NovelToon NovelToon
JATUH UNTUK BANGKIT

JATUH UNTUK BANGKIT

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Cinta Terlarang / Pengganti / Crazy Rich/Konglomerat / Identitas Tersembunyi / Romansa
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Elang Alghifari, CEO termuda yang sukses, dijebak oleh sahabat dan calon istrinya sendiri. Dalam semalam, ia kehilangan segalanya—perusahaan, reputasi, kebebasan. Tiga tahun di penjara mengubahnya dari pemimpin visioner menjadi pria yang hidup untuk satu tujuan: pembalasan.
Namun di balik jeruji besi, ia bertemu Farrel—mentor yang mengajarkan bahwa dendam adalah seni, bukan emosi. Setelah bebas, Elang kabur ke Pangalengan dan bertemu Anya Gabrielle, gadis sederhana yang mengajarkan arti cinta tulus dan iman yang telah lama ia lupakan.
Dengan identitas baru, Elang kembali ke Jakarta untuk merebut kembali segalanya. Tapi semakin dalam ia tenggelam dalam dendam, semakin jauh ia dari kemanusiaannya. Di antara rencana pembalasan yang sempurna dan cinta yang menyelamatkan, Elang harus memilih: menjadi monster yang mengalahkan musuh, atau manusia yang memenangkan hidupnya kembali.
Jatuh untuk Bangkit adalah kisah epik tentang pengkhianatan, dendam, cinta,

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BRIAN MEMANGGIL DETEKTIF

:

Kantor Brian di rumah—bukan lagi di gedung Hartavira karena ia sudah tidak punya akses ke sana—terletak di apartemen mewah lantai empat puluh yang dulu ia beli dengan uang hasil mengkhianati Elang. Ruangan itu gelap meskipun siang, gorden ditutup rapat karena Brian tidak tahan melihat cahaya matahari yang terasa terlalu terang untuk matanya yang merah dan bengkak dari kurang tidur.

Di meja kerjanya, tumpukan dokumen berserakan—laporan keuangan, surat dari pengacara, surat pemanggilan dari berbagai instansi pemerintah. Semuanya bad news. Tidak ada satu pun yang membawa harapan.

Tapi pagi ini, ada seseorang yang duduk di seberang mejanya dengan postur tenang dan mata yang terlalu tajam untuk orang biasa—mata yang sudah terlatih melihat hal-hal yang orang lain lewatkan.

Jefri Kurniawan. Lima puluh tahun, mantan polisi dengan dua puluh lima tahun pengalaman di unit reserse kriminal sebelum pensiun dini dan buka jasa detektif swasta. Wajahnya keras seperti dipahat dari batu, rambut putih dipotong militer pendek, setelan hitam sederhana tapi rapi. Di tangan kanannya, cincin kawin sudah pudar—istri meninggal lima tahun lalu, anak-anak sudah dewasa dan tidak terlalu dekat dengannya. Kerja adalah satu-satunya yang tersisa.

"Jadi," Jefri berkata dengan suara yang dalam dan serak—suara orang yang terlalu banyak merokok dan berteriak di lapangan, "Anda yakin ada dalang di balik semua ini? Bukan kebetulan? Bukan hanya nasib buruk beruntun?"

Brian tertawa—tawa pahit tanpa humor. "Pak Jefri, saya kerja di dunia bisnis dua puluh tahun. Saya tau perbedaan antara nasib buruk dan sabotase terencana. Ini terlalu sempurna. Terlalu terkoordinasi. Rekaman bocor tepat waktu yang bikin saham anjlok. Dokumen lingkungan muncul pas investor lagi gelisah. Harris Setiawan tiba-tiba beli saham banyak dengan timing yang mencurigakan—"

"Harris Setiawan," Jefri memotong, membuka tablet—alat kerja modern meskipun ia orang lama, "pengusaha modal ventura. Pernah Anda bantu sepuluh tahun lalu, benar?"

"Bukan saya. Elang Alghifari yang bantu dia."

Nama itu—Elang Alghifari—membuat Jefri mengangkat alis sedikit. "Mantan mitra Anda yang sekarang di penjara karena korupsi?"

