Amorfati sebuah kisah tragis tentang takdir, balas dendam, dan pengorbanan jiwa
Valora dihancurkan oleh orang yang seharusnya menjadi keluarga. Dinodai oleh sepupunya sendiri, kehilangan bayinya yang baru lahir karena ilmu hitam dari ibu sang pelaku. Namun dari reruntuhan luka, ia tidak hanya bertahan—ia berubah. Valora bersekutu dengan keluarganya dan keluarga kekasihnya untuk merencanakan pembalasan yang tak hanya berdarah, tapi juga melibatkan kekuatan gaib yang jauh lebih dalam dari dendam
Namun kenyataan lebih mengerikan terungkap jiwa sang anak tidak mati, melainkan dikurung oleh kekuatan hitam. Valora, yang menyimpan dua jiwa dalam tubuhnya, bertemu dengan seorang wanita yang kehilangan jiwanya akibat kecemburuan saudari kandungnya
Kini Valora tak lagi ada. Ia menjadi Kiran dan Auliandra. Dalam tubuh dan takdir yang baru, mereka harus menghadapi kekuata hitam yang belum berakhir, di dunia di mana cinta, kebencian, dan pengorbanan menyatu dalam bayangan takdir bernama Amorfati
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim Varesta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Antara Nyata Dan Tidak
🦋
Jeveno menatap pintu, lalu kembali menatap Valora. Wajah gadis itu pucat, matanya penuh kegelisahan.
"Kenapa kau terlihat seperti baru melihat hantu?" tanya Jevano, suaranya rendah namun tajam.
"Jev… tolong jangan buka pintu itu," bisik Valora, suaranya nyaris tak terdengar.
Namun ketukan itu kembali datang lebih keras, lebih memaksa. DUG! DUG! DUG!
"Valora." suara Gavriel kali ini tegas, dingin, dan tak memberi ruang untuk mengabaikannya. "Kita perlu bicara. Sekarang."
Jeveno mengeraskan rahangnya. "Apa yang dia mau darimu?"
Valora hanya menggeleng. "Kumohon, jangan..."
Terlambat. Jevano sudah melangkah, memutar kenop pintu, dan membukanya lebar.
Di ambang pintu berdiri Gavriel, wajahnya setenang batu, namun matanya menyimpan badai. Ia menatap Jevano, lalu menggeser pandangannya pada Valora yang masih duduk di ranjang.
"Lepaskan dia," ucap Gavriel, nadanya lebih seperti perintah daripada permintaan.
Jevano menyipitkan mata. "Kau pikir kau siapa?”"
"Aku orang yang lebih mengenalnya daripada kau. Lebih lama bersamanya. Dan lebih berhak atas dirinya."
Valora merasakan udara di dalam ruangan mengental, seperti oksigen direbut dari paru-parunya. Kedua pria itu berdiri saling berhadapan, dua dunia yang sama-sama mengklaim kepemilikan atasnya.
"Aku tidak peduli siapa kau," Jevano maju selangkah. "Yang jelas, dia milikku sekarang."
Gavriel tersenyum miring, lalu menunduk sedikit, menatap Valora dari kejauhan.
"Benarkah, Lora? Kau miliknya? Katakan di depan mataku… bahwa kau mencintai dia, dan bukan aku."
Valora terdiam. Tenggorokannya tercekat.
"Lora?" suara Jevano mulai goyah, namun penuh tuntutan.
Ketiganya saling menatap dalam diam yang membakar. Lalu, tanpa peringatan, Gavriel mengeluarkan sesuatu dari sakunya, sebuah kalung kecil dengan liontin berbentuk kunci.
Liontin yang hilang setelah kejadian malam itu. Valora sudah mencarinya kemana-mana namun tidak pernah menemukan nya dan ternyata... liontin itu ada pada Gavriel.
Mata Valora membesar. "Kau… dari mana kau mendapatkannya?"
Senyum Gavriel melebar. "Dari malam yang mengubah segalanya. Malam di mana kau… menjadi milikku."
Udara di kamar seketika berubah pekat. Kalung di tangan Gavriel seolah menjadi bukti bisu yang menyeret Valora kembali pada malam kelam yang berusaha ia kubur.
"Jangan mulai, Gav," suara Valora bergetar, matanya tak lepas dari liontin itu.
