dr. Pramudya Aryatama, Sp. An. harus terpaksa menikahi saudari sepupu dari mendiang istrinya karena desakan keluarga, juga permintaan terakhir Naina. Belum lagi putranya yang berusia 2 tahun membutuhkan kehadiran seorang ibu.
Bisakah dr. Pram menerima Larasati sebagai istrinya, sedangkan ia sendiri masih begitu terpaku pada kenangan dan cintanya pada mendiang istrinya? Lalu bagaimana Larasati harus menghadapi sosok pria seperti dr. Pram yang kaku juga dingin dengan status dirinya yang anak yatim piatu dan status sosial jauh di bawah keluarga pria itu.
Banyak hal yang membentengi mereka, tetapi pernikahan membuat mereka menjadi dua orang yang harus saling terikat. Bisakah benih-benih perasaan itu hadir di hati mereka?
Jangan lupa subscribe biar dapat notifikasi updatenya, ya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AmiRas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Waktu Kita
Dokter Pram baru saja tiba di rumah setelah menjalani shift panjang di rumah sakit. Langit senja memancarkan cahaya jingga keemasan, menciptakan suasana tenang di lingkungan sekitar. Namun, pikiran Dokter Pram masih dipenuhi kekhawatiran. Langkahnya agak berat saat ia melangkah menuju halaman belakang rumahnya, tempat suara tawa ceria terdengar.
Di taman belakang yang luas, Laras sedang bermain kejar-kejaran dengan Bagas. Tawa dan keceriaan mereka mengisi udara, menciptakan suasana kontras dengan kelelahan yang dirasakan oleh Dokter Pram.
Dokter Pram berhenti sejenak di ambang pintu yang menghubungkan rumah dengan halaman belakang. Matanya menyapu pemandangan di depannya, memperhatikan setiap gerakan Laras dan Bagas. Meski terlihat datar dan cuek, ada sorot perhatian yang mendalam dalam tatapannya. Ia tidak bisa memungkiri bahwa Laras memang sangat menyayangi Bagas, namun rasa khawatirnya masih sulit dihilangkan.
"Kalian sedang apa?" seru Dokter Pram, suaranya terdengar tenang tapi tegas.
Laras menoleh dan tersenyum lebar.
"Mas, sudah lama sampainya?" tanyanya.
Bagas yang sedang berlari kecil ke arah Laras, berhenti sejenak dan memandang ayahnya dengan mata besar dan cerah. "Papa, ain sama dong!" teriaknya penuh semangat.
Dokter Pram menghela napas panjang, mencoba menghilangkan sisa-sisa kelelahan dari tubuhnya. Ia melepas jas putihnya dan menggantungnya di kursi terdekat sebelum berjalan mendekat.
"Baiklah, Papa akan ikut main sebentar."
Mendengar itu, Bagas melompat kegirangan. Laras pun tampak senang melihat suaminya bergabung, meski ia tahu betapa sibuknya pria itu di rumah sakit. Mereka mulai bermain kejar-kejaran lagi, dengan Dokter Pram yang sesekali berlari mengejar Bagas dan Laras, tawa ibu dan anak itu mengisi halaman belakang, Bi Darti yang memperhatikan keluarga kecil itu tersenyum bahagia.
Meskipun terlihat tenang dan tidak terlalu bersemangat, kehadiran Dokter Pram memberi rasa bahagia bagi Laras. Ia tahu bahwa pria itu selalu memperhatikan, meski ekspresinya datar dan sikapnya cuek. Baginya, itulah bentuk perhatian yang paling tulus dari seorang suami dan ayah yang selalu sibuk.
Waktu berlalu cepat ketika mereka bermain di taman. Keceriaan Bagas yang polos mampu mengusir sejenak semua kekhawatiran Dokter Pram. Namun, di balik senyum tipisnya, hatinya masih dipenuhi oleh kecemasan yang tak kunjung hilang. Ia ingat bagaimana Laras beberapa kali hampir membuat Bagas celaka karena kecerobohannya. Meski ia tahu Laras tidak bermaksud buruk, kekhawatiran itu tetap ada.