"Yang dulu di penjara," Brian mengoreksi dengan suara tegang. "Dia keluar delapan bulan lalu. Vonis dipotong karena kelakuan baik atau apalah alasannya. Dan sejak keluar... dia menghilang. Tidak ada jejak. Dan tiba-tiba semua masalah saya dimulai."

Jefri mengetik sesuatu di tablet, membaca dengan cepat. "Elang Alghifari. Tiga puluh lima tahun. Keluar dari Cipinang delapan bulan lalu setelah jalani dua setengah tahun dari vonis tujuh tahun. Terakhir terlihat di terminal Kampung Rambutan naik bus ke arah Bandung. Setelah itu—" Ia mengangkat pandangan, "—tidak ada. Tidak ada transaksi kartu kredit, tidak ada booking hotel, tidak ada aktivitas media sosial. Seperti hantu."

"Atau seperti orang yang sengaja bersembunyi," Brian berkata tajam, condong ke depan dengan mata yang bersinar—bukan dengan kewarasan, tapi dengan obsesi. "Pak Jefri, saya curiga... saya sangat curiga Elang Alghifari masih hidup dan bergerak. Dia merencanakan ini. Dia yang koordinasi semuanya. Harris cuma boneka. Stella Febriani—mantan asisten yang bocorkan dokumen—cuma alat. Tapi dalang sebenarnya adalah Elang."

Jefri menutup tablet, menatap Brian dengan tatapan yang mengukur—mengukur apakah klien di depannya paranoid atau benar-benar punya alasan valid untuk curiga.

"Anda punya bukti?" tanyanya langsung. "Atau ini hanya dugaan?"

"Saya punya insting," Brian menjawab. "Insting yang sama yang buat saya berhasil di dunia bisnis selama ini. Dan insting saya bilang: Elang tidak akan diam saja. Dia terlalu pintar. Terlalu ambisius. Dia akan balas. Dan sekarang dia lagi balas."

Jefri diam sebentar, jari mengetuk tablet dengan irama pelan—tanda ia sedang berpikir. "Baiklah," akhirnya ia berkata. "Saya terima kasus ini. Tapi Anda harus mengerti: investigasi seperti ini tidak murah. Dan tidak cepat. Mencari orang yang sengaja menghilang itu seperti mencari jarum di tumpukan jerami—apalagi kalau orangnya pintar dan punya bantuan."

"Berapa?" Brian bertanya tanpa ragu. "Berapa yang Anda butuhkan?"

"Dua ratus juta untuk dua minggu pertama. Kalau butuh lebih lama, kita bicara lagi."

"Deal," Brian menjawab cepat—terlalu cepat untuk orang yang sedang mengalami krisis keuangan. Tapi ini bukan tentang uang. Ini tentang survival. "Saya mau Anda cek Bandung. Setiap sudut. Setiap penginapan, kos-kosan, warung makan—apapun. Cari jejak Elang. Dan—" Ia ambil napas dalam, "—cari tau siapa Harris Setiawan sebenarnya. Transaksi banknya, kontak-kontaknya, pergerakan terakhirnya. Saya tidak percaya dia investasi sebanyak itu tanpa motif tersembunyi."

Jefri mengangguk, membuka aplikasi catatan di tablet, mulai mengetik. "Butuh foto terbaru Elang?"

"Tidak ada," Brian mengakui dengan frustrasi. "Foto terakhir adalah tiga tahun lalu sebelum dia masuk penjara. Sekarang dia mungkin sudah beda—lebih kurus, mungkin punya janggut, mungkin ganti gaya rambut. Tapi—" Ia membuka laptop, menunjukkan foto lama Elang, "—ini yang saya punya. Dan satu lagi: Elang punya ciri khas—bekas luka kecil di alis kiri dari kecelakaan waktu kecil. Itu tidak bisa diubah."

