Bukan ingin Elea terlahir dari rahim seorang istri siri yang dicap sebagai pelakor, sejak sang ibu meninggal, Eleanor tinggal bersama ayah kandung dan istri sah sang ayah.
Sejak kecil ia tak merasakan kasih sayang dari ayah kandungnya, tinggal di rumah mewah membuatnya merasa hampa dan kesepian. Bahkan dia dipekerjakan sebagai pelayan, semua orang memusuhinya, dan membencinya tanpa tahu fakta yang sebenarnya. Elea selalu diberikan pekerjaan yang berat, juga menggantikan pekerjaan pelayan lain.
"Ini takdirku, aku harus menerimanya, dan aku percaya bahwa suatu saat nanti Ayah bisa menyayangiku." Doa Elea penuh harap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nopani Dwi Ari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.25
Bara masih mematung menatap gadis, yang pernah mengisi hari-harinya. Dia masih ingat saat Mala memohon dan bersujud di kakinya.
****
"Bara, saya mohon. Temui anak saya," pinta Mala dengan tangisan yang tak terbendung.
"Nyonya bangun, jangan begini. Tidak enak jika ada yang melihat," kata Bara mencoba membangunkan Mala, walau lantai tersebut sepi. Tapi selalu ada petugas kebersihan yang akan datang pukul lima sore, sedangkan sebentar lagi jarum jam menunjuk ke arah pukul lima pas.
"Saya tidak akan, bangun!" tegas Mala.
"Nyonya ... Saya mohon," pinta Bara dengan memelas.
"Bara saya mohon, tolong temui anak saya Bara. Dia sedang berjuang di antara hidup dan mati, hanya kamu, kamu yang bisa buat dia bangun. Kamu tahu, dia sangat mencintaimu Bara. Saya mohon," isak Mala, membuat Bara bingung apa yang dibicarakan oleh istri Tuannya yang otomatis adalah mertuanya.
"Maaf Nyonya, aku harus pulang." Tolak Bara, dia melewati Mala begitu saja. Membuat Mala mengepalkan kedua tangannya, dia sudah sangat muak dan geram pada Bara.
Memang siapa dia? Anak pejabat, presiden, artis? Dia hanya orang biasa yang kebetulan bekerja di perusahaan suaminya.
"Kurang ajar, tidak tau diri." Teriak Mala, menghentikan langkah Bara dan menoleh padanya.
"Maksudnya?" tanya Bara tak mengerti.
"Jangan pura-pura bodoh kamu, Bara. Kamu tidak lupakan, siapa yang membiayai pendidikan mu? Dan jangan lupakan semua jasa yang saya berikan pada kedua orang tuamu. Jadi apa salahnya, saya meminta kamu untuk datang menemui anak saya!" Ucap Mala dengan tegas, raut wajahnya berubah menjadi dingin walau penampilannya acak-acakan.
"Jika tidak..."
Mala membisikan sesuatu pada Bara, membuat Bara menegang.
"Baiklah, saya akan menjenguk Tiana." Putus Bara.
Bara pun mengikuti langkah Mala, Mala sendiri masuk kedalam mobil Bara. Karena dia datang menggunakan taxi, di dalam mobil hanya ada keheningan di antara mereka. Bara dengan pikirannya sedangkan Mala dengan semua kebahagiaannya, dia yakin Tiana akan segera bangun.
Dan disinilah Bara, hanya menatap Tiana dengan tatapan yang sulit diartikan.
Flashback selesai.
***
Pukul sebelas malam, Bara baru sampai rumah. Dilihat rumah sudah sepi, sejak jam tujuh malam dia ingin pulang. Tapi, Mala malah menahannya dengan berbagai alasan dan ancaman.
"Astaga, apa yang harus aku lakukan?" gumam Bara, yang masih menatap gerbang rumahnya yang tertutup rapat.
Bara memutuskan untuk membuka sendiri, walau sudah ada penjaga.
"Tuan Bara," ucap penjaga terkejut.
