Sakit hati sang kekasih terlibat Cinlok (Cinta Lokasi) hingga berakhir di atas ranjang bersama lawan mainnya, Ameera bertekad menuntut balas dengan cara yang tak biasa.
Tidak mau kalah saing lantaran selingkuhan kekasihnya masih muda, Ameera mencari pria yang jauh lebih muda dan bersedia dibayar untuk menjadi kekasihnya, Cakra Darmawangsa.
Cakra yang memang sedang butuh uang dan terjebak dalam kerasnya kehidupan ibu kota tanpa pikir panjang menerima tawaran Ameera. Sama sekali dia tidak menduga jika kontrak yang dia tanda tangani adalah awal dari segala masalah dalam hidup yang sesungguhnya.
*****
"Satu juta seminggu, layanan sleep call plus panggilan sayang tambah 500 ribu ... gimana?" Cakra Darmawangsa
"Satu Milyar, jadilah kekasihku dalam waktu tiga bulan." - Ameera Hatma
(Follow ig : desh_puspita)
------
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara dll)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24 - Sudah Semuanya?
"Ameera ... atau masih betah di sini?"
Cakra tersenyum tipis, beberapa saat dia menunggu dan Ameera masih bergeming, bahkan berdiri saja seakan tak kuasa. Entah apa yang tengah dia lakukan, menangis atau terbahak Cakra tidak tahu. "Eum, kamu tahu tidak? Korban perampokan yang dulunya dibantai sekeluarga dimakamkan di sini, itu yang di hadapanmu adalah makam suami_"
Belum selesai Cakra bicara, Ameera sontak menghambur ke arahnya. Napas Ameera sampai terengah-engah, sementara Cakra hanya tertawa sumbang seraya mengusap pundak Ameera yang tengah menenggelamkan wajah ke dadanya.
"Sok-sok an curhat sama pohon, padahal penakut juga," ucap Cakra yang kemudian, dan itu sama sekali tidak Ameera tanggapi.
Dia masih saja terdiam, berusaha untuk tenang hingga beberapa saat kemudian diamnya Ameera tergantikan isak tangis. Dia yang tadinya sempat menangis seolah menjadi alasan tangisannya semakin pilu. Cakra berusaha menatap wajahnya, walau cukup sulit pada akhirnya luluh juga.
Lagi dan lagi Cakra terkekeh begitu melihat wajah Ameera. Agaknya memang sudah hancur sejak tadi, tapi tangisan terakhirnya semakin membuat wajahnya tampak menyedihkan. "Sudah nangisnya, make-up kamu luntur," ucapnya mengulas senyum teduh seraya mengusap pelan air mata Ameera yang sudah membasahi wajahnya.
Bukannya berhenti, tangis Ameera kian menjadi bak anak kecil yang dirampas haknya. Wanita itu bahkan tersedu-sedu dan tak lagi peduli sekalipun terlihat jelek di mata Cakra. Semua terjadi begitu saja, hatinya tak karu-karuan lantaran sikap Cakra yang tidak bisa Ameera simpulkan.
Dia yang mengingat bagaimana Cakra sengaja mengabaikan dan memuji Ayumi terang-terangan kini meraung dan memukul dada Cakra sebagai pelampiasan dendamnya. Melihat jerit tangis Ameera kian menjadi, jelas saja Cakra panik.
Terlebih lagi, kala dia menyadari kehadiran beberapa orang di belakang sana. Ameera yang tidak bisa diam juga membuat Cakra tidak punya cara lain selain menutup mulutnya dengan telapak tangan, semakin persis korban penculikan.
"Diam, Ra!! Kamu mau aku dipukuli orang-orang itu? Kalau mereka mikir kamu diapa-apain gimana?" desis Cakra semakin mengeratkan pelukan dan membekap mulutnya sekuat tenaga.
Bukan jahat ataupun tidak memiliki hati, tapi Cakra terpaksa melakukan hal itu demi keselamatannya. Mata tajam pria itu terus mengawasi keadaan, hingga tanpa aba-aba pria itu menarik Ameera masuk ke semak-semak lantaran beberapa orang yang tadi Cakra lihat semakin dekat.
Sempat berontak beberapa saat, kini Ameera mengerti kenapa Cakra sampai tega menariknya ke semak-semak akibat tidak bisa diam. Begitu jelas Ameera mendengar beberapa pria itu tampak berdebat, tapi apa yang mereka perdebatkan Ameera tidak tahu pastinya karena memang tidak mengerti bahasa daerah tersebut.
Namun, hal itu justru membuatnya semakin takut. Bukan lagi takut hantu, tapi takutnya Ameera kali ini terasa berbeda. Terkesan sedikit berlebihan, tapi Ameera merasa seakan tengah melakukan perbuatan yang menyalahi norma.