Jefri memfoto layar laptop dengan tablet. "Oke. Saya mulai dari Bandung. Tanya-tanya ke terminal bus, hotel, penginapan murah—orang yang baru keluar penjara biasanya tidak langsung menginap di tempat mewah. Lalu saya cek koneksi Harris dengan siapapun yang pernah terkait dengan Elang. Dan—" Ia menatap Brian dengan serius, "—saya butuh akses ke dokumen internal Hartavira. Siapa yang punya akses ke file rahasia. Siapa yang bisa bocorkan rekaman dan dokumen."

"Stella Febriani," Brian menjawab dengan nada penuh kebencian. "Tapi dia sudah kabur. Rumah kosnya kosong. Keluarganya di Yogyakarta bilang tidak tahu di mana dia."

"Orang tidak bisa hilang total," Jefri berkata dengan kepastian orang yang sudah puluhan tahun melacak buronan. "Mereka pasti ninggalin jejak—sekecil apapun. Transaksi kecil. Telepon ke keluarga. Aktivitas media sosial dari akun palsu. Saya akan temukan."

Mereka bicara satu jam lagi—detail tentang siapa yang perlu diinvestigasi, timeline, metode komunikasi yang aman. Ketika Jefri akhirnya berdiri untuk pergi, ia berhenti di pintu, menoleh ke Brian yang terlihat sepuluh tahun lebih tua dari umur sebenarnya.

"Pak Brian," katanya dengan nada yang lebih lembut dari sebelumnya—bukan simpati, tapi pengertian profesional, "satu nasihat: kalau memang benar Elang yang dalang ini semua, Anda harus siap kemungkinan dia punya bukti yang lebih kuat dari yang Anda kira. Orang yang merencanakan balas dendam selama bertahun-tahun itu tidak main-main. Mereka sabar. Mereka teliti. Dan mereka biasanya sudah hitung semua kemungkinan termasuk Anda akan sewa orang seperti saya."

Brian menelan ludah—ada sesuatu di kata-kata Jefri yang membuat bulunya berdiri. "Maksud Anda?"

"Maksud saya: hati-hati. Jangan sampai dalam usaha cari dia, Anda justru jatuh ke jebakan yang dia siapin." Jefri membuka pintu. "Saya akan hubungi Anda kalau ada perkembangan."

Pintu tertutup, meninggalkan Brian sendirian di ruangan gelap dengan hanya cahaya laptop yang menyala dan pikiran yang berputar seperti badai.

Tiga hari kemudian, Jefri sudah di Bandung—kota yang lebih kecil dari Jakarta tapi tetap cukup besar untuk seseorang bersembunyi. Ia mulai dari yang paling logis: terminal bus.

"Permisi Pak," katanya ke petugas terminal Leuwipanjang sambil menunjukkan foto Elang di hapenya, "Bapak pernah lihat orang ini? Kira-kira delapan bulan lalu, naik bus dari Jakarta."

Petugas itu—pria paruh baya dengan seragam lusuh—menatap foto dengan alis berkerut. "Wah, delapan bulan lalu mah Pak... sehari aja yang lewat bisa ribuan orang. Gimana saya bisa inget satu orang—"

"Dia mungkin terlihat... berbeda. Kurus. Pucat. Seperti orang yang baru keluar dari rumah sakit atau penjara."

Petugas itu berpikir lama, lalu geleng kepala. "Nggak inget, Pak. Maaf."

Jefri mencoba petugas lain. Sopir bus. Tukang parkir. Pedagang asongan. Semuanya jawaban yang sama: tidak ingat, terlalu lama, terlalu banyak orang.

Ia pindah ke penginapan—mulai dari hotel murah di sekitar terminal, lalu melebar ke kos-kosan, losmen, wisma. Tunjukkan foto. Tanya pertanyaan yang sama. Dapat jawaban yang sama: tidak ada.

Tapi Jefri tidak mudah menyerah. Dua puluh lima tahun jadi polisi mengajarkannya satu hal: kesabaran. Ia terus mencari, terus bertanya, terus melebar radius pencariannya.

Di hari kelima, ia dapat sesuatu—kecil, mungkin tidak berarti, tapi sesuatu.

