Raska dikenal sebagai pangeran sekolah, tampan, kaya, dan sempurna di mata dunia. Tak ada yang tahu, pendekatannya pada Elvara, gadis seratus kilo yang kerap diremehkan, berawal dari sebuah taruhan keji demi harta keluarga.
Namun kedekatan itu berubah menjadi ketertarikan yang berbahaya, mengguncang batas antara permainan dan perasaan.
Satu malam yang tak seharusnya terjadi mengikat mereka dalam pernikahan rahasia. Saat Raska mulai merasakan kenyamanan yang tak seharusnya ia miliki, kebenaran justru menghantam Elvara tanpa ampun. Ia pergi, membawa luka, harga diri, dan hati yang hancur.
Tahun berlalu. Elvara kembali sebagai wanita berbeda, langsing, cantik, memesona, dengan identitas baru yang sengaja disembunyikan. Raska tak mengenalinya, tapi tubuhnya mengingat, jantungnya bereaksi, dan hasrat lama kembali membara.
Mampukah Raska merebut kembali wanita yang pernah ia lukai?
Atau Elvara akan terus berlari dari cinta yang datang terlambat… namun tak pernah benar-benar pergi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Yang Dilindungi Kekuasaan
Melihat dua cincin itu, Asep tak sadar berkomentar, suaranya lebih pelan dari sebelumnya.
“Ras… itu… cincin kawin kalian? Lo sama—”
Kalimat itu menggantung.
Raska tidak langsung menjawab.
Sejenak, ruang itu terasa lebih sunyi, seolah udara ikut menunggu.
Ia mengangguk pelan.
“Ya.”
Satu kata. Ringkas. Tapi berat.
Jemarinya terangkat, meraih bandul dua cincin di dadanya. Ujung jarinya mengusap logam itu perlahan. Gerakan yang terlalu familiar, seakan sudah dilakukan ribuan kali.
Matanya menatap cincin itu, tapi fokusnya kosong. Bukan melihat, melainkan tenggelam. Bukan pada bentuknya. Tapi pada janji yang tertinggal di sana.
Asep, Vicky, dan Gayus saling bertukar pandang. Tak ada yang langsung bicara.
Gayus akhirnya menyodorkan tisu basah. Gerakannya tenang, hampir hati-hati, seperti ilmuwan yang tahu ia sedang berhadapan dengan sesuatu yang rapuh.
Raska menerima tanpa menatap. Ia mengusap dada dan lengan yang masih terasa lengket, tapi pikirannya jelas bukan di sana.
“Apa dia…” Asep menarik napas dulu. “Belum ada kabar juga?”
Raska menggeleng pelan. Gerakan kecil, tapi final. “Aku sudah sewa beberapa orang,” katanya datar. “Tapi hasilnya nihil.”
Vicky menatapnya lurus. Tak bercanda. Tak sok santai. “Lo udah cari ke mana aja?”
“Semua tempat,” jawab Raska. Tangannya masih bergerak otomatis dengan tisu, seolah tubuhnya bekerja sendiri.
“Dalam dan luar negeri?” Asep menimpali cepat.
Raska mengangguk.
Asep menghela napas. “Padahal dulu dia bilang mau kuliah bareng kita.” Senyumnya miring, getir. “Tapi lo malah masuk akademi militer… dan dia malah menghilang.”
Raska tidak menyangkal. Karena memang begitu kenyataannya.
Asep tiba-tiba menegakkan tubuh. “Keluarganya sederhana. Mungkinkah dia bisa pergi sejauh itu? Ke luar negeri?”
Gayus menyandarkan punggung. Nada suaranya tetap analitis. “Secara akademik, Elvara itu outlier. Selalu peringkat satu. Dengan prestasi seperti itu, peluang beasiswa luar negeri sangat tinggi. Hipotesis itu valid.”
Vicky mengetuk dagunya pelan. “Tapi menghilang tanpa jejak begini… bersih banget. Itu butuh bantuan orang berkuasa, atau seseorang yang paham sistem.”
Raska menunduk, jarinya mencengkeram bandul dua cincin itu. Sejenak ia diam, menimbang, lalu angkat suara. Tenang. Terlalu tenang.
“Mendiang ayahnya tentara," gumamnya.
Tiga pasang mata langsung tertuju padanya.
“Menurut kalian…?”
Asep mengerutkan kening. “Kalau gitu… lo 'kan di Akmil, Ras.” Nada suaranya spontan. “Masa gak bisa nyari info dari sana?”
Vicky menimpali cepat, setengah menyeringai. “Iya. Minimal jejak administratif kek. Data pendidikan, keberangkatan, apa gitu.”
Gayus menghela napas pelan sebelum bicara. “Tidak sesederhana itu.”
Ia menautkan jari. “Secara sistem, data di lingkungan militer, apalagi yang dilindungi petinggi, itu berlapis. Akses dibatasi, tercatat, dan diawasi. Bahkan taruna tingkat akhir pun tidak bisa sembarang menyentuhnya tanpa alasan dinas.”
Raska mengangguk kecil. “Benar.”
Ia menatap meja, suaranya rendah. “Akmil itu ketat. Setiap akses tercatat. Satu langkah salah, karier bisa selesai sebelum dimulai.”
Ia diam sejenak, lalu melanjutkan, “Dan kalau memang ada petinggi yang sengaja menghapus jejaknya… berarti jalurnya bukan jalur yang bisa disentuh sembarang orang.”
Hening turun.
