Cinta Terlarang

Sinta mengekori Alan begitu keluar dari ruang kerjanya. Sore ini dia minta Liana untuk datang ke rumah. Liana bahkan menyuruh Sinta pulang bersama Alan karna memang satu tujuan.

"Sin, pulang bareng Alan.?" Tiba-tiba Reyhan muncul dari arah berlawanan dan menatap keduanya bergantian. Alan adalah teman semasa kuliahnya. Dulu mereka tidak begitu dekat, sekarang malah jadi sahabat karna satu perusahaan.

Sinta memberi anggukan sebagai jawaban. "Mau main ke rumah Mba Liana." Ucapnya.

"Gue duluan Rey.!" Alan menepuk keras pundak Reyhan, dia berlalu dan sempat memberi kode pada Sinta agar mengekorinya lagi.

"Kamu belum baca WA saya.?" Tanya Reyhan pada Sinta.

Sinta menggeleng. Dia belum sempat buka ponsel karna banyak kerjaan. Tadi dia juga buru-buru karna Alan sudah menunggu.

Sinta lantas mengambil ponsel dan membuka chat dari atasannya. Rupanya Reyhan menawarkan diri untuk mengantarnya pulang dan menyuruhnya menunggu sebentar di ruangannya. Sebab Reyhan ada urusan di luar dan baru saja kembali.

"Maaf Pak, saya nggak sempet buka hp." Sesal Sinta tak enak hati.

Helaan nafas kecewa keluar dari mulut Alan. "Ya sudah, lain kali saja." Ucapnya tampak pasrah. Lagipula Sinta akan pergi ke rumah Alan.

...******...

Sinta masuk ke dalam mobil kakak iparnya. Mobil berwarna putih itu kemudian melesat keluar dari basement perusahaan.

"Tadi Reyhan ngomong apa aja.?" Tanyanya dengan lirikan posesif.

"Hanya menanyakan pekerjaan." Sinta tak berani berkata jujur, dia khawatir Alan menegur Reyhan dan pada akhirnya akan timbul kecurigaan.

Alan tidak merespon, namun ekspresi wajahnya langsung berubah normal. Sinta yang memperhatikan perubahan wajah Alan seketika bisa bernafas lega.

"Mau makan dulu nggak sayang.?" Tawar Alan yang tiba-tiba menggenggam tangan Sinta. Pria matang itu tampak seperti ABG yang baru kasmaran. Apalagi dia jarang berduaan dengan Sinta di dalam mobil. Selama 3 bulan ini, mereka sembunyi-sembunyi, tidak berani menampakkan diri berduaan di depan umum. Mereka hanya bersama ketika di apartemen saja.

"Mba Liana udah nungguin, langsung pulang aja Mas." Tolak Sinta beralasan. Padahal dia takut berduaan dengan Alan di tempat umum. Takut ada yang mengenali mereka.

"Ya sudah kita beli makan saja, nanti makan bareng-bareng di rumah."

Sinta tidak protes, dia ikut apa kata Alan saja asal tidak makan berduaan.

40 menit kemudian, mobil Alan berhenti di garasi rumahnya. Sinta bersiap untuk turun, namun tangannya di tahan oleh Alan yang sudah mencondongkan badan ke arahnya.

Netra Sinta membulat sempurna. "Mas.! Jangan aneh-aneh.!" Dia mendorong dada Alan, namun tidak berarti apa-apa bagi pemilik tubuh atletis Alan.

"Kangen, pengen cium kamu." Kata Alan. Detik berikutnya, Sinta sudah tidak bisa bergerak lagi karna tubuhnya menegang saat Alan membungkamnya dengan ciuman.

Sempat terdiam, Sinta akhirnya membalas ciuman Alan. Ciuman lembut itu berlangsung beberapa menit sampai akhirnya Alan menarik diri. Ada seulas senyum kebahagiaan di wajah Alan setelah mengakhiri ciumannya.

Alan menyeka sudut bibir Sinta menggunakan jarinya. Tangannya yang masih menempel di sebelah pipi Sinta, mengusap perlahan. Sinta hanya terpaku, detak jantungnya sedang tidak baik-baik saja. Dia benar-benar sudah jatuh terlalu dalam pada pesona dan kelembutan Alan.

"Makasih udah buat Mas bahagia." Ucapnya tulus.

Sinta mengurai senyum manis kemudian mengangguk pelan. Sinta menahan diri untuk tidak berterimakasih juga pada Alan. Seandainya Sinta berkata jujur bahwa dia juga sangat bahagia bersama Alan, Sinta khawatir Alan akan semakin mantap untuk meninggalkan Liana.

...*****...

