menceritakan tentang kisah dyah suhita, yang ketika neneknya meninggal tidak ada satupun warga yang mau membantu memakamkannya.
hingga akhirnya dyah rela memakamkan jasad neneknya itu sendirian, menggendong, mengkafani, hingga menguburkan neneknya dyah melakukan itu semua seorang diri.
tidak lama setelah kematian neneknya dyah yaitu nenek saroh, kematian satu persatu warga desa dengan teror nenek minta gendong pun terjadi!
semua warga menuduh dyah pelakunya, namun dyah sendiri tidak pernah mengakui perbuatannya.
"sudah berapa kali aku bilang, bukan aku yang membunuh mereka!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Abdul Rizqi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
yanto?
Dyah yang merasa heran membalikan badanya secara perlahan, untuk melihat siapakah gerangan yang di tunjuk oleh sosok anak kecil itu.
Sayangnya, tidak ada siapapun di belakang dyah. Yang ada hanya bunga kamboja yang berterbangan lirih tertiup angin.
Dyah bertanya dengan ekspresi wajah kepada gadis itu. Membuat gadis kecil itu membuat gerakan tangan mengatakan bahwa orang yang tadi di belakang dyah sudah pergi.
Alis dyah bertaut bingung dengan apa yang di Katakan gadis itu melalui isyarat tangan. Dyah hanya bisa tersenyum dengan menggelengkan kepalanya lirih, sebelum akhirnya pergi meninggalkan kawasan makam itu.
Apa yang tidak di ketahui dyah, salah satu warga melihat dia. Tepat ketika dyah tersenyum dan melenggang pergi.
"Ndi, ada dyah!" Warga yang melihat dyah tadi memanggil temannya.
"Mana?" Sayangnya temannya tadi tidak lagi melihatnya.
"Di sana tadi! Masa datang ke makam diam-diam, terus pergi sambil tersenyum. Apa jangan-jangan?" Kedua warga itu mengatkan kalimat akhir secara bersamaan.
***
Sementara itu di rumah dyah.....
Dyah memasak terong bulat dari hasil panen belakang rumahnya. Tidak banyak, hanya sekitar lima terong saja. Itu sudah cukup untuk dyah makan seharian.
Terong bulat itu dyah potong sedikit tipis berbentuk bulat utuh, lalu di masukan ke dalam bumbu yang sudah terlebih dahulu di masak.
Aromanya menguar, membuat siapapun yang menciumnya pasti akan merasa lapar.
"Lama aku ndak makan terong seperti ini. Apa lagi bawangnya baru panen rasanya pasti nikmat sekali, di tambah aku dari malam belum makan. Ah ini toh karena aku yang kelaparan saja." Ucap dyah pada dirinya sendiri.
Setelah sayurnya matang, lekas dyah memasukan ungkep terong itu ke dalam mangkuk yang terbuat dari tanah liat.
Baru saja dyah berdiri dan hendak membawa mangkuk itu ke arah meja kecil yang biasa ia gunakan untuk menaruh makanan selepas memasak, tiba-tiba sebuah tangan menepik mangkuknya hingga sayurnya tumpah ke tanah dan mangkuknya pecah berkeping-keping.
Dyah yang terkejut hanya bisa terdiam terpaku di tempat menatap sayur terongnya yang sudah bercampur dengan tanah. Padahal itu adalah sayuran dan bumbu satu-satunya yang dyah punya.
Perlahan dyah mengakat wajahnya, untuk melihat pemilik tangan yang telah membuatnya akan kelaparan sepanjang hari.
"Apa salah tejo sama kamu, hah! Kenapa kamu sampai tega berbuat ini kepada dia?!" Teriak wanita paruh baya dengan tubuh sedikit gempal dan lebih tinggi dari dyah.
"Maksudnya mbak yu, apa? Kenapa mbak yu menanyakan hal itu?" Tanya dyah dengan alis bertaut.
"Tidak usah menyangkal lagi kamu dyah, dyah aku tahu! Kamu kan yang sudah menghabisi suamiku! Tega kamu dyah menelantarkan anak-anak kami!" Teriak wanita itu lagi.
