Dalam bayang-bayang dendam, kebenaran menanti untuk diungkap.
Acalopsia—negeri para elf yang dulu damai—kini gemetar di ambang kehancuran. Serangan kaum orc tak hanya membakar ladang, tapi juga merobek sejarah, menghapus jejak-jejak darah kerajaan yang sah.
Revalant, satu-satunya keturunan Raja R’hu yang selamat dari pembantaian, tumbuh dalam penyamaran sebagai Sion—penjaga sunyi di perkebunan anggur Tallava. Ia menyembunyikan identitasnya, menunggu waktu, menahan dendam.
Hingga suatu hari, ia bertemu Pangeran Nieville—simbol harapan baru bagi Acalopsia. Melihat mahkota yang seharusnya menjadi miliknya, bara dendam Revalant menyala. Untuk merebut kembali tahta dan membuktikan kebenaran masa lalu, ia membutuhkan lebih dari sekadar nama. Ia membutuhkan kekuatan.
Dilatih oleh Krov, mantan prajurit istana, dan didorong tekad yang membara, Revalant menempuh jalan sunyi di bawah air terjun Lyinn—dan membangunkan Apalla, naga bersayap yang lama tertidur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3: Seorang Mestiz
Di balik rerimbunan pohon dan semak liar, mengalir lah sungai Murravia di kaki bukit selatan perkebunan Tallava. Sungai itu tak hanya menjadi sumber air bagi ladang anggur, tetapi juga menjadi tempat para pekerja membersihkan tubuh setelah seharian dilumuri debu dan peluh.
Hari itu, angin berembus lembut dari utara, membawa aroma kemangi liar dan tetesan embun terakhir dari dedaunan. Cahaya bulan mengintip di sela ranting pohon seperti tirai keemasan yang menggantung di udara. Di area telaga yang cukup dalam, memancar cahaya dari dalam air.
Sion.
Tubuhnya meluncur di bawah permukaan air, ototnya lentur, gerakannya anggun. Di bawah air, ia merasa bebas—tak terikat oleh nama, kasta, sejarah, atau kebohongan yang membalut hidupnya. Air sungai baginya seperti pelukan ibu: dingin, jujur, dan menyamarkan segalanya. Suara dunia di atas tak mampu menembus kedalaman itu. Hanya denting sunyi dan gelembung napasnya yang melayang seperti mimpi.
Kesunyian tiba-tiba terusik ketika ia melihat bayangan—tak biasa, tak bergerak. Rambut merah terbuka lepas, terurai seperti aliran darah dalam air. Tubuh seorang wanita perlahan tenggelam, lengan terentang, wajah mendongak ke atas, mata terpejam seolah sedang tertidur dalam mimpi panjang yang tak pernah dimaksudkan untuk bangun.
Sion terkejut.
Tanpa pikir panjang, ia menendang dasar sungai dan berenang ke arah tubuh itu. Tangannya yang kuat menggenggam bahu sang wanita, menariknya ke atas air dengan cepat. Mereka menembus permukaan hingga menimbulkan gelombang besar di atas air.
Sion menyibakkan rambut dari wajah wanita itu dan mendapati kulit pucatnya telah membiru, bibirnya gemetar di antara sadar dan tidak.
Perlahan Sion mengangkat tubuh itu ke atas batu besar. Nafasnya terengah, jantungnya berdetak liar. Ia menekan perlahan dada wanita itu, memaksa air keluar dari paru-parunya.
Beberapa detik berlalu.
Lalu batuk.
Disusul suara serak yang tidak ia duga.
Sion panik, bergegas ia mengambil botol ramuannya dan mengoleskan ramuan ke seluruh badannya. Ia kembali memasangkan rambut palsu menutupi rambut aslinya. Cahaya elf yang terpancar darinya kembali redup tersembunyi.
“Kenapa… kau menyelamatkanku?” Suaranya pelan tapi tajam seperti duri mawar. Mata yang baru saja terbuka menatap Sion dengan kemarahan yang membuat air sungai pun tampak bergolak.
Sion terdiam sejenak, menatap tajam wanita di depannya. “Kenapa? Memangnya kamu ingin mati?” Tanyanya heran.
Kalau saja bukan untuk alasan kemanusiaan, ia juga tidak mau berurusan dengan elf lain apalagi saat penyamarannya terbuka. Hampir saja ia membuka penyamarannya hanya untuk menolong wanita yang tidak tahu terima kasih itu.
Wanita itu mendorong tubuh Sion menjauh. “Ya, aku memang ingin mati. Itu tujuanku. Dan kau baru saja menggagalkannya,” katanya dengan nada kesal.
Sion bangkit, merapikan rambutnya yang basah, rahangnya mengeras. “Mati dengan cara bunuh diri? Apa semua Kaum Mestiz memang sebodoh dirimu?”
Wanita itu membulatkan mata menatap tajam dengan raut kesal atas kata-kata yang Sion ucapkan.
“Elf yang mati karena bunuh diri tak akan menemui kedamaian. Mereka akan tetap hidup kekal abadi sebagai Orc sampai ujung pedang elf membinasakannya. Atau kau memang ingin hidup kekal abadi sebegai Orc?”
Wanita itu mengernyitkan dahi. “Itu hanya dongeng untuk menakuti anak-anak,” ujarnya.
“Tidak.” Nada Sion kini lebih rendah. “Itu kutukan. Sama seperti warna rambutmu itu,” sindirnya.