Zio dan Zia begitu antusias melihat kepulangan Papanya bersama Tante mereka. Apalagi Alan membawakan makanan kesukaan anak-anak. Liana pun tampak berbunga ketika Alan menyodorkan makanan kesuksesan padanya. Liana berfikir jika Alan sedang mencoba memperbaiki hubungan mereka. Padahal Alan membeli makanan kesukaan Liana atas perintah Sinta. Alan tidak bisa menolak demi menutupi hubungannya dengan Sinta. Sebab Liana sudah mulai mencurigainya.

"Tante nginep disini kan.?" Tanya Zia dengan mulut yang masih mengunyah makanan.

"Sayang, telan dulu baru bicara." Tegur Liana pelan. Gadis cantik itu hanya menyengir.

"Iya, tante nginep. Besok kita pergi ke rumah Nenek rame-rame." Ujar Sinta. Kedua anak Liana langsung bersorak, mereka mungkin sudah rindu dengan Nenek dan Omnya.

"Papa, Papa ikut sama kita kan.?" Zio menatap Papanya. Dia bertanya seperti itu karna sudah tau kesibukan sang Papa. Belakangan ini Alan sering pergi ke luar kota walaupun weekend.

Alan menjawab dengan anggukan. "Ayo habiskan makanannya, kalian harus tidur lebih awal. Kita ke rumah Nenek pagi-pagi."

"Hum." Dua anak itu mengangguk kompak.

...*****...

Waktu menunjukkan pukul 10 malam. Liana mengajak Sinta duduk di teras rumah. Beberapa saat mereka dalam keheningan. Sampai akhirnya Liana mulai bersuara.

"Mba nggak tau kesalahan apa yang sudah Mba lakuin sebelum kehilangan sebagian ingatan Mba. Sampai-sampai Alan berubah." Lirihnya yang terdengar mengiris hati.

"Dek, kamu pasti tau kan Mba sangat mencintai Alan sejak dulu sampai sekarang. Kenapa Alan jadi seperti ini." Ada nada kekecewaan di dalamnya. Dia sudah meminta kejelasan dari Alan tentang apa saja yang terjadi beberapa tahun terakhir, namun Alan tidak pernah mau menjelaskannya. Jadi Liana tidak tau seperti apa kondisi rumah tangganya terakhir kali sebelum tragedi kecelakaan yang merenggut sebagian ingatannya.

Sinta terdiam. Dia harus menjawab apa.? Karna satu-satunya alasan yang membuat Alan berubah pada Liana adalah dirinya. Sinta hanya bisa merutuki kesalahannya. Dia sudah membuat rumah tangga Liana seperti ini, walaupun tidak sepenuhnya dia bersalah. Apalagi Liana sempat mengutarakan niatnya untuk berpisah dari Alan beberapa bulan sebelum mengalami kecelakaan.

"Kamu yakin Dek di kantor nggak ada wanita yang deket sama Alan.?" Liana memberikan tatapan interogasi.

Sinta menggeleng. Alan bahkan terkenal dingin pada karyawan wanita. Jadi tidak ada wanita yang dekat dengan Alan kecuali dia. Saking dekatnya, dia dan Alan sering berbagi ranjang.

"Mungkin Mas Alan lagi banyak pikiran Mba. Coba ajak Mas Alan bicara baik-baik. Atau pergi liburan berdua.Biar anak-anak sama aku atau sama Mama." Ujar Sinta memberi saran. Semua yang dia katakan semata-mata untuk menghindari kecurigaan Liana.

"Sudah Mba bicara baik-baik, tapi respon Alan bikin Mba semakin yakin dia memiliki wanita lain. Entah wanita mana yang tega masuk dalam kehidupan Mas Alan." Buliran bening mulai luruh dari sudut mata Liana. Wanita itu tidak kuasa menahan sesak di dadanya. Harapan untuk bisa menjalani rumah tangga yang harmonis sepertinya sudah sirna. Alan tidak menunjukkan tanda-tanda akan memperbaiki rumah tangganya.

Sinta tidak menjawab lagi selain membawa Liana dalam pelukannya. Pikirannya mulai berkecambuk, berbagai perasaan memenuhi hatinya.

"Maafin Sinta Mba. Sinta janji akan mengembalikan Mas Alan pada kalian." Batinnya meski belum yakin bisa sepenuhnya melepaskan Alan.

Perasaan yang dia miliki untuk Alan tidak sederhana. Rasa nyaman dan membutuhkan itu benar-benar menumbuhkan cinta di hati Sinta. Sekarang harus berusaha menghapus perasaannya pada Alan dan melepaskan Kakak iparnya itu.