Dyah tidak bisa menjawab ia hanya bisa menggeleng lirih dengan air mata yang mulai turun dari pelupuk matanya.
"Kenapa setiap ada kejadian selalu aku yang di salahkan? Dyah berani bersumpah mbak. Dyah tidak tahu apa-apa!" Kilah dyah yang membuat wanita di hadapan dyah naik pitam.
Plak!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi mulus dyah. Membuat gadis itu terhuyung huyung, dan akhirnya menghantuk tiang yang terbuat dari bambu.
"Dandi dan indra sudah melihat. Kamu datang ke makam dan tersenyum, melihat kerumunan orang yang menguburkan suamiku. Dasar jalang! Tidak tahu di untung!" Wanita bertubuh gempal itu kehilangan kendali, emosinya membumbung tinggi, membuat dia menarik rambut dyah dan menghantukan kepala dyah beberapa kali di tiang bambu rumah dyah.
"Ampu mbak! Ampun! Dyah tidam tahu apa-apa! Tolong ampuni dyah mbak." Ucap dyah sambil meringis menahan sakit, nampak keningnya mulai terluka.
Setelah puas menghakimi dyah, wanita bertubuh gempal itu segera berdiri. Mata wanita itu masih menatap nyalang dyah, membuat dyah gemetaran dan menangis hingga tak bisa mengatakan sepatah katapun.
"Kamu camkan ini dyah suhita. Saat ini aku memang tidak memiliki bukti yang kuat atas apa yang sudah kamu lakukan pada aceng dan suamiku. Tapi nanti, pasti aku akan buktikan sendiri. Saat itu juga sebaiknya kamu bersiap-siap, warga pasti akan mengarak kamu dan membakar tubuhmu hidup-hidup." Ancam istri tejo yang langsung melenggang keluar.
Tepat di saat itu, terlihat yanto yang sedang asik menghisap puntung rokok nya dengan begitu khidmat, melihat ke arah dyah yang sudah babak belur di hajar oleh istrinya tejo.
Yanto kemudian membatin, "kalau bukan dyah siapa? Siapa yang memiliki dendam dengan desa ini. Bukankah hanya dia yang memiliki dendam atas kematian neneknya, bukannya hanya dia, kalau bukan dia siapa?" Tanya yanto dalam hati pada dirinya sendiri.
Setelah membatin, dengan cepat yanto meninggalkan tempat itu sebelum dyah mengetahui keberadaan dirinya.
Tangis dan cucuran darah dari kening dyah, membuat dia meringkuk di bawah kursi rotan milik neneknya.
Hatinya hancur dengan wajah yang sudah penuh dengan cairan merah yang tidak lain adalah darah. Dyah mencoba untuk bangkit, memunguti sayur terong yang baru saka dyah masak, andai tidak banyak tanah mungki dyah sudah memakannya dari pada kelaparan sepanjang hari, namun sayang sekali sayuran terong itu penuh dengan tanah dan debu, karena memang lantai rumah dyah belum di keramik, hanya tanah biasa.
Tangan dyah gemetar me.buang sayur terong itu keluar pintu dapur. Bola matanya terangkat ke atas, menatap tajam ke arah depan dengan darah yang masih menetes-netes di bagian keningnya hingga merembet ke arah pelipis dan jatuh di tanah.
Tangan mungilnya menghapus jejak air mata yang bercampur darah dengan begitu kasarnya. Sakit hati di dalam hatinya semakin menjadi-jadi, kebencian di dalam hatinya semakin dalam terhadap warga desa yang telah menindas dirinya.
Di gulungnya rambut panjang yang sempat terurai berantakan akibat jambakan dari istri tejo. Giginya bergemeretak, bahkan shara gertakan giginya bisa terdengar jelas, menandakan bahwa dyah benar-benar menahan amarahnya.
"Baiklah! Kita lihat nanti bagaimana kamu membalas dendam!" Ucap dyah pada dirinya sendiri, dengan sorot mata tajam penuh dengan kemarahan.