Jevano memutar kepalanya menatap Valora, tajam, mencari kebenaran yang tersembunyi di balik tatapan panik kekasihnya. "Apa maksudnya… malam itu?"
"Tidak ada yang perlu kau tahu," potong Valora cepat, mencoba berdiri, tapi pergelangan tangannya sudah dicengkeram Jevano.
Gavriel melangkah masuk tanpa diundang, menutup pintu dengan pelan tapi mengunci dari dalam. Gerakannya tenang, namun sorot matanya menusuk seperti belati.
"Dia tidak akan mengatakannya," ujar Gavriel, "karena dia takut kau akan membencinya. Sama seperti semua orang."
"Apa yang kau lakukan, Gav?!" Valora bersuara lebih tinggi, namun terdengar lebih seperti permohonan.
Jevano berdiri tegap, tubuhnya menegang. "Kau punya tiga detik untuk keluar sebelum aku..."
"Kau mau memukulku?" Gavriel tertawa pendek, sinis.
"Silakan. Tapi setelah itu, kau tidak akan pernah mendengar cerita sebenarnya darinya. Dan percayalah… setelah kau tahu, kau tak akan mau menyentuhnya lagi."
Kata-kata itu menusuk Jevano seperti racun. Ia menoleh ke Valora, wajahnya campuran antara marah dan terluka. "Apa yang dia bicarakan, Lora?"
Valora menggeleng cepat, air mata mulai menggenang. "Jev, tolong… jangan dengarkan dia."
Gavriel menyelipkan kalung itu ke dalam genggamannya, lalu melangkah semakin dekat pada Valora hingga jarak mereka hanya sejengkal.
"Kalau kau mau, aku bisa ceritakan semuanya sekarang. Tentang apa yang benar-benar terjadi malam itu… dan siapa yang ada di sana bersamamu."
Suara Gavriel merendah, nyaris berbisik, tapi cukup jelas untuk membuat Valora membeku.
"Atau… aku bisa menunjukkannya."
Gavriel merogoh saku jaketnya yang lain, menarik keluar sebuah foto lusuh. Jevano langsung meraihnya sebelum Valora sempat mencegah.
Saat matanya jatuh pada gambar itu, rahangnya mengeras. Warna wajahnya memucat, seolah seluruh darahnya tersedot habis.
"Tidak… ini bohong…" ucap Jevano, tapi suaranya terdengar lebih seperti penyangkalan untuk dirinya sendiri.
Valora melangkah maju, mencoba meraih foto itu, namun Jevano mundur selangkah. Tatapan yang ia berikan kini bukan lagi tatapan seorang kekasih… melainkan seseorang yang merasa dikhianati.
"Valora…" suaranya rendah, bergetar. "Apa yang sudah kau lakukan?"
Kilatan petir berikutnya membelah langit, sesaat menerangi ruangan, cukup untuk memperlihatkan wajah Gavriel yang kini begitu dekat. Nafasnya terdengar jelas, bercampur dengan deru hujan di luar.
"Valora…" panggilnya lirih, namun ada tekanan di setiap suku kata. "Kau masih mengingatnya, kan?"
Jevano melangkah maju, menepis tangan Gavriel dari pergelangan Valora.
"Aku sudah bilang, dia tidak ingin bicara denganmu."
Namun Gavriel tidak bergerak mundur. Senyumnya memudar, berganti tatapan yang membuat udara di ruangan itu seakan menipis.
"Atau… dia yang tidak ingin bicara denganmu, Jevano?"
Valora membeku. Kata-kata itu seperti jarum yang menusuk tepat di titik rapuhnya. Ada sesuatu di balik nada Gavriel, bukan sekadar cemburu, tapi seolah dia tahu sesuatu yang seharusnya tidak ia ketahui.
Jevano mengepalkan tangan, matanya tak lepas dari Gavriel. "Keluar sebelum aku..."
"...sebelum kau apa?" potong Gavriel, suaranya rendah namun menghentak. Mengulang apa yang kau lakukan lima tahun lalu?"
Kata-kata itu jatuh seperti kaca yang pecah di lantai.
Gavriel berhasil membawa Valora keluar dari basecamp dan membawanya pulang kerumah.
