Aku, Diva, seorang ibu rumah tangga yang telah menikah selama tujuh tahun dengan suamiku, Arman, seorang pegawai negeri di kota kecil. Pernikahan kami seharusnya menjadi tempat aku menemukan kebahagiaan, tetapi bayang-bayang ketidaksetujuan mertua selalu menghantui.
Sejak awal, ibu mertua tidak pernah menerimaku. Baginya, aku bukan menantu idaman, bukan perempuan yang ia pilih untuk anaknya. Setiap hari, sikap dinginnya terasa seperti tembok tinggi yang memisahkanku dari keluarga suamiku.
Aku juga memiliki seorang ipar perempuan, Rina, yang sedang berkuliah di luar kota. Hubunganku dengannya tak seburuk hubunganku dengan mertuaku, tapi jarak membuat kami tak terlalu dekat.
Ketidakberadaan seorang anak dalam rumah tanggaku menjadi bahan perbincangan yang tak pernah habis. Mertuaku selalu mengungkitnya, seakan-akan aku satu-satunya yang harus disalahkan. Aku mulai bertanya-tanya, apakah ini takdirku? Apakah aku harus terus bertahan dalam perni
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Thida_Rak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24 Masa Lalu Pilihan Mertua
Segera setelah duduk bersila di hadapan penghulu, Arman menarik napas dalam-dalam. Jantungnya berdebar tak menentu. Ini adalah kali kedua ia mengucapkan ijab kabul, namun rasanya jauh lebih berat dari yang pertama. Di sisi lain, Raya tampak berseri, tersenyum malu-malu membayangkan kehidupan indah yang ia impikan bersama Arman.
Bersamaan dengan itu, di sudut ruangan, seseorang dengan pakaian tamu biasa tengah memegang ponsel tersembunyi kamera menyala diam-diam, merekam detik demi detik. Orang suruhan Diva itu telah berada disana sejak pagi, menunggu momen paling penting.
Penghulu menatap Arman, memberi isyarat. Semua menjadi hening.
Arman menatap mahar, lalu menatap penghulu, dan dengan suara tegas meski ada getar di ujung lidahnya ia pun mengucapkan
"Saya terima nikahnya Raya Hania binti Surya dengan mas kawin tersebut, tunai."
Ucapan itu menggema di ruangan.
Orang-orang bersorak pelan, beberapa bertepuk tangan. Bu Susan meneteskan air mata bahagia. Raya memejamkan mata, tersenyum penuh syukur. Mereka tidak tahu bahwa rekaman itu akan jadi kunci perubahan besar.
Dan Diva… sedang menunggu.
Di rumah, Diva duduk di depan meja rias, menatap pantulan dirinya yang tampak tenang namun penuh gejolak di dalam dada. Ponselnya bergetar pelan. Sebuah pesan masuk.
"Mbak, ini saya kirim semua ya. Foto dan videonya juga sudah lengkap. Arman sudah sah menikahi Raya."
Beberapa detik kemudian, file-file masuk satu per satu. Foto Arman dengan jas pengantin, Raya tersenyum di pelaminan kecil, dan yang paling menyayat hati video saat Arman mengucap ijab kabul.
Diva membuka satu per satu, wajahnya tetap datar. Tapi matanya mulai berkaca.
"Terima kasih, Reno... Bagus semua. Sekarang waktunya aku bertindak," balasnya singkat.
Ia berdiri, mengambil map berisi salinan dokumen, lalu membuka laci dan mengeluarkan flashdisk yang sudah disiapkan sebelumnya. Ia menatap semua itu, lalu tersenyum samar.
"Permainan kalian sudah selesai... Sekarang giliranku."
Langkah Diva tampak mantap menuju babak berikutnya.
Di ruang rias pengantin, Bu Susan tampak tak bisa menyembunyikan senyumnya. Sambil merapikan kerudungnya di depan cermin, ia berkata pelan namun penuh kemenangan,
"Akhirnya, ibu punya dua menantu. Satu untuk urusan rumah, satu lagi untuk urusan hati Arman. Semoga cepat dapat cucu..."