Wanita itu memandang ke air. Tubuhnya gemetar, entah karena dingin atau karena kata-kata itu menusuk relung hatinya yang rapuh.
“Siapa namamu?” Tanya Sion.
Wanita itu tak langsung menjawab. Ia memeluk lututnya, menatap lurus ke sungai.
“Sissel,” jawabnya lirih.
Sion menoleh.
Wanita itu melanjutkan ucapannya dengan nada getir. “Semua yang ada dalam diriku tak lebih dari sebuah kutukan. Kenapa mati pun sulit untuk dilakukan? Adakah elf yang bisa memilih untuk tidak dilahirkan sebagai Mestiz? Apa salahku sampai semua orang membenci dan mengutukku?”
Sion memperhatikan rambut merahnya yang basah dan menempel di wajah wanita itu. Warna yang dianggap noda oleh negeri ini, meski sebenarnya warna itu tampak seperti api yang terus melawan salju.
“Ayahku... Krov. Dulu dia adalah salah seorang prajurit di istana. Nasibnya juga sama mirisnya denganku, terus dihina, diusir dari istana, hanya karena dicintai seorang putri raja.” Matanya menatap kosong. “Putri raja itu bernama Meida.”
Sion seketika membeku.
Meida.
Nama itu seperti guruh yang tiba-tiba menggema di dadanya. Meida adalah adik perempuan ayahnya. Putri Raja Lowin yang memilih meninggalkan istana demi cinta. Demi hidup bersama prajurit biasa. Demi sebuah kehidupan yang bebas dan bahagia.
Sion menatap Sissel. Jadi, gadis yang duduk di hadapannya—yang barusan mencoba mengakhiri hidupnya—adalah sepupunya.
Ia tidak menunjukkan keterkejutannya. Belum saatnya. Mata Sissel terlalu merah oleh luka untuk memahami kenyataan yang lebih dalam dari itu.
Sion bertanya pelan, “Apa yang membuatmu sangat ingin mati?”
Sissel menghela napas. “Setiap hari aku bekerja di ladang, di dapur, di gudang. Selalu ada hinaan, tatapan jijik, juga tangan-tangan yang mencoba menyentuhku dengan alasan yang hina. Mereka bilang, aku iblis berambut darah. Aku lahir dari dosa. Kutukan akan menimpa siapa pun yang dekat denganku.”
Ia menatap Sion, air mata akhirnya mengalir. “Aku lelah. Aku terlalu lelah.”
Sion menatapnya dalam-dalam. Dalam dirinya, amarah tumbuh seperti bara yang dipadamkan paksa. Ia tahu rasa itu. Rasa ditolak, rasa dianggap salah hanya karena siapa dirimu, bukan karena apa yang kau lakukan. Ia hidup dengan perasaan itu setiap hari.
“Bukan hanya kau yang merasakannya,” ucap Sion perlahan.
Sissel menatapnya sembari mengusap air mata. “Apa maksudmu?”
Sion tersenyum samar. “Aku sama sepertimu. Aku tahu rasanya hidup sebagai kalangan bawah, direndahkan, dan setiap hari ingin menyerah. Mereka terlihat bahagia ketika melihat yang mereka hina menderita. Jika kita menyerah sekarang, berarti mereka menang.”
“Tapi kau bukan mestiz,” timpal Sissel.
Sion kembali tersenyum. Andai saja wanita di sampingnya tahu, siapa sejati dirinya, mungkin wanita itu akan berbalik kasihan padanya. Masih lebih beruntung Kaum Mestiz bisa hidup bebas, sementara dirinya harus terus bersembunyi dari cahaya agar bisa hidup.
“Kau pikir elf biasa juga punya banyak pilihan?” Tanyanya.
“Kami hanya bisa bekerja seperti budak sepanjang waktu demi bertahan hidup. Lalu kami akan mati begitu 100 tahun terlewati. Sirna tanpa tersisa dan tidak akan ada yang mengenangnya.”
Sissel kembali mengusap matanya. Lama mereka diam. Hanya angin sungai dan nyanyian burung liar yang berbicara. Perasaannya menjadi lebih tenang merenungi ucapan lelaki itu.
Memang kehidupan elf biasa juga memilukan. Mereka tidak bisa panjang umur seperti para kaum bangsawan dan keluarga kerajaan. Dengan meminum sumber mata air mata suci sungai Zahuire Nemuire mereka bisa kekal abadi asalkan tidak dibunuh atau menginginkan sirna sendiri.
“Aku tidak tahu siapa dirimu,” bisik Sissel. “Tapi... Terima kasih.”
Sion bangkit dan mengulurkan tangan. “Kau bisa berdiri?”
Sissel memandang tangan itu, lalu meraihnya. Tubuhnya masih lemah, tapi langkahnya lebih tegak.
“Aku akan mengantarmu kembali ke pondokkan. Kau terlalu jauh pergi dari kelompokmu,” kata Sion.
Sissel tersenyum getir. “Sebenarnya lebih nyaman sendirian dibandingkan bersama yang lain. Kau sendiri kenapa menyendiri di sini?”
“Seperti yang kamu bilang, memang lebih nyaman sendirian. Itu alasanku ada di sini.”
Sissel tertawa kecil mendengar jawabannya. “Ah, ya … siapa namamu? Dari banyaknya pekerja, baru kali ini aku bertemu denganmu.”
“Sion.”