"Aku ingin kau menjadi orang yang menyusuinya."
Sienna menatap pria di hadapannya dengan mata membelalak, yakin bahwa ia pasti salah dengar. “Maaf, apa?”
Arsen Ludwig, pria yang baru diperkenalkan sebagai sponsor klub ice skatingnya, menatapnya tanpa ekspresi, seolah yang baru saja ia katakan adalah hal paling wajar di dunia.
“Anakku, Nathan. Dia menolak dot bayi. Satu-satunya cara agar dia mau minum susu adalah langsung dari sumbernya.”
Jantung Sienna berdebar kencang.
“Aku bukan seorang ibu. Aku bahkan belum pernah hamil. Bagaimana bisa—”
“Aku tahu,” potong Arsen cepat. “Tapi kau hanya perlu memberikan dadamu. Bukan menyusuinya secara alami, hanya membiarkan dia merasa nyaman.”
Ini adalah permintaan paling aneh yang pernah ia terima. Namun, mengapa ia tidak langsung menolaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alensvy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17
...****************...
Aku duduk di kursi kelas bisnis dengan Nathan di pangkuanku, tangannya kecilnya sibuk mencengkeram sweaterku. Sementara itu, di sebelahku, Arsen asyik dengan iPad-nya, jarinya bergerak cepat di atas layar.
"Anakmu berat," gumamku sambil menggeser posisi duduk biar lebih nyaman.
"Kau yang mau menggendongnya," balas Arsen tanpa menoleh, masih sibuk dengan iPad-nya.
"Itu sebelum aku tahu kalau dia gak bisa diam. Lihat ini, tangannya terus narik bajuku," dengusku sambil mencoba melepas cengkeraman kecil Nathan di sweaterku.
"Dia suka padamu," ujar Arsen datar, sekilas melirik sebelum kembali fokus ke layar.
"Suka nyusahin maksudmu?" seruku, mendelik ke arahnya.
Nathan menggumam sesuatu dalam bahasanya sendiri sebelum mengubur wajahnya di dadaku. Aku menghela napas, menyerah. "Baiklah, kau memang lucu," bisikku sambil mengusap punggungnya.
"Kau yakin bisa mengurusnya selama di Milan?" tanya Arsen tiba-tiba, akhirnya menutup iPad-nya.
"Tentu saja. Aku kan sudah berpengalaman seminggu ini," jawabku percaya diri.
"Berpengalaman membuatnya makin manja, maksudmu?" balasnya santai.
Aku melotot. "Arsen, kalau kau gak sibuk dengan iPad-mu, mungkin kau bisa bantu sedikit," omelku kesal.
"Aku percaya padamu," ujarnya ringan, mengangkat bahu.
Aku mendecak. "Dasar."
Nathan mulai menguap, matanya perlahan tertutup. Aku melirik Arsen. "Dia pasti butuh tidur. Sebaiknya kau pegang dia dulu, aku mau minum," kataku, meraih gelas air putih dari meja kecil di depanku.
Arsen mengambil Nathan dengan cekatan, menimangnya perlahan. Aku menyesap air sebelum menaruh gelas kembali, lalu menoleh dan melihat sesuatu yang aneh—ekspresi Arsen. Tatapannya pada Nathan berbeda dari biasanya. Lembut.
"Apa?" tanyaku pelan, penasaran.
"Tidak ada," jawabnya singkat, menggeleng.
Aku memiringkan kepala, menatapnya curiga. Tapi sebelum aku sempat bertanya lebih lanjut, suara pramugari mengumumkan kalau pesawat sebentar lagi akan lepas landas. Aku menghela napas panjang.
Milan, aku datang.
...****************...
"Akhirnya," desahku sambil meregangkan tubuh begitu masuk ke kamar hotel. "Aku bisa tidur enak setelah penerbangan panjang itu."
Arsen berjalan masuk di belakangku, menyeret koper dengan satu tangan sementara tangan lainnya menggendong Nathan yang masih setengah tertidur. "Jangan tidur dulu, kau harus makan," ujarnya datar.
Aku menjatuhkan diri ke sofa empuk di dekat jendela. "Kau pikir aku bisa makan setelah perjalanan sejauh ini? Aku butuh istirahat dulu."
Arsen menaruh koper di dekat tempat tidur lalu duduk di ujung ranjang, membetulkan posisi Nathan di pelukannya. "Aku akan pesan makanan," katanya singkat.
Aku menoleh ke arah mereka dan tanpa sadar tersenyum kecil. "Nathan kayaknya nyaman banget tuh di pelukanmu," gumamku.
"Tentu saja. Aku ayahnya," balasnya santai.
Aku memutar mata. "Iya, iya. Sudah aku tahu."
