Ketika takdir merenggut cintanya, Kania kembali diuji dengan kenyataa kalau dia harus menikah dengan pria yang tidak dikenal. Mampukah Kania menjalani pernikahan dengan Suami Pengganti, di mana dia hanya dijadikan sebagai penyelamat nama baik keluarga suaminya.
Kebahagiaan yang dia harapkan akan diraih seiring waktu, ternoda dengan kenyataan dan masa lalu orangtuanya serta keluarga Hadi Putra.
===
Kunjungi IG author : dtyas_dtyas
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perubahan Elvan
“Alexa,” ujar Elvan ketika wanita itu membuka pintu apartemennya.
“Kejutan,” ujar Alexa lalu menarik tangan Elvan. “Kamu kalau nggak diancam susah untuk datang. telepon aku juga sering diabaikan.” Alexa berkata sambil meletakkan kedua tangannya di dada Elvan.
Elvan meraih tangan Alexa. “Alexa, hubungan kita sudah berakhir. Bahkan keluarga sudah sepakat akan hal ini. Aku sudah menikah dan ….”
“Kamu tidak mencintai wanita itu.” Alexa memotong kalimat Elvan.
Elvan menghela nafasnya, memang benar tidak tidak mencintai Kania atau mungkin belum. Dia pun meyakini kalau saat ini masih menyimpan perasaan dengan wanita dihadapannya. Namun, kejadian semalam membuatnya berpikir untuk mencoba menerima Kania. Dirinya bukan pria brengsek yang mengabaikan wanita setelah memberikan harta berharga miliknya.
“Maaf Alexa, semua sudah berakhir. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi kedepannya, yang jelas saat ini kita sudah berakhir. Aku akui perasaan kita masih ada tapi aku tidak mungkin mengabaikan Kania.”
Elvan meninggalkan Alexa.
“Elvan, jangan pergi,” teriak Alexa.
...***...
Hari sudah malam saat Elvan tiba di rumah dan berada di kamarnya. Setelah menemui Alexa, dia lanjut ke perusahaan Ayahnya untuk menjalankan perannya.
Elvan melihat Kania yang terbaring di ranjang, membiarkan wanita itu di sana. Sebelumnya Elvan tidak pernah berbagi ranjang dengan Kania tapi kali ini pria itu melunak. Setelah membersihkan diri dan berganti piyama, dia ikut berbaring tepat di samping Kania.
Saat hendak mengganti lampu kamar dengan lampu tidur, Kania mengeerang membuat Elvan menoleh.
“Kania, kamu belum tidur?” Wanita itu bergeming, Elvan mengernyitkan dahi menatap wajah Kania dengan titik-titik keringat di dahi.
Pria itu mengusap dahi Kania dan ….
“Panas, ini sepertinya demam.”
Elvan pun beranjak duduk dan menyibak selimut yang dikenakan Kania, wanita itu menggigil. Jelas kalau tubuhnya sedang mengalami demam. Elvan teringat kalau semalam sempat merendam Kania di bathtub lalu penyatuan diri yang mereka lakukan semalam. Entah Kania sudah mengisi perutnya atau belum, bahkan tadi pagi dia tidak menyaksikan langsung Kania menghabiskan sarapan.
“Kania, kamu dengar aku?”
Kania hanya melenguuh. Elvan beranjak dari kamarnya, menuju dapur. Meminta pelayan untuk mengantarkan makanan dan obat demam tidak lupa dengan perlengkapan untuk mengkompres.
Elvan memaksa Kania untuk duduk dan menyuapi wanita itu, hanya sanggup beberapa suap. Lalu menyodorkan obat.
“Minumlah,” titah Elvan.
Kania sudah kembali berbaring dan memejamkan mata. Elvan meletakan kain kompres pada kening Kania, berharap demamnya segera turun. Sempat merasa bersalah karena idenya semalam untuk membasahi tubuh Kania berharap hal itu bisa menetralisir pengaruh obat yang ada pada tubuh istrinya.
Hari sudah berganti. Kania mengerjap pelan, terjaga dari tidurnya. Masih merasakan sedikit pening walaupun tidak seberat semalam, bahkan sudah tidak merasakan menggigil. Merasakan kain lembab di keningnya.
“Kompres, tapi siapa ….” Kania menoleh ke samping dan menemukan Elvan tertidur dengan posisi duduk sambil bersandar pada headboard tepat di sampingnya.
Kania pun beranjak duduk.
“Apa dia yang sudah menjaga dan merawatku? Elvan,” panggil Kania.
Elvan bergeming dan masih terlelap.
“Elvan,” panggil Kania lagi sambil mengguncang pelang tangan pria itu. Elvan terjaga dan langsung menatap Kania.
“Kamu sudah bangun? Sudah enakan?” cecar Elvan sambil menyentuh kening istrinya. “Ah, sudah reda.”
“Sebaiknya kamu istirahat, aku akan minta pelayan antarkan sarapan ke sini.”
Elvan beranjak dari ranjang lalu menuju toilet.
“Aneh, kenapa tiba-tiba dia baik.”
Kania masih menatap aneh pada Elvan, saat pria itu sudah keluar dari walk in closet dengan setelan kerjanya.
“Kenapa?” tanya Elvan karena Kania masih dalam posisinya dan tidak mengalihkan pandangan.
“Apa semalam kamu yang merawatku?”
“Menurutmu bagaimana, apa ada orang lain lagi di sini?”
Kania menggeleng pelan.
“Ada yang kamu butuhkan? Aku akan sampaikan pada pelayan atau aku minta Pak Lim ke mari,” seru Elvan. Pria itu sudah sampai pintu saat Kania memanggilnya lalu menoleh.
“Terima kasih, karena sudah merawatku,” ujar Kania.
Elvan hendak menjawab sudah menjadi kewajibanku, tapi urung karena dia tidak bisa berbasa basi ataupun mencoba bersikap baik. Masih ada kecanggungan antara dia dan Kania.
“Hm,” sahut Elvan. kemudian menghilang di balik pintu.
Tidak lama kemudian masuklah pelayan wanita yang menanyakan kebutuhan Kania, bahkan mengantarkan sarapan.
“Kania sakit?” tanya Nella saat Elvan meminta pelayan untuk mengantarkan sarapan ke kamar.
“Hm.”
“Kok bisa sakit? Ayo kak Elvan ngapain aja sampai Kak Nia sakit,” goda Bintang.
Elvan sampai terbatuk mendengar pertanyaan adiknya.
“Pelan-pelan Elvan dan kamu juga, kita sedang makan. Jangan bicara yang aneh-aneh,” tegur Nella.
“Biarkan Mami yang mengawasi Kania, kamu tetap urus perusahaan,” titah Yuda pada Elvan.
“Aku ke kampus ya Pah,” ujar Bintang.
“Tidak perlu, kepindahanmu sudah ada yang mengurus, kamu tinggal masuk kuliah saja.”
Bintang menghela nafasnya, kadang menjadi putri Yuda Hadi Putra dia senang ada kalanya dia tidak menyukainya. Keistimewaan atau fasilitas yang dia rasakan terkadang berlebihan atau bahkan mengekang dan membatasi aktivitasnya.