraih kebahagiaan yang diperoleh bukan darimu,” suaranya rendah, hampir seperti geraman.

Lekky tersenyum kecil, acuh. “Lalu?”

Ketenangannya membuat darah Riana mendidih. Dia ingin mencekik pria itu, ingin menancapkan pisaunya ke dadanya, ingin menghapus keberadaannya dari dunia ini. Tapi Lekky bukan lawan yang bisa diserang begitu saja.

“Kau mengacaukan segalanya,” desis Riana.

Lekky menyandarkan punggungnya dengan santai. “Aku hanya mengembalikan sesuatu yang seharusnya tidak pernah kau ambil.”

Pisaunya hampir melesat ke arah Lekky saat suara panik itu memotong kemarahan Pangeran Riana.

“Pangeran…!!” Seorang prajurit berlari masuk, napasnya tersengal, wajahnya pucat. “Putri Yuki… Dia… Dia mencoba menyayat tangannya…”

Dunia terasa berhenti sesaat.

Pangeran Riana membeku. Cengkramannya di gagang pisau mengendur, matanya melebar sebelum berubah gelap oleh kemarahan dan ketakutan yang menghantam sekaligus.

Lekky menatapnya dengan ekspresi datar, lalu mendesah pelan, seolah dia sudah menduga hal ini akan terjadi. “Kau ingin membunuhku sekarang atau nanti, Pangeran? Karena sepertinya ada hal yang lebih mendesak untukmu.”

Riana tak membuang waktu. Dalam hitungan detik, dia sudah menerobos keluar, langkahnya berat dan penuh kegelisahan. Detak jantungnya menggema di telinganya, nyaris menenggelamkan suara hujan yang masih turun di luar.

Yuki.

Jika dia berani melukai dirinya sendiri…

Pangeran Riana mengeraskan rahangnya. Tidak. Dia tidak akan membiarkan itu terjadi.

Pangeran Riana hampir menabrak beberapa pelayan yang mundur dengan wajah ketakutan saat dia menerobos lorong panjang menuju kamar Yuki. Suara langkah kakinya menggema, menciptakan aura tekanan yang membuat siapa pun yang melihatnya menahan napas.

Pintu kamar Yuki sudah terbuka. Seorang pelayan perempuan berdiri gemetar di ambang pintu, matanya basah oleh air mata. Begitu melihat Pangeran Riana, dia buru-buru menyingkir.

Di dalam, cahaya lilin berkelip samar, menyoroti sosok Yuki yang terduduk di lantai, punggungnya bersandar di sisi ranjang. Tangannya terkulai di atas pahanya, darah mengalir dari pergelangan tangannya, menodai gaun tidurnya yang berwarna pucat.

“Keluar,” suara Pangeran Riana terdengar tajam, nyaris bergetar.

Nayla yang masih berlutut di samping Yuki mengangkat wajahnya dengan panik, hendak membantah. Tapi satu tatapan dingin dari Pangeran Riana sudah cukup untuk membuatnya bangkit dan bergegas meninggalkan ruangan.

Pangeran Riana mendekat. Setiap langkahnya terasa berat.

Yuki masih sadar, meskipun matanya tampak kosong. Bibirnya bergetar sedikit saat melihatnya, tetapi dia tidak berusaha bergerak.

Pangeran Riana berlutut di hadapannya, meraih tangan Yuki dengan gerakan yang tegas namun hati-hati. Jemarinya meraba luka itu—tidak dalam, tapi cukup untuk mengeluarkan darah. Dia mengeluarkan saputangan dari sakunya dan menekannya di pergelangan tangan Yuki, menghentikan pendarahan.

“Kenapa?” suaranya rendah, menahan emosi yang membara di dadanya.

Yuki tidak menjawab. Dia hanya menatap ke arah lain, seolah Pangeran Riana bukanlah orang yang ingin dia lihat saat ini.

Pangeran Riana mencengkeram dagu Yuki, memaksa wanita itu menatapnya. “Kenapa?” ulangnya, suaranya lebih tajam.

Yuki menggigit bibirnya, air mata yang sejak tadi tertahan akhirnya jatuh. “Aku tidak ingin hidup lagi…” bisiknya. “Aku tidak ingin berada di sisimu…”

Rahang Pangeran Riana mengeras, tapi dia tidak melepaskannya. “Itu bukan pilihan yang bisa kau buat, Yuki.”

Yuki tertawa kecil, getir. “Lalu apa pilihanku?”

Pangeran Riana menatapnya lama sebelum akhirnya menarik napas panjang. “Pilihanmu adalah hidup, menjadi istriku dan satu-satunya wanitaku,” katanya dingin. “Kau pikir kematian bisa membebaskanmu dariku? Tidak, Yuki. Bahkan jika kau mati, aku akan memastikan jiwamu tetap berada di sisiku.”

Yuki menutup matanya, terisak pelan.

Pangeran Riana mengusap darah dari pergelangan tangan Yuki, lalu dengan lembut menariknya ke dalam pelukannya, Dia duduk bersandar di kepala tempat tidur sementara Yuki duduk di pangkuannya. Memunggunginya. “Aku tidak akan membiarkanmu pergi,” bisiknya di telinga Yuki, nada suaranya berubah lembut, hampir menyakitkan. “Tidak peduli seberapa keras kau mencoba.”