Seorang sopir angkot tua yang mejeng di terminal mengingat sesuatu. "Eh, tunggu... delapan bulan lalu ya? Ada sih, saya inget ada penumpang yang agak... aneh. Cowok muda, kurus banget, mata kosong gitu. Naik angkot saya dari terminal mau ke arah Dago."

"Dago?" Jefri mencatat. "Turun di mana?"

"Lupa juga sih Pak, tapi kayaknya di sekitar daerah kampus. Banyak kos-kosan di sana soalnya."

Dago. Area kampus. Kos-kosan. Jefri menuju ke sana, mulai canvassing lagi—tunjukkan foto ke pemilik kos, ke penjaga warung, ke siapapun yang mungkin ingat.

Dan akhirnya, di sebuah warung kecil di ujung jalan, pemilik warung—ibu-ibu paruh baya—menatap foto lebih lama dari yang lain.

"Ieu mah... asa mirip jeung lalaki sing pernah makan di dieu teh. Tapi rambutna mah lebih panjang. Terus aya janggot. Tapi matana..." Ia menunjuk mata di foto, "matana teh sarua. Tajam tapi sedih."

Jantung Jefri berdetak lebih cepat. "Kapan Ibu lihat dia?"

"Hmmm... kira-kira tujuh bulan lalu? Makan di dieu dua-tiga kali. Sendirian. Nggak banyak ngomong. Bayar cash. Terus nggak pernah muncul lagi."

"Ibu tau dia tinggal di mana?"

Ibu itu geleng. "Nggak tau. Tapi kayaknya bukan di sekitar sini. Soalnya dia tanya jalan ke arah... ke arah mana ya? Lupa juga. Tapi ke selatan kayaknya."

Selatan Bandung. Itu area luas—bisa ke Ciwidey, bisa ke Pangalengan, bisa ke banyak tempat.

Jefri lanjutkan investigasi—tanya ke lebih banyak orang, cek lebih banyak tempat. Tapi jejaknya berhenti di situ. Tidak ada lagi yang ingat. Tidak ada lagi petunjuk.

Ia laporkan ke Brian lewat telepon. "Pak Brian, saya dapat jejak. Elang memang pernah di Bandung sekitar tujuh bulan lalu. Terlihat di daerah Dago, lalu kemungkinan pindah ke selatan. Tapi setelah itu jejak hilang total. Saya butuh waktu lebih lama untuk cek area selatan—itu luas, banyak desa-desa kecil."

"Lakukan apapun yang perlu," Brian menjawab dengan suara yang desperate. "Temukan dia. Saya butuh tau di mana dia sekarang."

Malam itu, di Pangalengan, Elang duduk di kamar kosnya dengan laptop menyala menunjukkan pesan terenkripsi dari Harris:

*Elang, Brian udah sewa detektif swasta. Nama Jefri Kurniawan, mantan polisi yang bagus. Dia sudah mulai investigasi di Bandung. Hati-hati. Jangan keluar rumah dulu kalau nggak perlu. Jangan kontak siapapun yang bisa dilacak.*

Elang membaca pesan itu dengan wajah tenang—terlalu tenang untuk orang yang baru diberi tahu ada detektif profesional yang mencarinya.

Ia ketik balasan dengan jari yang steady:

*Biarkan dia cari. Dia tidak akan menemukan 'Elang Alghifari' karena orang itu sudah mati di penjara. Yang ada sekarang cuma 'Galang Saputra' yang hidup tenang di desa kecil. Dan bahkan kalau dia sampai ke Pangalengan, dia akan nemuin cowok biasa yang bantu-bantu di warung, bukan mantan direktur utama yang merencanakan balas dendam.*

Kirim.

Ia menutup laptop, berdiri, berjalan ke jendela kecil yang menghadap kebun teh. Bulan purnama menerangi hamparan hijau dengan cahaya perak yang indah dan tenang.

Di suatu tempat di luar sana, ada detektif yang mencarinya. Di Jakarta, Brian sedang panik dan desperate. Dan di tengah-tengah, ada Anya di lantai bawah yang mungkin sedang sholat malam atau tidur dengan tenang tanpa tahu bahwa pria yang tinggal di lantai atas sedang bermain catur berbahaya dengan nyawa sebagai taruhannya.