Saat mereka berlari ke sana kemari, tiba-tiba Laras tidak sengaja tersandung sebuah batu kecil yang terletak di tengah jalan setapak taman. Ia terjatuh dengan keras, dan suara teriakannya membuat Bagas berhenti seketika.
"Mas, tolong!" teriak Laras sambil memegangi lututnya yang mulai memar.
Dokter Pram segera menghampiri Laras dengan cepat, meskipun wajahnya tetap datar, matanya tampak menunjukkan kekhawatiran yang tak terlihat. Ia berjongkok di samping Laras, memeriksa lutut istrinya yang kini mulai membiru.
"Laras, bagaimana rasanya?" tanyanya dengan suara tenang, menekan sedikit memar di lutut Laras.
Laras meringis, mencoba menahan rasa sakit.
"Sakit sekali, Mas!"
Dokter Pram mengangguk, lalu dengan hati-hati membantu Laras untuk duduk lebih nyaman di bangku taman terdekat. Ia meminta Bi Darti mengambil kotak P3K di dalam rumah, dan wanita baya itu segera kembali dengan kotak P3K. Dokter Pram mulai membersihkan luka Laras dengan perlahan.
Bagas berdiri di dekat mereka, terlihat cemas melihat mamanya terluka. "Mam, akit ya?"
Laras mencoba tersenyum meski wajahnya masih meringis.
"Iya, Nak, tapi nanti Mama akan baik-baik saja. Papa sedang membantu Mama."
Dokter Pram tetap tenang saat membersihkan luka dan membalutnya dengan perban. Meski ekspresinya datar, ada perhatian mendalam di setiap gerakannya. Setelah selesai, ia menatap Laras dengan tatapan yang lebih tegas.
"Kamu harus lebih berhati-hati, Laras! Saya selalu khawatir setiap kali kamu ceroboh," ucapnya dengan nada datar dan tatapan tegas.
Laras mengangguk pelan, merasa bersalah. "Maaf, Mas. Aku akan lebih berhati-hati lagi."
Dokter Pram menghela napas panjang, lalu mengusap telapak tangan Laras dengan lembut.
"Yang penting sekarang kamu baik-baik saja," ucapnya lirih.
Dokter Pram membantu merangkul Laras masuk ke dalam rumah, diikuti Bagas dan Bi Darti di belakang mereka.
"Sudah sore, bersihkan diri. Kamu bisa jalan ke kamar mandi!"
Laras mengangguk, "masih bisa, Mas!"
Dokter Pram menghela napas, mengangguk dan membantu Laras masuk ke kamar mandi. Memberikan wanita itu handuk, dan ia pun berlalu dari sana.
"Kenapa sih deg-deg kan terus kalau dekat, Mas Pram!" gumam Laras lirih menatap pantulan dirinya di cermin yang tertempel di kamar mandi.
Hampir lima belas menit Laras di kamar mandi dan keluar dari sana dengan bathrobenya, ia melihat Dokter Pram yang sedang duduk di sofa kamar. Pria itu langsung menoleh padanya.
"Sudah?" tanyanya menghampiri Laras, membantu wanita itu duduk di pinggir ranjang dan mengambilkan stelan pakaian di ruang ganti.
"Terima kasih, Mas. Maaf jadi merepotkan, Mas!" ujar Laras merasa bersalah. Harusnya dia yang melayani sang suami yang baru pulang dari rumah sakit, ini malah jadi kebalikannya.
"Tidak apa-apa. Sebagai suami istri kita harus saling melayani, kan?" bisiknya menahan seringai, menggoda Laras yang sudah memerah wajahnya.
"Mas, masih sore!" ujar Laras menepuk lengan pria itu yang mengusap pipinya.
"Ya, memang masih sore. Saya mau mandi, segera ganti bajumu sebelum aku yang melucuti bathrobemu itu ...."
Laras melotot, segera mendorong pria itu menjauh. Dokter Pram menahan bibirnya agar tak senyum terlalu lebar. Pria itu melangkah ke kamar mandi dan terkekeh samar melihat wajah memerah Laras tadi.
"Dia masih saja malu, dasar!" gumamnya seraya melepas pakaian dan mengguyur diri di bawah shower.
"Mari jalani semuanya dengan perlahan ...."
...To Be Continue .......
bikin cerita tentang anak"laras dan pram author .....