*Kamar Valora*
Valora menunduk, menyembunyikan wajah di balik rambutnya yang tergerai. Tangannya meremas ujung selimut, seolah mencoba berpegangan pada sesuatu yang nyata di tengah kekacauan ini.
"Gav… ini salah. Semua ini.." suaranya pecah, nyaris tak terdengar. "Aku sudah memilih jalanku. Bersama Jevano… aku bahagia."
Gavriel tersenyum tipis. Bukan senyum hangat yang dulu ia berikan, melainkan senyum pahit yang mengiris.
"Bahagia?" ucapnya pelan, tapi nadanya mengandung duri. "Kau bahkan tidak tahu apa arti kata itu, Lora."
Ia mendekat, menunduk, hingga jarak mereka nyaris tanpa celah. Tatapannya mengunci mata Valora, memaksa gadis itu untuk tidak lari.
"Bagaimana kau bisa bahagia… kalau setiap malam masih terbangun dengan mimpi buruk tentang hari itu?" bisiknya.
Valora terdiam. Jantungnya berdegup kencang. Hari itu. Hari yang berusaha ia kubur dalam-dalam. Hari ketika segalanya runtuh.
Gavriel mengangkat tangan, menyentuh pipi Valora dengan lembut, terlalu lembut untuk seorang pria yang matanya penuh amarah.
"Aku satu-satunya orang yang tahu siapa dirimu sebenarnya," katanya. "Dan kau tahu… aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi lagi."
Valora menelan ludah, ingin berteriak, tapi suaranya tercekat. Ada rasa takut, tapi juga… sesuatu yang lain. Sesuatu yang berbahaya, yang membuatnya benci pada dirinya sendiri karena merasakannya.
Di luar kamar, hujan mulai turun, mengetuk jendela dengan irama tak beraturan. Seolah langit pun ikut menyaksikan benturan dua jiwa yang terikat bukan oleh cinta yang manis, melainkan oleh rahasia dan luka yang sama-sama mereka bawa.
"Kalau kau tetap di sini, Gav…" suara Valora bergetar. "Kita berdua akan hancur."
Gavriel tersenyum tipis, lalu berbisik di telinganya,
"Mungkin… itu yang memang seharusnya terjadi."
Flashback off
Di kamar bernuansa maroon itu, Miss Ki duduk bersandar santai di sofa empuknya, secangkir susu hangat mengepulkan aroma manis di tangannya. Namun suasana santai itu tak lepas dari tatapan Ed yang menusuk, seperti seorang ayah yang menatap anaknya sampai susu itu tandas.
"Ed, aku dua puluh lima tahun, bukan lima tahun," keluh Miss Ki, bibirnya melengkung sinis. "Kalau orang tahu aku masih dipaksa minum susu tiap pagi, habis sudah wibawaku."
Ed hanya mengangkat alis.
"Ini bukan susu anak kecil. Aku belikan khusus untukmu, penuh nutrisi yang kau butuhkan."
Rutinitas kecil itu, entah bagaimana, sudah menjadi bagian dari kehidupan di Mansion Redmoon, pertengkaran manis di pagi hari yang selalu berulang.
Miss Ki menyeruput sisa susu, lalu meletakkan gelas dengan sedikit hentakan. Ia mengelap bibirnya dengan tangan.
"Sungguh, caramu itu…" Ed menghela napas panjang. "Mau kucarikan guru etika?"
"Untuk apa? Di sini cuma kita berdua. Etika itu membosankan," balasnya santai.
Ed bergumam tak jelas, lalu merebahkan tubuh di ranjang king size milik Miss Ki. Hanya butuh lima menit sebelum napasnya melambat, tertidur pulas.
Miss Ki menatapnya, heran.
"Ranjangmu tidak nyaman? Baru rebah sudah tidur."
Ia mendekat, memastikan Ed benar-benar tidur. Namun sebelum sempat bergerak menjauh, lengan kuat itu menariknya. Tubuh Miss Ki terkurung dalam pelukan, seperti guling yang tak ingin dilepas.
"Ed! Aku tahu kau belum tidur. Lepaskan!" nada dinginnya menusuk, tapi tak ada respon.
Ed hanya menghirup lembut aroma mawar dari kulitnya. Tidak ada yang boleh mendekati Miss Ki… kecuali dia.
🦋To be continued...