NovelToon NovelToon
Menguasai Petir Dari Hogwarts

Menguasai Petir Dari Hogwarts

Status: sedang berlangsung
Genre:Akademi Sihir / Fantasi / Slice of Life / Action
Popularitas:6.4k
Nilai: 5
Nama Author: Zikisri

Nama Ethan Cross dikenal di seluruh dunia sihir sebagai legenda hidup.

Profesor pelatihan taktis di Hogwarts, mantan juara Duel Sihir Internasional, dan penerima Medali Ksatria Merlin Kelas Satu — penyihir yang mampu mengendalikan petir hanya dengan satu gerakan tongkatnya.

Bagi para murid, ia bukan sekadar guru. Ethan adalah sosok yang menakutkan dan menginspirasi sekaligus, pria yang setiap tahun memimpin latihan perang di lapangan Hogwarts, mengajarkan arti kekuatan dan pengendalian diri.

Namun jauh sebelum menjadi legenda, Ethan hanyalah penyihir muda dari Godric’s Hollow yang ingin hidup damai di tengah dunia yang diliputi ketakutan. Hingga suatu malam, petir menjawab panggilannya — dan takdir pun mulai berputar.

“Aku tidak mencari pertempuran,” katanya menatap langit yang bergemuruh.

“Tapi jika harus bertarung… aku tidak akan kalah dari siapa pun.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zikisri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 8 – The Leaky Cauldron

“Maksudmu, Lily Potter?” Dumbledore menatap Profesor McGonagall dari balik kacamata setengah bulan dengan sorot penasaran yang tak bisa disembunyikan. “Anak mereka akan lahir akhir bulan ini? Kau yakin?”

“Begitulah kata mereka,” jawab McGonagall sambil membuka catatannya yang tertata rapi. “Dan mereka bahkan memberikan hadiah untuk Ethan. Aku bisa merasakan aura sihir yang kuat dari benda itu. Ia bilang sedang mencoba membuat beberapa benda alkimia untuk melatih kemampuan dan menguji tingkat penguasaan runenya. Hasilnya tampaknya cukup baik—aku sempat membaca catatannya.”

Ia berhenti sejenak sebelum melanjutkan dengan nada lebih lembut,

“Dan anak itu jauh lebih mandiri dari yang kubayangkan. Ia bahkan memiliki tabungan yang cukup banyak untuk seusianya. Sulit membayangkan bagaimana seorang anak berumur sebelas tahun di panti asuhan bisa melakukannya. Tapi menanyakan privasi seseorang bukanlah hal yang sopan, jadi aku tidak ingin mencampurinya.”

Dumbledore bersandar di kursinya, jari-jarinya menyusuri janggut putih panjangnya yang berkilau samar di bawah cahaya perapian. “Benarkah begitu?” gumamnya perlahan. “Kudengar keluarga Longbottom juga akan segera mendapatkan anak. Mungkinkah… salah satu dari mereka?”

“Salah satu dari siapa, Kepala Sekolah?” tanya McGonagall, menatapnya bingung.

“Oh, tidak, tidak ada apa-apa, Minerva,” jawab Dumbledore cepat, menutup pikirannya dengan senyum tipis yang tak sepenuhnya sampai ke mata. “Kau sudah bekerja keras hari ini. Sebaiknya istirahat. Kita akan bertemu lagi besok di pertemuan Orde Phoenix. Para Pelahap Maut semakin aktif akhir-akhir ini, dan masih banyak hal yang harus kita tangani bersama.”

McGonagall mengangguk patuh. “Dimengerti, Dumbledore.”

Ia sempat melirik bayangan yang menari di dinding batu, lalu membungkuk singkat dan meninggalkan ruangan dengan langkah ringan namun tegas.

Dumbledore tetap duduk di sana, memandangi api yang berkeredap lembut. Tak seorang pun tahu apa yang ia pikirkan malam itu—hanya Phoenix di sudut ruangan yang mengepakkan sayapnya pelan, seolah ikut gelisah.

Keesokan paginya, langit London diselimuti kabut pucat ketika Ethan Cross melangkah keluar dari panti asuhan.