Arman yang sedang duduk di sofa menghela napas, wajahnya sedikit tegang.
"Bu, gimana kalau aku nggak pulang malam ini? Aku takut Diva curiga..." ucapnya ragu.
Bu Susan langsung menoleh, suaranya tenang tapi penuh kepastian.
"Tenang, semua ibu atur. Diva nggak akan tahu apa-apa. Kamu nikmati saja dulu waktumu dengan Raya. Cuti kamu"
Arman hanya mengangguk, meskipun hatinya tak seratus persen lega.
Ia tak sadar, badai yang lebih besar tengah menunggu mereka di rumah.
Sore itu, suara mobil terdengar di halaman. Diva yang sedang duduk di ruang tamu menoleh sekilas ke arah jendela. Benar saja hanya Bu Susan yang turun dari mobil, tanpa Arman.
Bu Susan melangkah masuk tanpa banyak bicara, hanya menyampirkan tas kecilnya dan berkata datar,
"Div, kamu nggak usah masak ya, tadi ibu udah makan di luar."
Diva tersenyum tipis, menyembunyikan segala yang sudah ia tahu.
"Iya, Ibu," jawabnya pelan, sambil tetap menatap lurus ke arah ibu mertuanya yang berjalan masuk ke kamar.
Dalam hati Diva berbisik, "Kalian pikir aku masih buta? Silahkan nikmati semua ini sebentar lagi."
Kini ia hanya perlu menunggu waktu yang tepat untuk membuka semua kartu.
Di hotel yang telah dipesan khusus oleh Arman, malam itu terasa seperti puncak dari semua rencana mereka. Raya tersenyum lebar, mengenakan gaun malam tipis yang membalut tubuhnya.
"Makasih ya, Man. Kamu udah menepati janji. Aku bakal kamu bahagia…" ucapnya manja sambil memeluk Arman.
Arman membalas pelukannya, menatapnya sejenak, lalu berkata lirih,
"Iya, sayang. Malam ini milik kita."
Malam pun berlalu dalam keintiman yang mereka nikmati berkali-kali. Raya tertidur lebih dulu, kelelahan, sementara Arman menatap langit-langit kamar hotel dengan kepala penuh pikiran.
Sementara itu di rumah, Diva duduk sendirian di tempat tidur.
Ia tahu pasti di mana suaminya berada bukan sekadar dugaan, tapi bukti-bukti yang sudah ia kantongi.
Ada perasaan geli yang muncul di dalam dadanya, bukan karena cemburu… tapi jijik.
"Begitu mudahnya kamu mengotori ikatan ini, Man… tapi tenang saja, yang kamu kira malam kemenangan, akan jadi awal kehancuranmu," batinnya tenang, dengan sorot mata dingin.
Pagi itu suasana rumah terasa panas bahkan sebelum matahari sepenuhnya naik. Bu Susan sudah mondar-mandir di dapur yang masih kosong, wajahnya masam, tangannya berkacak pinggang.
"Rumah berantakan, makanan nggak ada satupun! Ini istri macam apa sih?" gerutunya sambil melangkah cepat ke kamar Diva.
Dengan keras ia mengetuk pintu.
"Div! Kamu ini gak ngapa-ngapain, masa kamu tidur aja kayak ratu! Buka pintunya!"
Beberapa detik kemudian, pintu terbuka perlahan. Diva berdiri di baliknya, wajah lelah namun sorot matanya tetap tajam.
"Aku capek, Bu," jawabnya singkat.
Bu Susan mendengus.
"Capek apaan? Kerja nggak, uang nggak ngasilin, malah nyusahin anakku terus. Dasar mandul!" ucapnya dengan nada tajam dan penuh sindiran, lalu berbalik hendak pergi.
Namun langkahnya terhenti ketika suara Diva terdengar lagi, kali ini lebih datar namun menyayat.
"Terus saja, Bu. Jelekan aku sepuasnya… karena Ibu sudah punya menantu baru, pilihan hati Ibu sendiri, kan?"