Pangeran Riana mengeratkan pelukannya, merasakan tubuh Yuki yang gemetar dalam genggamannya. Hujan masih terdengar di luar, menghantam jendela dengan ritme yang mengingatkan pada detak jantungnya yang tak beraturan.

Yuki tidak membalas pelukannya. Tubuhnya terasa dingin, begitu rapuh seolah angin saja bisa merobohkannya. Tapi Pangeran Riana tidak peduli. Dia tidak akan membiarkan Yuki jatuh lebih dalam ke dalam keputusasaan. Tidak akan membiarkannya lepas dari genggamannya.

Jemarinya menyusuri helai rambut basah Yuki, membenamkan wajahnya di bahu wanita itu. “Kau milikku, Yuki,” suaranya pelan, tapi penuh ketegasan. “Tidak ada yang bisa mengubah itu.”

Yuki terisak lagi, lebih keras, bahunya bergetar hebat. “Kenapa kau melakukan ini padaku…?” suaranya hampir tidak terdengar. “Kenapa kau tidak membiarkanku pergi…?”

Pangeran Riana menarik wajahnya sedikit, menatap Yuki dengan mata gelap yang menyala dalam emosi yang sulit dijelaskan. Jarinya terangkat, menghapus air mata dari pipi Yuki.

“Karena aku mencintaimu.”

Yuki menahan napas. Kata-kata itu terasa seperti belati yang menusuk langsung ke dalam dadanya.

“Tapi itu bukan cinta…” bisiknya, suaranya pecah. “Kau menyakitiku… kau menghancurkanku…Kau membohongiku”

Pangeran Riana tersenyum kecil, namun matanya tetap dingin. “Lalu masalahnya dimana ?. Aku melakukannya karena Kau yang mencoba pergi dariku.”

Dia meraih tangan Yuki yang terluka, mengecup pergelangan yang masih ternoda darah. “aku satu-satunya yang bisa mencintaimu seperti ini.”

Yuki merasa dadanya semakin sesak. Napasnya tersengal, seolah udara di sekitarnya menipis. Dia menatap Pangeran Riana, mencari sesuatu—apa pun—dalam sorot matanya yang dingin. Tapi dia hanya menemukan kegelapan yang tak berujung.

“Kau…” suara Yuki bergetar, tangannya mengepal. “Kau egois…”

Pangeran Riana tersenyum kecil, bibirnya melengkung dengan keangkuhan yang begitu khas. “Mungkin,” jawabnya ringan, “tapi aku tidak akan meminta maaf.”

Dia menarik tubuh Yuki lebih dekat, menekan dahinya ke pelipis wanita itu, membiarkan kehangatan mereka bercampur dalam kebisuan yang menyesakkan.

“Dengar,” bisiknya lembut, nyaris seperti rayuan. “Aku bisa memberimu segalanya, Yuki. Keamanan, kekuatan, dan tempat yang tidak bisa digantikan oleh siapa pun.”

Yuki menggigit bibirnya, menahan isakan yang ingin pecah.

“Tapi kebebasan…” suaranya lirih, penuh kepedihan. “Kau tidak akan pernah memberikannya, bukan?”

Pangeran Riana mengusap pipinya, jemarinya kasar tapi gerakannya begitu lembut.

“Kau tidak membutuhkan kebebasan,” desisnya. “Kau hanya butuh aku.”

Pangeran Riana menangkup wajah Yuki, jari-jarinya yang kuat namun dingin menekan lembut di bawah dagunya, memaksa Yuki menatapnya. Sorot matanya gelap, penuh emosi yang sulit dibaca.

Perlahan, dia menunduk, bibirnya menyentuh pipi Yuki—sekali, dua kali—mencium dengan tekanan yang dalam, seolah ingin menanamkan kehadirannya di sana. Helaan napasnya terasa hangat di kulit Yuki, sementara jemarinya tetap mencengkeramnya erat, mencegahnya mundur.

Lalu tanpa peringatan, bibirnya turun, menekan bibir Yuki dengan kuat, menuntut lebih dari sekadar sentuhan. Ciumannya dalam, nyaris kasar, penuh kepemilikan.

Yuki terkejut, tubuhnya menegang di bawah dominasi pria itu. Dia mencoba mundur, tapi cengkeraman Pangeran Riana di tengkuknya semakin menguat, menariknya lebih dekat, menahan setiap usaha untuk melawan.

Ciuman itu bukan sekadar ciuman. Itu adalah pernyataan—perintah tanpa kata—yang mengatakan bahwa dia miliknya. Hanya miliknya.

Isak tertahan lolos dari bibir Yuki saat napasnya terkoyak. Air mata yang belum sempat mengering kembali menggenang di sudut matanya.

Saat Pangeran Riana akhirnya melepaskan ciumannya, dia menatap Yuki dengan mata yang gelap dan tajam. Jemarinya mengusap lembut bibir yang baru saja dia renggut, sementara napasnya masih memburu.

“Kau milikku, Yuki,” suaranya dalam dan berbahaya, seolah sedang mengingatkan. “Dan aku tidak akan pernah membiarkan siapa pun merebutmu dariku.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!