Warning 21+!! mengandung banyak adegan dewasa dan kekerasan.
Deva Ghazanvar, seorang pria dewasa berusia 30 tahun. Seorang Mafia berdarah dingin, harus membalaskan dendam pada keluarga Darian Emery. Hingga pembantaian pun terjadi, dan hanya menyisakan Putri semata wayang dari keluarga Emery, Davina Emery.
Demi pembalasan dan kepuasannya sendiri, Deva menikahi Davina, membuat wanita itu mati secara perlahan di tangannya.
Bagaimanakah cara Deva, menekan istrinya secara perlahan menuju jurang kematian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arandiah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sindrom Couvade
Selamat membaca ...
...****************...
Deva merasa kepalanya sangat berat dan berdenyut. Keringat dingin bercucuran, membasahi keningnya, tapi matanya masih enggan untuk terbuka, bahkan pikirannya sangat kacau saat mengingat kembali kematian adiknya, ditambah rasa khawatirnya pada calon bayi yang ada di dalam kandungan Davina.
“Jangan, Vin. Jangan bunuh dia,” gumam Deva dengan mata yang masih terpejam. Davina yang mendengar hal itu langsung menoleh ke arah suaminya dengan tatapan herannya.
“Deva, bangun! Dev. Hei! Ayo cepat sadar,” ucap Davina dengan keras sambil menepuk pipi Deva dengan pelan. Namun, karena rasa kesalnya pada Deva, membuat Davina ingin mencoba hal baru.
Plakk! Plakk!
Ahss!
Davina menampar kedua pipi Deva dengan keras, hingga pria itu meringis kesakitan dan tersadar dari pingsannya.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Deva sambil menatap Davina dengan tatapan penuh khawatir.
“Seharusnya aku yang bertanya padamu, sebenarnya apa yang terjadi padamu?” tanya Davina tanpa menggubris pertanyaan dari pria yang terbaring di sampingnya.
“Vina, jangan sakiti anakku,” ucap Deva dengan penuh kekhawatiran, membuat Davina menganga tak percaya.
“Deva, anak mu masih selamat. Apa yang terjadi?” tanya Davina berulang kali, tapi pria itu masih terlihat frustasi.
“Erika pergi, adikku meninggalkan aku sendiri. aku tidak punya siapapun lagi,” ucap Deva dengan tatapan berkaca-kaca. Namun, Davina yang melihat hal itu ikut merasakan sakit, karena Deva juga, ia tidak mempunyai siapapun lagi di dunia ini.
Davina yang tahu jika Deva hanya berhalusinasi dalam rasa ketakutannya, karena tatapan mata Deva yang sangat berbeda, seperti tidak ada kehidupan di dalamnya, langsung menekan tombol yang ada di atas nakas di samping tempat tidurnya, untuk memanggil Aliya.
Tak butuh waktu lama lagi, akhirnya Aliya datang dengan terburu-buru, hingga wanita itu terkejut saat melihat Deva yang juga ikut tidur di samping Davina. Aliya ingin menutup kembali pintu tersebut, tapi Davina langsung mencegahnya.
“Aliya, cepat panggil dokter Emma, suamiku sepertinya demam,” ucap Davina bernada perintah. Tanpa menunggu lama lagi, Aliya langsung mengambil benda pipih miliknya dan langsung menghubungi dokter Emma.
“Nona, saya sudah menghubungi dokter Emma. Saya akan bantu tuan Deva untuk melepaskan sepatunya,” ucap Aliya yang melihat Deva masih mengenakan sepatunya, dengan cepat Aliya melepas sepatu tersebut.
“Aliya, tolong bantu Deva agar berbaring dengan benar. Apa dokter Emma sudah dikabari?” tanya Davina penasaran.
“Sudah nona,” jawab Aliya ramah.
“Selamat sore,” sapa seorang wanita yang baru saja muncul dari balik pintu, yang tak lain adalah dokter Emma.
“Dokter, silakan masuk. Kalau begitu saya permisi,” ucap Aliya mempersilakan dokter Emma agar masuk dan langsung melangkahkan kakinya keluar dari kamar tersebut.