Bu Susan sontak terhenti, memutar tubuh perlahan, wajahnya berubah, kaget bukan main.
"Apa maksudmu, Diva…?" tanyanya waspada.
Namun Diva hanya tersenyum samar.
"Tenang, Bu. Saya cuma capek. Tapi kalau Ibu takut saya tahu semuanya, ya… Ibu harus lebih hati-hati lagi menyembunyikannya."
Lalu Diva menutup pintu perlahan meninggalkan Bu Susan berdiri mematung dengan perasaan tidak tenang.
Bu Susan berdiri mematung beberapa detik, hatinya diliputi amarah dan kecurigaan yang membuncah.
"Pasti ini ulah Arini! Anak itu makin lancang saja sekarang!" desisnya geram.
Dengan langkah cepat, ia kembali ke kamarnya, membuka ponsel dan mulai mencari nomor Arini. Jemarinya gemetar karena emosi yang memuncak.
"Kalau memang benar dia yang kasih tahu Diva, awas saja. Aku akan suruh Arman hentikan uang jajan dan biaya kuliahnya. Biar dia tahu rasa!"
Wajah Bu Susan tampak murka saat panggilan mulai tersambung, nafasnya memburu siap meledakkan amarah pada sang putri yang ia curigai sudah merusak rencana besar yang selama ini ia susun rapi.
Bu Susan berjalan mondar-mandir di kamarnya, wajahnya tegang. Setelah menghubungi Arini dan Arini menjelaskan bahwa bukan dia yang memberi tahu Diva, ia langsung menelpon Arman yang baru saja terbangun di hotel bersama Raya.
"Halo, Man... Diva tahu semuanya!" suara Bu Susan terdengar panik dari seberang.
Arman yang masih setengah sadar langsung terduduk, wajahnya pucat.
"Apa? Diva tahu? Dari siapa, Bu? Arini?"
"Entahlah! Ibu juga awalnya mikir gitu, tapi Arini udah jelasin bukan dia
. Tapi tadi Diva sempat nyeletuk soal 'menantu pilihan'… itu artinya dia tahu kau sudah menikah!"
Arman menelan ludah, dadanya mulai sesak.
"Bagaimana ini, Bu? Kalau dia lapor ke atasan, habislah aku… status PNS ku bisa digantung!"
"Makanya! Ibu juga bingung. Kamu jangan pulang dulu. Ibu akan cari cara, kamu tenangin diri dulu."
Arman mengusap wajahnya yang berkeringat.
"Tenang gimana, Bu? Ini udah mau meledak. Kalau Diva bawa semua bukti ke kantor habis aku."
Mereka berdua terdiam sesaat, menyadari bahwa semua rencana yang selama ini mereka anggap sempurna... mulai runtuh pelan-pelan.
Bu Susan duduk dengan percaya diri di ruang tengah sambil menyeruput teh hangat, wajahnya tersenyum angkuh.
“Mana mungkin Diva punya bukti. Paling cuma sok tahu aja. Lagian dia siapa? Cuma lulusan SMA, kerja juga nggak, mau bayar pengacara pakai apa? Hah! Paling juga jadi pelayan kalau pisah dari Arman.” ucapnya penuh kesombongan.
Sementara itu, di kamar, Diva hanya duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke arah jendela. Namun bukan tatapan lemah itu adalah ketenangan yang muncul dari keputusan besar yang telah ia ambil.
“Mulai sekarang, aku tidak akan mengurus rumah ini lagi. Bukan tugasku untuk membersihkan luka yang mereka buat,” batinnya sambil meletakkan handphone yang barusan ia gunakan untuk memastikan kembali semua bukti telah terkirim dengan aman.
Ia bangkit, berjalan ke arah lemari, menarik koper kecil dari bawah tempat tidur. Hatinya mantap. Diva bukan lagi wanita yang sama tujuh tahun lalu ia sudah lebih dari sekadar 'lulusan SMA'.
"Mereka pikir aku diam karena takut dan bodoh. Tapi mereka akan tahu, betapa tajamnya diamku."