Dua tahun Sitha dan Danu berpacaran sebelum akhirnya pertunangan itu berlangsung. Banyak yang berkata status mereka lah yang menghubungkan dua sejoli itu, tapi Sitha tidak masalah karena Danu mencintainya.
Namun, apakah cinta dan status cukup untuk mempertahankan sebuah hubungan?
Mungkin dari awal Sitha sudah salah karena malam itu, pengkhianatan sang tunangan berlangsung di depan matanya. Saat itu, Sitha paham cinta dan status tidak cukup.
Komitmen dan ketulusan adalah fondasi terkuat dari sebuah hubungan dan Dharma, seorang pria biasalah yang mengajarkannya.
Akankah takdir akhirnya menyatukan sepasang pria dan wanita berbeda kasta ini? Antara harkat martabat dan kebahagiaan, bolehkah Sitha bebas memilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kirana Pramudya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Seharusnya Ini Adalah Hari Bahagia
Akhir pekan kembali tiba. Seharusnya hari Sabtu ini akan dilangsungkan akad antara Sitha dan Danu dikediaman Negara. Memang tidak ada janur yang dipasang, ya tidak ada janur melengkung di depan rumah. Perihal dekorasi bisa dibatalkan karena Indi sendiri yang akan bertanggung jawab untuk dekorasi pernikahan adik iparnya. Akan tetapi, ada hal yang tidak bisa dibatalkan yaitu katering.
Pihak keluarga Negara sudah memberikan DP terlebih dahulu. Sehingga H-1, Rama Bima memutuskan untuk mengundang seluruh karyawan datang ke rumah dan makan bersama.
Saat kedua Rama Bima dan Bu Galuh berdiri di depan pelataran rumah. Pasangan paruh baya itu saling menghela napas, kemudian saling tersenyum.
"Seharusnya ini adalah hari bahagia untuk Sitha. Jam 10.00 nanti akan dilangsungkan akad untuknya. Kebaya putih bahkan sudah siap di kamarnya, tapi semuanya batal. Jika berpikir sedihnya pasti sedih, tapi sudah Allah takdirkan memang tidak berjodoh. Ini jauh lebih baik kan, Rama? Jika salah memilih pasangan hidup menyesalnya adalah seumur hidup?"
"Benar, Ibu. Tidak apa-apa. Andai ada pemuda baik yang mencintai Sitha dengan sungguh-sungguh, Rama bakalan setuju. Jangan menyakiti hati Sitha saja," kata Rama Bima.
Bu Galuh kemudian tersenyum. "Semoga nanti Sitha akan segera dipertemukan dengan pemuda yang baik itu, Rama."
"Aamiin ... semoga saja."
Kemudian, keluarga Satria dan keluarga Hadinata yang tak lain adalah besannya Rama Bima dan Bu Galuh tiba. Mereka saling menyapa. Tentu keluarga Hadinata juga mengucapkan kata-kata semangat untuk besannya.
"Saya sudah mendengar ceritanya dari Indi. Semoga keluarga Negara selalu tabah, justru memandang ini sebagai kebaikan Allah karena Allah tunjukkan hal-hal yang tidak baik itu sebelum pernikahan. Semua manusia pada akhirnya akan 'Ngunduh wohing pakarti.' Apa pun yang manusia lakukan akan menuai hasil yang sepadan. Tansah semangat nggih Bapak dan Ibu," kata Ayah Pandu.
"Matur nuwun, Pak Pandu. Saya sudah legowo. Sembari berdoa nanti Allah akan pertemukan Sitha dengan pemuda yang baik," balas Rama Bima.
"Eyang Rama, Om Dharma itu baik loh," celetuk Sadewa tiba-tiba.
Indi dan Satria tertawa. Sedangkan Ayah Pandu dan Bunda Ervita bertanya-tanya sebenarnya siapa yang bernama Dharma itu? Apakah memang sudah ada cinta yang baru untuk Sitha?
"Iya loh, Eyang. Mau gendongin Adek yang bobok," timpal Nakula.
"Kalian kenal?" tanya Ayah Pandu.
"Tahu dong Kakung. Pernah ikut ke perkebunan empon-empon kok, baik banget. Sayang ke anak-anak juga," balas Sadewa.
Ayah Pandu dan Bunda Ervita tersenyum. Anak kecil ketika menilai itu adalah penilaian paling jujur. Mereka bisa merasakan mana yang sayang dan mana yang tidak. Rama Bima kemudian berbicara.
"Didoakan aja, Bapak dan Ibu. Kalau jodoh pasti nanti didekatkan."
"Pasti, kami selalu mendoakan untuk Dek Sitha."
Selanjutnya tepat jam 10.00 pagi, seluruh karyawan pabrik datang untuk sekadar menikmati jamuan makan. Karyawan dari bagian office juga datang. Akan tetapi, ada yang tidak datang yaitu Ambar dan Danu.
"Mari langsung saja, langsung makan," kata Rama Bima.
"Mbak Sitha nya mana, Bapak?" tanya seorang pegawainya.
"Itu, Sitha sedang main sama keponakannya," jawab Rama Bima sembari menunjuk Sitha.