"Tuan, maaf saya ketiduran." Katanya pada Bara, yang baru keluar.
"Tidak apa-apa, Pak. Lanjutkan saja dan nyalakan alarm keamanan," titah Bara.
"Siap Tuan," jawabnya.
Bara sendiri bingung bagaimana masuk kedalam rumah? Pasalnya dia tak memegang kunci sama sekali, menekan bel pun pasti tidak akan ada yang mendengar.
"Tuan bisa lewat samping," ujar penjaga, membuyarkan lamunan Bara.
"Ahh, iya Pak. Terima kasih," jawab Bara, dijawab anggukan oleh penjaga.
Bara masuk lewat pintu samping, yang memang jarang di kunci. Karena langsung masuk ke dapur, yang sudah sangat sepi. Dia menaiki tangga menuju kamarnya dan Elea.
Saat membuka pintu, pandangannya tertuju pada Elea yang sudah terlelap dengan memeluk guling. Bara tersenyum menatap Elea, dia mengusap lembut pipi istrinya.
"Maafkan aku, sayang." Bisik Bara, mencium pipi Elea.
Pagi menyapa, seperti biasa Elea bangun lebih dulu. Dia menatap tangan yang melingkar di perutnya.
"Pantas berat," batin Elea tersenyum, menatap Bara yang masih tidur.
"Kamu pasti capek, kan sayang." Elea mengelus lembut pipi Bara, yang tidak terusik sama sekali.
Elea mencoba berpikir positif, bahwa Bara lembur. Elea memutuskan untuk mencuci muka dan melakukan ibadah, sebelum masuk ke dapur menyiapkan sarapan.
"Kamu gak, bangunin aku sayang?" tanya Bara, dengan suara khas bangu tidurnya.
"Sudah, tapi kamu gak bangun. Kamu tidur nyenyak sekali, pulang jam berapa semalam?"
Elea menatap Bara yang gugup dan menatap kearah lain, seolah tengah menghindar membahas tadi malam.
"Jam sepuluh mungkin, aku lupa. Karena langsung tidur," ujar Bara memberikan alasan.
"Ya sudah, kamu bersih-bersih. Aku mau siap-siap bikin sarapan," kata Elea.
"Iya."
Bara menatap Elea yang sudah keluar dari kamar, dia menghela nafas dengan pelan. Notifikasi masuk ke ponselnya dari Mala.
"Bara, sebelum ke kantor. Datang ke rumah sakit ya! Tiana sudah ada respon semalam, saat kamu pulang."
"Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Jujur atau tidak? Jika jujur, apa Elea akan memberikan izin? Jika tidak, bagaimana nasib rumah tanggaku?" gumam Bara, dia mengacak rambutnya frustasi.
"Elea sudah memberikan kesempatan, aku tidak mungkin menghancurkan kepercayaan Elea. Tapi, bagaimana dengan Tiana?"
Huh!
"Sudahlah, pikirkan saja nanti."
***
Di rumah sakit.
Mala tersenyum menatap Tiana yang dimana keadaannya mulai membaik, menurut dokter yang memeriksa Tiana tadi malam. Tiana menunjukan kondisi yang meningkat.
"Mama yakin, kamu pasti cepat sembuh sayang!"
Mala mengusap pipi sang anak, berharap Tiana cepat bangun.
"Mama akan melakukan apapun, demi kamu Tiana. Demi kebahagiaan kamu."
Mala mencium tangan Tiana, yang kini terasa sangat kurus.
"Ma." Panggil Tristan.
"Ayo sarapan dulu, aku gak mau Mama sakit. Nanti kalau kakak sadar terus Mama sakit, kakak pasti sedih," tutur Tristan.
"Iyaa, Mama mau makan. Mama harus sehat buat anak-anak Mama," balas Mala tersenyum.
Dia mulai bisa menikmati makanan yang dibelikan oleh Tristan, jika kemarin Mala hanya makan dua suap saja. Maka hari ini, sarapan yang dibelikan oleh Tristan habis.
Bersambung...
Maaf typo