Arsen melirik jam tangannya sebelum berdiri. "Aku mau bicara dengan tim. Kau bisa istirahat, tapi jangan lupa makan nanti."
Aku hanya mengangkat tangan sebagai jawaban, terlalu lelah untuk berdebat. Saat pintu tertutup di belakangnya, aku akhirnya berbaring di sofa dan memejamkan mata.
Namun, baru saja aku mulai merasa nyaman, Nathan menggeliat dan menggumam pelan. Aku menghela napas panjang, lalu bangkit dan menghampirinya di ranjang.
"Hei, kau gak kangen sama aku kan?" bisikku sambil mengelus rambutnya yang lembut.
Nathan menguap kecil, matanya setengah terbuka sebelum kembali tertidur. Aku tersenyum, lalu berjalan menuju jendela besar di kamar itu. Dari sini, aku bisa melihat sebagian kota Milan yang gemerlap.
Lima bulan ke depan akan menjadi perjalanan yang panjang, dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Tapi satu hal yang pasti—aku harus tetap fokus pada tujuanku.
Dan tentu saja, menjaga jarak dari Arsen.
...****************...
“Hei, bangun.”
Aku menggeliat saat suara itu terdengar di telingaku, diikuti sentuhan pelan di bahuku. Dengan malas, aku membuka mata dan langsung melihat Arsen berdiri di samping sofa. Dua pelayan berdiri di belakangnya, membawa nampan makanan.
“Kenapa kau bangunin aku?” keluhku, suaraku masih serak karena baru bangun.
“Sudah dua jam kau tidur. Makan dulu.”
Sebelum sempat aku protes lebih lanjut, suara tangisan kecil terdengar dari ranjang. Aku langsung menoleh dan melihat Nathan menggeliat gelisah, bibirnya mengerucut tanda akan menangis lebih keras.
Aku mendesah. “Tuh, kan? Gara-gara kau, Nathan jadi bangun dan nangis.”
Arsen melirik sekilas ke arah Nathan sebelum duduk di tepi ranjang, menggendong anaknya dengan santai. “Memang harus bangun. Kalau tidur terus, nanti malam susah tidur.”
Aku menatapnya kesal. “Tapi aku juga butuh tidur, tahu?”
Arsen nggak menanggapi, cuma fokus menepuk-nepuk punggung Nathan dengan tenang. Salah satu pelayan mendekat ke meja kecil di sudut kamar dan mulai menyusun makanan. Aroma makanan hangat langsung memenuhi ruangan, bikin perutku yang tadinya nggak niat makan jadi tergoda.
Aku bangkit perlahan, masih agak malas. “Ini makanan apa?” tanyaku sambil melirik isi nampan.
“Makanan ringan sebelum makan malam.”
Aku memutar mata. “Aku nggak selalu lapar, tahu?”
Arsen melirikku sebentar sebelum kembali fokus ke Nathan. “Tapi kau selalu mengeluh.”
Aku mendengus, tapi tetap mengambil sendok dan mulai makan.
Sambil mengunyah, aku melirik Arsen yang masih menggendong Nathan. Pria itu kelihatan santai banget, padahal tadi sempat bikin anaknya nangis. Entah kenapa, melihat mereka kayak gini bikin perasaanku aneh. Ada sesuatu yang bikin hangat di dada, tapi aku buru-buru menepisnya.
Aku di sini cuma buat acara Milan. Itu saja.
"Kau harus keluar sebentar, lihat tempat acaranya," kata Arsen sambil duduk di kursi dekat meja.
Aku yang masih duduk bersandar di sofa cuma mengangguk malas. "Oke."
"Sekalian mengukur baju dan latihan sedikit. Mereka ingin kau mengenakan pakaian merek mereka dan memamerkannya sambil menari pakai sepatu skate," lanjutnya dengan nada datar seperti biasa.
Aku menghela napas panjang. "Baiklah, aku ikut saja. Aku juga lagi malas debat."
Arsen mengangguk, lalu melirik Nathan yang masih nyaman dalam pelukannya.
"Tapi sebelum pergi, susui dulu Nathan. Kalau tidak, nanti dia nangis dan jadi susah minum susunya. Dan kalau sudah begitu, dia pasti susah tidur."
Aku menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya menghela napas lagi.
"Kau ini terlalu banyak nyuruh-nyuruh aku, tau gak?" gumamku sambil meraih Nathan dengan hati-hati.
Arsen tidak menanggapi, hanya menyerahkan Nathan kepadaku dengan ekspresi datarnya. Aku menggendong si kecil dan bersiap menyusuinya, sementara Arsen berdiri dan berjalan ke arah jendela, memberi sedikit ruang untukku.
Entah kenapa, semua ini mulai terasa terlalu alami.
.
.
.
Next 👉🏻