Suster Therese menatapnya dengan senyum lembut, sementara William, bocah kecil penghuni panti yang sering membantunya membaca, melambaikan tangan pelan dari ambang pintu. Ethan membalas lambaian itu sebelum berbalik, membawa koper besar dan beberapa tas kecil menuju Leaky Cauldron.

Suara lonceng di atas pintu penginapan tua itu berdenting ketika ia masuk. Aroma mentega panas dan kayu lembap langsung menyambutnya.

“Apa katamu? Kau mau tinggal di sini sampai Hogwarts dimulai?” tanya Tom, pemilik Leaky Cauldron, dengan nada tak percaya.

Pria tua itu menatap anak sebelas tahun di depannya, seolah memastikan ia tak sedang bercanda.

“Benar, Tuan Tom. Saya tidak ingin merepotkan siapa pun. Dan jangan khawatir, saya punya uang.” Ethan mengeluarkan beberapa koin Galleon dari saku jubahnya—logam emas itu berkilau di bawah cahaya lampu gantung.

Tom menggeleng pelan. “Ini bukan soal uang, Nak. Situasinya sedang tidak aman. Aku tidak menyarankan kau tinggal sendirian di sini, apalagi di masa seperti ini. Aku tahu Profesor McGonagall mempercayaimu, tapi tetap saja…”

“Saya paham, Tuan Tom,” sela Ethan sopan. “Profesor McGonagall sudah menjelaskan semuanya kemarin. Tapi saya merasa lebih aman di dunia sihir dibanding di dunia Muggle. Setidaknya di sini, saya tahu apa yang sedang terjadi.”

Matanya menatap lurus, tenang namun tajam. “Kalau saya boleh tinggal, saya bisa membantu di penginapan—membersihkan, mengangkat barang, apa pun. Dan kita bisa mengobrol saat waktu luang.”

Tom menatapnya lama, seolah sedang menilai sesuatu di balik wajah muda itu. Tatapan bocah ini terlalu dewasa untuk seusianya—lebih seperti prajurit muda yang telah melihat banyak hal. Setelah beberapa detik hening, Tom akhirnya menghela napas berat.

“Baiklah,” katanya. “Akan kukasih kau diskon. Lima Galleon untuk satu setengah bulan—termasuk kamar dan makan. Tapi janji satu hal: jangan berkeliaran di luar setelah jam delapan malam. Patuhi jam malam, atau aku usir.”

Ethan menunduk hormat. “Terima kasih, Tuan Tom. Saya akan patuh.”

Ia menyerahkan pembayaran, menerima kunci kamar, lalu naik ke lantai dua dengan langkah mantap.

Kamar yang ia dapat ternyata lebih baik dari dugaan. Jendela kecilnya menghadap langsung ke Diagon Alley; dari sana, ia bisa melihat toko-toko sihir yang baru membuka tirai dan mendengar suara samar pelayan yang menyalakan lampu jalan.

Ia meletakkan barang-barangnya satu per satu: perlengkapan sekolah, bumbu masak sederhana, satu set mahjong tua, dan pot kecil berisi daun bawang yang ia rawat sejak dulu.

Kamar itu sederhana tapi cukup nyaman—tempat yang sempurna untuk memulai hidup baru.

Ethan duduk di tepi tempat tidur, mengamati ruangan itu.

Terlalu sempit untuk latihan bela diri penuh, tapi cukup luas untuk berdiri tegak dan berlatih Tai Chi. Gerakannya perlahan, nyaris hening, seperti air yang mengalir.

Dalam kehidupan sebelumnya, ia seorang tentara—terlatih, disiplin, dan terbiasa hidup dengan jadwal ketat. Kini, ia menulis ulang kebiasaannya di selembar kertas lusuh.

06.00 – Bangun, mandi, olahraga pagi

07.30 – Sarapan, membaca teori sihir

12.00–13.00 – Makan siang dan istirahat

13.00–18.00 – Belajar dan mempraktikkan mantra dasar

18.00 – Makan malam, membantu Tom

20.00 – Meditasi dan jurus bela diri ringan

21.00 – Mandi dan tidur

Sebuah rutinitas yang ketat, khas seorang prajurit.

