Jia dan Liel tidak pernah menyangka, bahwa dimulai dari sekotak rokok, pertemuan konyol di masa SMA akan menarik mereka ke dalam kisah penuh rahasia, luka, dan perjuangan.
Kisah yang seharusnya manis, justru menemukan kenyataan pahit. Cinta mereka yang penuh rintangan, rahasia keluarga, dan tekanan dari orang berpengaruh, membuat mereka kehilangan harapan.
Mampukah Jia dan Liel bertahan pada badai yang tidak pernah mereka minta? Atau justru cinta mereka harus tumbang, sebelum sempat benar-benar tumbuh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Avalee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Girl in The Minimarket
Jia menatap lurus mobil Liel yang akan segera menghilang dari pandangannya. Kemudian dia menoleh ke arah pintu rumah, mencoba masuk dengan langkah yang berat.
Dahinya mengkerut, memikirkan banyak hal, salah satunya tentang Sanna, yang tiba-tiba saja pindah sekolah. Dia merasa bahwa dunianya terlihat kacau.
Dia meletakkan sepatu, kemudian menyusuri ruang tamu, dan di sana lah dia bertemu ibunya dengan wajah kesal.
Ibunya tampak seperti singa buas yang kapan saja siap untuk menerkam Jia. Dia Ingin saja berlari, namun dia tidak punya pilihan selain menghadapinya.
“Jia, kemari!” bentak ibunya seraya menunjuk sofa, menyuruhnya untuk duduk.
Jia meletakkan tas dan barang bawaannya di lantai. “Ada apa lagi bu, bukan kah semua sudah jelas.” seru Jia dengan tanpa rasa takut.
“Mengapa kamu berkata seperti itu di depan teman-temanmu, ibu tidak pernah mengajarimu berlaku kurang ajar!!”
Jia mengangkat alis kirinya. “Kenapa? Memang benar kan ibu seperti itu, berniat untuk menjenguk saja tidak … padahal anak kandungmu ini sedang–“
“Sejak kapan kamu jadi anak manja? Mengapa mempermasalahkan hal remeh seperti ini!! Selama ini kamu kan selalu memahami kesibukan ibu. Semua yang ibu lakukan ini untuk memenuhi kebutuhanmu, lantas mengapa sekarang kamu menuntut perhatian dari ibu?” potong ibunya.
Jia mengepalkan kedua tangannya. Dia tidak mampu berkata-kata. Perkataan ibunya terlanjur melukai hatinya.
“ Haaa … tanpa perlu aku menuntut, seharusnya ibu memperhatikanku. Apakah wajar seorang anak yang sedang sakit, namun yang merawat bukan ibunya, melainkan teman-temannya?”
Bibirnya terkatup kencang, menahan rasa sakit sekaligus marah saat harus melontarkan kata-kata seperti itu untuk ibunya.
Bergegas Jia menuju kamar, meninggalkan ibunya yang mulai berteriak memanggil namanya, namun tidak dia hiraukan.
Dia menutup pintu kamar dengan kencang, bersamaan dengan rasa sedih yang datang tanpa aba-aba, menggerogoti hatinya. Perasaan yang paling Jia ingin hindari, namun dia tidak mampu menghalaunya.
“Ibu … kita berbincang kembali melalui perseteruan. Entah apa aku harus merasa bahagia atau sedih?” desah Jia pelan seraya menahan air mata.
Kemudian dia menghempaskan tubuhnya ke atas kasur, lalu memejamkan mata, mencoba menenangkan diri dari rasa kesal yang memuncak. Kepalanya mulai terasa sakit, mengingat banyak hal yang terjadi hari ini. Rasa kantuk menderanya hingga tertidur.
...****************...
Jia terbangun, setelah tidur selama beberapa jam. Kamar tidurnya yang luas dan tertata rapi terasa hampa, sepi rasanya.
Masih ada jejak kemarahn dari sisa pertengkaran dengan ibunya dan kabar peindahan Sanna, yang mengguncang batinnya.
Kepalanya masih sedikit berat, namun rasa lapar mencengkram perutnya. Dia baru ingat, bahwa sedari tadi, dia belum makan apapun.
Jia melangkah dengan rasa malas. Dia mengenakan hoodie lusuh berwarna abu-abu dan celana pendek. Rambutnya terlihat acak-acakan, sehingga dia harus memakai topi.
Bahkan dia biarkan wajahnya tanpa mekap, dan sandal rumah tetap melekat di kakinya. Dia hanya ingin sesuatu yang cepat dan sederhana.
—
Mini market kecil di ujung jalan adalah tujuannya. Jia memilih dua nasi kepal isi ayam, sebotol air mineral, dan sekantong keripik rumput laut.
Dia duduk di bangku kecil luar toko, mencoba menikmati makanannya sambil menatap langit sore.
Sesekali dia melihat kendaraan yang berlalu lalang di hadapannya, sambil meneguk air dari botol minuman. Tidak berselang lama, seorang laki-laki mendatanginya.
Liel, yang tiba-tiba saja muncul di hadapannya itu membuatnya terkejut. Matanya melebar, sehingga tersedak air minum pun tidak terhindari. Jia terbatuk-batuk sampai harus mengeluarkan air mata.
“Sial, mengapa dia muncul disaat penampilanku buruk rupa seperti ini!!” ucap Jia dalam hati sembari menahan rasa malu.
Liel yang terkejut segera menepuk punggungnya. “Hei, pelan-pelan, jangan mati dulu, belum waktunya.”
Jia diam, tidak membalas perkataan Liel.
“Hei, kamu baik-baik saja?” katanya lagi.
“Apa aku terlihat seperti itu?” balas Jia sembari mengatur napas.
“Tidak,” lanjut Liel.
Dahi Jia mengkerut dan menyipitkan matanya dengan curiga. “Bukankah kamu sudah pulang sejak tadi?”
Liel menoleh ke arahnya, lagi. Kemudian dengan cepat duduk di samping Jia, tanpa permisi. “Aku memiliki beberapa urusan di sekitar sini, lalu aku melihat wanita dengan hoodie robek sambil makan nasi kepal, dia terlihat familiar.”
Jia mencibir, tapi senyumnya mulai terbentuk pelan-pelan. “Ah.. begitu rupanya … HEII!! Kamu mengejekku??” bentak Jia kesal sambil meninju lengan Liel.
Mereka terdiam untuk sesaat. Keduanya saling mengamati situasi yang terjadi. Jia yang tidak tahu harus berbuat apa dengan penampilan terburuknya saat di hadapan Liel.
Sedangkan Liel yang kebingungan, saat Jia yang dia tahu seharusnya berada di rumah untuk beristirahat, kini tengah berada diluar, sendirian.
“Kamu … mengapa berada disini?? Mari, aku antarkan pulang, kita tidak tahu kapan ibumu akan mencarimu.”
“Dia tidak akan mencariku setelah kami bertengkar hebat. Kamu pulanglah, aku masih ingin disini.” balas Jia sendu seraya tersenyum kecut.
Liel terdiam untuk beberapa saat, lalu menatapnya lekat tanpa berkedip. “Mau ikut denganku sebentar?”
,, suka deh puny sahabat macam Nata