Elang menarik napas dalam. Udara dingin Pangalengan mengisi paru-paru, membersihkan sedikit kegelapan yang mulai mengendap.

"Cari aja, Brian," bisiknya ke malam. "Cari sampai kamu gila. Karena semakin kamu cari, semakin banyak kesalahan yang kamu buat. Dan kesalahan adalah yang aku tunggu."

Tapi di sudut hatinya yang masih punya sedikit cahaya, ada bisikan kecil yang bertanya: apakah ini semua worth it? Apakah melihat Brian hancur benar-benar akan mengisi kekosongan di dada? Atau hanya akan menambah kekosongan baru?

Ia tidak punya jawaban. Belum. Jadi ia kembali ke kasur, berbaring dengan mata terbuka menatap langit-langit yang sudah ia hafal setiap retaknya, dan menunggu—menunggu langkah selanjutnya, menunggu kesalahan Brian selanjutnya, menunggu sesuatu yang ia sendiri tidak yakin apa itu.

---

1
Dessy Lisberita
aku kok suka nya elang sama. stella ya thoor
Dri Andri: sayangnya elang udah jatuh cinta sama anya
total 1 replies
Dessy Lisberita
lanjut
Dri Andri: oke simak terus yaa
total 1 replies
Rizky Fathur
hancurkan Brian Thor sehancur hancur Thor bongkar semua kebusukannya Brian Thor jangan bikin elang naif memaafkan Brian pas Brian memohon ampunan jangan libatkan keluarganya bikin elang tidak perduli bikin elang berbisik kepada Brian Brian keluargamu bagiamana bikin di sini Brian sampai memohon jangan libatkan keluarganya bikin elang tidak perduli Dan tertawa jahat Thor hahahaha
Dri Andri: perlahan aja ya😁k
total 2 replies
Rizky Fathur
Thor cepat bongkar kebusukan Brian Thor bikin elang kejam kepada musuhnya musuhnya bantai Sampai ke akar akarnya bersihkan nama baiknya elang Thor bikin di sini sifatnya jangan naif Thor
Rizky Fathur
cepat bantai Brian dengan kejam Thor bongkar semua kebusukannya ke media Thor bikin elang bersihkan namanya Dan Ambil lagi semua hartanya bikin elang tuntut balik orang yang melaporkannya dulu Dan yang memfitnahnya dulu dengan tuntutan puluhan milyar bikin elang kejam kepada musuhnya Thor kalau perlu tertawa jahat dan kejam berbicara akan membantai keluarganya Brian bikin Brian memohon ampunan jangan libatkan keluarganya kepada elang bikin elang tertawa jahat hahahaha Brian aku tidak perduli habis itu pukulin Brian sampai pingsan
Dessy Lisberita
lanjut
Dri Andri: gaskeun
total 1 replies
Rizky Fathur
lanjut update thor ceritanya seru cepat buat elang Ambil kembali asetnya bongkar kebusukan Brian bikin elang kejam Thor sama Brian bilang akan bantai keluarganya Brian bikin Brian memohon ampunan jangan libatkan keluarganya bikin elang tidak perduli bikin elang tertawa jahat Thor
Rizky Fathur: bikin elang kejam Thor bongkar kebusukan Brian ke media bersihkan nama baiknya elang Thor bikin elang tuntut balik yang memfitnahnya Dan menjebaknya itu dengan tuntutan berapa ratus Milyar Thor
total 2 replies
Dessy Lisberita
bangkit lah elang
Dessy Lisberita
jngan terlalu percaya sama saudara ap lagi sama orang asing itu fakta
Rizky Fathur
lanjut update thor ceritanya bikin elang menang bikin Jefri kalah Thor kalau perlu Hajar Jefri sampai luka parah
Dri Andri: gas bro siap lah perlahan aja ya makasih udah hadir
total 1 replies
Kisaragi Chika
bentar, cepat banget tau2 20 chapter. apa datanya disimpan dulu lalu up bersamaan
Dri Andri: hehehe iyaa
total 4 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!