Ia tersenyum tipis. Bahkan tanpa komando, tubuhnya tetap menolak untuk hidup tanpa aturan.

Ketika jam hampir menunjukkan tengah hari, Ethan turun ke aula bawah. Tom sedang membersihkan meja, sementara aroma roti panggang dan mentega menyelimuti udara.

“Kalau mau makan, pesan di dapur,” kata Tom, menunjuk papan menu yang bertuliskan Steak Pie, Mashed Potato, dan Pea Soup.

Ethan melirik daftar itu, lalu tersenyum kecil. “Kalau begitu, izinkan saya masak sendiri, Tuan Tom. Sekadar mencoba sesuatu yang berbeda.”

Tom menaikkan alis, tapi akhirnya mengangguk.

Beberapa menit kemudian, aroma bawang putih dan cabai tumis memenuhi ruang makan. Ethan menyiapkan dua piring besar, memanggil Tom, dan mereka makan bersama sambil berbincang ringan — tentang pelanggan, para Auror yang sering datang, dan rumor serangan baru oleh para Pelahap Maut.

Sejak malam itu, hubungan mereka menjadi akrab. Tom mulai mempercayainya.

Hari-hari berikutnya berjalan tenang namun padat. Ethan memusatkan perhatian pada tiga buku utama: Buku Mantra Standar Tingkat 1, Teori Sihir, dan Kekuatan Gelap: Panduan untuk Perlindungan Diri.

Ia tahu Transfigurasi tak bisa dikuasai tanpa bimbingan, begitu pula Ramuan dan Herbologi. Maka fokusnya hanya satu—mantra dasar.

Setiap pagi ia membaca dan mencatat. Setiap malam, ia mempraktikkan pelafalan mantra sambil menelaah logika sihir di balik setiap gerakan tongkat.

Sampai pada hari ketika ia merasa siap untuk mencoba.

“Baiklah,” gumamnya, menatap buku di atas meja. “Mari mulai.”

Ia mengangkat tongkat sihirnya, menarik napas dalam, dan melafalkan mantra itu dengan jelas,

“Wingardium Leviosa.”

Udara di sekitarnya bergetar. Buku itu terangkat perlahan, melayang di udara dengan gerakan halus. Ethan menatapnya, terpana—seolah dunia tiba-tiba tunduk pada kehendaknya.

“Menarik…” ujarnya perlahan. “Menggunakan tongkat membuat aliran sihir terasa lebih stabil.”

Ia menurunkan buku itu, mencoba lagi tanpa tongkat. Hasilnya nihil—buku itu diam, tak bergeming. Ethan hanya tersenyum kecil, tanpa kecewa.

“Baiklah. Sepertinya aku harus belajar dari awal lagi.”

Ia memandangi tongkat hitamnya yang berkilau lembut di bawah cahaya sore.

“Kalau begitu,” bisiknya pelan, “mari kita mulai dari sini, Kanvas Gelap. Dunia sihir… bersiaplah.”

1
Mike Shrye❀∂я
wiiih tulisan nya rapi..... semangat
Zikisri: makasih atas penyemangat nya kk🤭
total 1 replies
Opety Quot's
di tunggu chapter selanjutnya thor
Sertia
Mantap/Good/ lanjutkan
Iqsan Maulana
lumayan bagus ni😁
Iqsan Maulana
next Thor
Hani Andini
next..
king_s1mbaaa s1mbaa
tambahin chapter nya thor...
Reyhan Ramdhan
lanjut thor👍
Zikisri: siap💪
total 1 replies
Reyhan Ramdhan
Bagus, Sangat Rekomen/Good/
Zikisri: thanks 👍
total 1 replies
I Fine
lebih banyak chapter nya thor/Shy/
I Fine
next chapter nya thor💪
Zikisri: Oke 👍
total 1 replies
Niat Pemulihan
nice
Evan Setyawan
Lanjutannya thor👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!