Cukup lama kedua pria itu mencari, bahkan mata Ameera sempat sakit akibat cahaya senter yang mengarah ke sana. Beruntung saja keberadaan Cakra dan Ameera tidak disadari, hingga orang-orang tersebut memilih pergi.
Selepas kepergian mereka, barulah Cakra melepaskan tangannya seraya menghela napas panjang. "Hampir saja."
Sementara Ameera yang tidak sadar apa salahnya hanya mengerjap pelan kala memandangi wajah Cakra. Walau hanya di bawah cahaya bulan, tapi mata Ameera cukup mampu melihat keringat yang bercucuran di wajah tampan Cakra.
"Hampir apa?"
"Hm?" Di waktu bersamaan, Cakra juga menatapnya hingga pandangan keduanya terkunci beberapa saat.
Cakra tidak segera menjelaskan, melainkan terus menatap lekat wajah Ameera sebelum kemudian mengullum senyumnya. "Hampir apa, Cakra?" tanya Ameera lagi, baru kali ini Cakra tidak cepat tanggap dalam merespon pertanyaannya.
"Hampir diarak ke rumah pak Kades," bisik Cakra sebelum kemudian beranjak berdiri dan membersihkan daun-daun kering yang menempel di pakaiannya.
Tidak lupa pria itu mengulurkan tangan dan menarik Ameera agar beranjak segera. Ameera yang baru memahami bahwa dugaannya memang benar hanya manggut-manggut seraya merapikan rambutnya.
"Manggut-manggut begitu memang paham apa maksudnya?" Cakra bersedekap dada, dia bingung sendiri kenapa Ameera terlihat biasa saja.
"Paham, abis diarak biasanya disuruh nikah, 'kan?"
Jawaban Ameera berhasil membuat Cakra tergelak. Semudah itu dia menyimpulkan jalan keluar, "Tidak semudah itu, Ra, disiksa dulu, minimal cowoknya babak belur dulu ... kamu mau aku begitu?" tanya Cakra yang kemudian mendapat gelengan cepat dari Ameera,
.
.
"Yang tadi, apa sudah seluruhnya?"
"Yang mana?" tanya Ameera mendongak, menatap Cakra yang berjalan di sisinya.
Pasca membuat Cakra hampir terjebak dalam masalah, kini dengan ketulusan hati pria itu mengantarnya pulang. Ketika pergi rasanya tidak terlalu jauh, nyatanya kediaman Abah Asep bahkan tidak lagi terlihat.
"Yang ingin kamu sampaikan padaku, apa masih ada lagi?" tanya Cakra menghentikan langkahnya.
Dalam keadaan sadar dan berada di hadapan Cakra, dia merasa bingung dan malu untuk mengakuinya. Padahal, sebelum ini Ameera sudah merangkai kata dan menyiapkan apa yang perlu Cakra dengar, semuanya.
"Katakan, selagi aku di sini, Ameera."
Tanpa senyuman dan tanpa melepaskannya dari pandangan, Cakra bertanya dengan serius dan berharap Ameera juga demikian. "Sudah, ti-tidak ada lagi, Cakra," jawab Ameera menunduk, apa yang tadi sudah Cakra dengar agaknya sudah mewakili perasaannya.
Mendengar jawaban Ameera, pria itu tidak bertanya lagi dan terus mendampingi Ameera menuju kediaman Abah Asep. Langkahnya sangat pelan saat ini, dan Cakra sama sekali tidak mendesaknya untuk lebih cepat.
Tidak berselang lama, mereka tiba di sana. Kedatangan Meera sangatlah tepat karena rumah Abah Asep mulai terlihat sepi, bukti jika dia memang agak lama perginya. "Masuklah, kamu tadi pamitnya ke kamar, 'kan?" tanya Cakra lembut dan Ameera angguki kemudian.
Seperti yang sudah-sudah, ketika Cakra memerintahkannya untuk masuk, maka Ameera tidak akan membangkang. Tanpa menunggu diusir dulu, Ameera perlahan meninggalkan Cakra yang menunggu di sana. Namun, baru juga beberapa langkah, Ameera tiba-tiba berbalik dan berdiri tepat di hadapan Cakra.
"Kenapa? Takut ketahuan? Mau kuantar ke dalam?"
Ameera menggeleng, bukan itu yang dia takutkan. Dalam hidup, Ameera tidak pernah takut akan hal itu, dia punya seribu cara untuk berkilah andai diperlukan nantinya. "Setelah ini, apa kamu akan pergi meninggalkanku lagi, Cakra?" tanya Ameera mendongak, menatap mata tajam itu dalam-dalam demi mencari celah kebohongan di sana.
.
.
- To Be Continued -
bukannya ponselnya masih belum kembali? /Doubt/