Bagi para karyawan pabrik jamu itu tentunya kabar pernikahan Sitha sudah terdengar. Kabar batalnya pernikahan juga mereka dengar. Apalagi memang kabar burung akan terdengar jauh lebih cepat. Sama seperti biasanya, ada yang menyayangkan, ada pula yang menjatuhkan, ataupun berbagai spekulasi yang lainnya.
"Semoga Mbak Sithanya kuat dan mendapatkan jodoh yang lebih baik."
Sebagian besar yang datang mengatakan demikian. Rama Bima menganggukkan kepalanya. Dia tersenyum saja. Toh, memang inilah yang terbaik.
Sampai akhirnya ada Dharma yang baru datang. Sama seperti biasanya, pemuda itu merasa canggung dan sungkan. Walau sudah beberapa kali ke kediaman Negara. Akan tetapi, kecanggungan itu segera sirna manakala Nakula dan Sadewa berlari ke arahnya dan bersalaman.
"Om Dharma," sapa mereka dengan kompak.
"Nakula dan Sadewa sudah berada di Solo yah?" tanya Dharma.
"Om, itu Eyang Kakung dan Eyang Putrinya Sadewa dari Jogja," kata Sadewa.
"Ayo, Om ... beri salam dulu," kata Nakula.
Bahkan Nakula dan Sadewa kompak mengajak Dharma menemui dan memberi salam kepada Eyang Kakung dan Eyang Putrinya. Tingkah anak-anak kadang memang seperti itu.
"Loh, siapa ini?" tanya Bunda Ervita dengan ramah.
"Tepangaken, kula Dharma ...."
"Oh, ini yang namanya Om Dharma, tadi diceritakan Nakula dan Sadewa. Kami orang tuanya Indi, mertuanya Mas Satria," kata Bunda Ervita.
Dharma memberikan salam dengan sopan. Dia juga memberikan salam takzim kepada Rama Bima dan Bu Galuh. Pemuda itu pun menyapa.
"Assalamualaikum, Bapak dan Ibu," sapanya.
"Waalaikumsalam. Langsung makan Mas Dharma, tapi antri dulu," kata Rama Bima dengan tertawa.
"Nggih, Bapak." Dharma menjawab demikian dengan menganggukkan kepalanya.
"Nyuwun pangapunten sakderengipun nggih, Bapak. Seharusnya hari ini hari bahagianya Dek Sitha," kata Dharma. Bagaimana pun dia ingat betul bahwa seharusnya hari ini adalah hari bahagia.
"Tidak apa-apa, Mas Dharma. Hari ini tetap bahagia dengan seluruh karyawan yang bisa makan bersama. Kebahagiaan juga melihat seluruh karyawan datang, makan dengan lahap, dan bahagia," balas Rama Bima.
Dharma menganggukkan kepalanya. "Itu besannya Bapak dan Ibu dari Jogjakarta, Mas Dharma. Mas Satria kan dapat putri Jogja. Nah, ini nanti adiknya, Sitha si Putri Solo ini akan dapat siapa," kata Rama Bima dengan tertawa. Sebatas guyonan saja.
Selanjutnya Sitha datang juga dengan menggendong Arunika dan Devshika. Rupanya Arunika langsung minta gendong ketika melihat Dharma.
"Ndong ... ndong," kata Arunika.
"Om-nya baru datang, Nika sama Ante dulu yah?"
Akan tetapi, Arunika malahan merajuk dan seperti hendak menangis. Bibirnya sudah melengkung dan kedua matanya berkaca-kaca. Melihat Arunika, Dharma merasa tidak tega. Dia menyodorkan kedua tangannya menggendong Arunika.
"Sini yuk, digendong Om Dharma. Arunika masih ingat sama Om yah?"
Dari jauh Satria mengamati Dharma. Agaknya memang pemuda itu menaruh perasaan kepada Sitha. Selain itu, Dharma juga kelihatan sayang kepada anak-anaknya. Dia yang baru datang mau menggendong anaknya.
"Padahal Om-nya baru datang dan belum minum," kata Sitha.
"Tolong diambilkan minum untuk Mas Dharma tow, Dek. Dibawa ke sini saja. Kalau di sana bisa sungkan," kata Satria.
Sitha menganggukkan kepalanya. Sembari menggendong Devshika dia mengambilkan minum untuk Dharma. Dari jauh Sitha mengamati bahwa Dharma itu baik dan tulus. Seorang anak kecil seperti Arunika saja bisa merasakan ketulusan Dharma. Bahkan Arunika terlihat manja, dengan mendekatkan kepalanya di dada Dharma.
"Sama Nika aja, kamu sweet, Mas," kata Sitha dalam hatinya dengan menatap Dharma dari jauh.
tetap semangat ✊
Gusti Allah tansah mberkahi 🍀🌸❤🌸🍀
disyukuri walaupun hanya ada selintas ingatan yang masih samar di benak Shita
Terlebih didalamnya banyak terdapat sentuhan wawasan Budaya Jawa yang tentunya akan memperkaya pengetahuan si pembaca.
Saestu...sae sanget 👍