“Apa yang sudah terjadi dengan Deva?” tanya dokter Emma khawatir, sambil menatap Davina dengan penuh selidik, tapi Davina hanya acuh tak acuh, bahkan wanita itu tampak masa bodo, dengan pertanyaan dan kekhawatiran dokter Emma.
“Entahlah, mungkin demam,” jawab Davina yang langsung membenarkan selimutnya hingga menutupi lehernya, membuat dokter Emma kesal setengah mati.
“Bagaimana mungkin kau bisa sampai tidak mengetahui penyakit suami mu sendiri. Apa karena Deva tidur bersama mu dan tertular demam,” ucap dokter Emma dengan segala opininya.
“Sebaiknya dokter periksa saja pria ini, dan kerjakan tugas mu dengan baik, bukan malah menuduh aku yang sudah jelas istrinya,” ucap Davina tak terima. Mendengar hal itu, dokter Emma akhirnya memeriksa kondisi Deva.
“Awhh!” ringis Deva yang akhirnya tersadar total.
“Deva, apa kau baik-baik saja?” tanya dokter Emma dengan penuh rasa khawatir, tapi Davina yang jelas di samping suaminya hanya diam tak peduli.
“Hmm, kepalaku terasa sangat pusing, perutku juga tidak nyaman. Sepertinya aku terkena penyakit lamaku (depresi ringan),” ucap Deva sambil terus memegangi kepalanya yang masih terasa berdenyut.
“Aku akan memberikan resep obat untuk pusing dan mual. Kau terkena kehamilan simpatik, atau disebut juga sindrom Couvade,” ucap dokter Emma ramah, membuat Deva dan Davina mengernyitkan dahinya.
“Apa itu? Apakah bahaya dan apa saja gejalanya?” tanya Deva khawatir jika itu penyakit berbahaya.
“Penyakit sama halnya dengan istri yang sedang mengandung. Gejala fisiknya juga bermacam-macam, seperti mual hingga muntah, sakit perut atau kram, perut kembung atau nyeri ulu hati, perubahan napsu makan, sakit punggung, gangguan pernapasan, dan iritasi pada saluran kencing,” jawab dokter Emma panjang lebar, membuat Deva menganga tak percaya.
“Apa ada lagi?” tanya Deva penasaran.
“Ada, yaitu gejala psikologisnya juga ada beberapa macam. Seperti perubahan suasana hati, gangguan pola tidur, kecemasan, turunnya keinginan bercocok tanam, dan depresi. Kau tidak perlu khawatir, itu bukan penyakit maupun kelainan mental,” ucap dokter Emma lembut.
“Hmm, baiklah. Aku mengerti,” ucap Deva akhirnya bernapas lega.
“Deva, sebaiknya kau pindah saja ke kamar mu, bisa saja kau tertular demam dari Davina,” saran dokter Emma khawatir, yang mana hal itu membuat Davina membulatkan matanya sempurna saat mendengar ucapan dokter Emma.
“Kau tidak berhak mengatur di mana suami ku tidur, mau tidur di manapun dia, kau sama sekali tidak berhak,” ucap Davina kesal. Biar saja Deva sakit, begitu pikir Davina.
“Dia sedang sakit, tapi kau malah tidak terima saat aku menyarankan hal yang baik. Deva tidak akan mau bermalam dengan mu,” ucap dokter Emma tak kalah kesal.
“Cukup Emm, aku tidak ingin pindah ke manapun, aku ingin tidur di sini bersama calon anakku. Sebaiknya kau cepat pulang sebelum malam hari,” ucap Deva menengahi, membuat Davina dan dokter Emma menganga tak percaya.
“De-deva, apa yang terjadi dengan mu,” gumam dokter Emma tak percaya. Namun, Deva malah memejamkan matanya merasa lelah.
...****************...
Terima kasih.
terima kasih thor ceritanya sangat bagus dan gak bertele2,,sangat menghibur walau aku harus ikut menangis 😭😭😭