“Jadi,” gumam Asep pelan, “beneran ada kemungkinan—”
“—ada petinggi militer yang sengaja menutupinya,” sambung Raska perlahan.
“Masuk akal,” ujar mereka hampir bersamaan.
Raska menunduk lagi.
Jarinya tetap mencengkeram bandul dua cincin itu. Ia tidak tahu apakah ia sedang menunggu kabar…
atau sekadar bertahan pada satu-satunya bukti bahwa Elvara pernah memilihnya, meski akhirnya pergi tanpa pamit.
***
Lampu ruang makan temaram. Sendok dan garpu telah diletakkan rapi.
Hanya suara pendingin ruangan yang tersisa.
Roy meletakkan gelasnya pelan. Seolah sudah menimbang kata-kata sejak lama.
“Pa,” panggilnya, nada suaranya dibuat tenang. “Aku mau bicara.”
Nata tidak langsung menoleh. Ia mengelap tangannya dengan serbet, lalu mengangguk singkat.
“Bicara.”
Roy menarik napas. “Aku sudah semester enam. Kampus mewajibkan magang. Aku ingin—”
ia berhenti sepersekian detik, “—magang di perusahaan.”
Lisa ikut menyahut cepat, suaranya lembut tapi penuh perhitungan. “Supaya Roy belajar dari sekarang, Pa. Biar ke depan nggak cuma jadi pewaris nama.”
Nata akhirnya menatap mereka. Tatapannya datar, dingin, tanpa emosi berlebih.
“Tidak.”
Jawaban itu jatuh begitu saja. Pendek. Tegas.
Roy menegang. “Kenapa?”
“Karena kamu belum siap.”
“Aku bukan anak SMA lagi, Pa,” Roy menahan kesal. “Aku cuma minta magang. Bukan jabatan.”
Nata menyandarkan punggungnya ke kursi. “Justru karena itu. Kamu belum paham bedanya belajar dan merasa berhak.”
Lisa tersenyum tipis, senyum yang terlatih. “Papa terlalu keras sama Roy. Dia 'kan darah daging Papa juga.”
Nata menoleh ke arahnya. Tatapan itu membuat senyum Lisa membeku sepersekian detik.
“Justru karena dia darah dagingku,” ucap Nata rendah, “aku tidak mau dia tumbuh dengan mental merasa semuanya bisa dipertaruhkan.”
Roy mengepalkan tangannya di bawah meja. “Itu soal lama. Aku sudah minta maaf.”
Nata menatap lurus ke arah Roy. “Kamu mempertaruhkan sesuatu yang bukan milikmu. Dan kamu melakukannya dengan enteng.”
Hening.
Roy menelan ludah. “Kalau bukan di perusahaan, aku harus magang di mana?”
“Di luar.” Nada Nata tak berubah. “Cari tempat sendiri. Lolos sendiri. Gagal pun tanggung sendiri.”
Lisa membuka mulut, tapi Nata sudah berdiri lebih dulu.
“Satu hal lagi,” katanya sambil merapikan kemeja. “Selama aku masih hidup, jangan pernah menganggap apa pun di rumah ini sebagai jaminan.”
Ia melangkah pergi, meninggalkan meja makan dengan udara yang terasa semakin sempit.
Lisa menggenggam tangannya di bawah meja, kukunya menekan kulit, menahan emosi yang sama sekali tak boleh keluar.
Langkah Nata menjauh dari ruang makan. Pintu ruang kerja tertutup. Sunyi jatuh.
Roy menatap punggung Nata dengan rahang mengeras, mengepalkan tangan di bawah meja.
“Dia sengaja,” gumam Roy, suaranya tertahan. “Selalu begitu. Dingin ke aku, tapi ke Raska—”
Lisa segera menyentuh punggung tangan anaknya. Lembut, menenangkan. Senyumnya tipis, penuh perhitungan.
“Roy,” katanya pelan. “Kontrol emosimu.”
Roy menoleh tajam. “Mama lihat sendiri. Dia lebih percaya ke Raska. Padahal Raska bahkan gak ada di rumah!”
Lisa menghela napas pelan, seolah sedang menenangkan anak kecil yang hampir meledak.
“Justru itu,” katanya lembut.
Roy menatap Lisa dengan alis bertaut. "Maksud, Mama?"
...🔸🔸🔸...
...“Bukan karena ia tak mencari....
...Melainkan karena ada yang memastikan ia tak boleh ditemukan.”...
...“Di dunia tertentu, bukan kebenaran yang menentukan segalanya, melainkan siapa yang punya akses.”...
...“Selama dua cincin itu masih ia genggam,...
...ia tahu, yang hilang bukan janji, melainkan jalannya.”...
..."Nana 17 Oktober"...
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Semangat Terus Kak Nana, Uonya kak 🙏🙏🙏
Kak, up lagi donk 🤭
membuatku srlalu memejamkan Mata sejenak untuk meresapi maknanya
lanjutkan ka...
Tapi... Yang nggk di sadari Orang tua yang bilang begitu, anak laki-laki kan juga manusia biasa. Bukan Robot, yang nggk bisa menangis dan terpuruk. Laki-laki juga pernah menangis juga dan terpuruk, sama Seperti Wanita. Jadi Salah, kalau ada yang bilang laki-laki itu, nggk boleh nangis dan Rapuh Seperti Perempuan. Laki-laki juga manusia biasa 😁😁😁🙏
Nangis Saja Rava, kalau kamu mau nangis, nggk papa kok 😁😁😁🙏
tapi wajahmu gak berubah kan Vara??