Arsa menjalani hidup yang sangat sulit dan juga aneh. Dimana semua ibu akan bangga dengan pencapaian putranya, namun tidak dengan ibunya. Alisa seperti orang ketakutan saat mengetahui kecerdasan putranya. Konfilk pun terjadi saat Arsa bertemu dengan Xavier, dari situlah Arsa mulai mengerti kenapa ibunya sangat takut. Perlahan kebernaran pun mulai terkuat, dimulai dari kasus terbunuhnya Ayah Arsa, sampai skandal perusahaan besar lainnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Humble, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pelatihan
“Dia sudah gila, sejak wanita itu melebarkan kedua kaki untuknya.” Balas Bryan.
Haris berbalik dan menatap pada temanya itu. “Bryan.. untuk bagian itu, aku rasa kau memang cembur padanya.” Katanya menuduh.
“Tentu saja tidak! Apa kau tidak?” Balas Bryan.
“Sial! Memikirkan Fitri tanpa pakaian saja, membuatku gila!” Gumam Haris.
***
Beberapa jam berikutnya, saat hari menjelang siang. Arsa baru saja keluar dari kantor yang mengurus bagian administrasi di gedung lembaga yang memberikan pelatihan, untuk sebuah sertifikat agar seseorang memiliki lisensi menjadi seorang broker profesional.
“Junior, kamu tidak perlu mengikuti hal-hal seperti itu. Kirimkan saja kartu indentitas milikmu, aku akan meminta seseorang untuk mengurusnya untukmu.”
Sambil berjalan menelusuri koridor gedung, Arsa berbicara dengan Adam Xavier lewat ponselnya.
“Terimakasih tuan Adam. Tapi, itu tidak perlu. Akuningin mengikuti semua prosedur yang ada.” Tolak Arsa, halus.
“Hais… itu hanya akan membuang-buang waktumu! Lalu, bagaimana masalah biayanya? Apa kau memilikinya? Berikan aku rek—“
“Tidak perlu tuan Adam, aku memilikinya. Aku akan mengunjungimu nanti.” Tolak Arsa dengan tegas.
Bukan tanpa alasan Arsa menolak bantuan Adam, karena sejak awal dia ingin melakukan apapun tujuannya, dengan usahanya sendiri.
Adam Xavier tidak langsung menanggapi, namun beberapa saat kemudain, pria tua diseberang telepon itu kembali bersuara sedikit ketus. “Hal inilah dari diri Pratama yang aku tidak suka. Kenapa kalian begitu keberatan untuk menerima bantuan orang lain?”
Mendengar itu, Arsa tersenyum. Meski tau Adam tidak bisa melihatnya.
“Tentu saja aku akan membutuhkan bantuanmu di masa depan, saat ini. Aku harap kau tidak berubah pikiran.” Ucap Arsa.
“Anak muda. Jangan tunggu aku mati, sebelum kau memerlukan bantuanku.”
“Kau tidak akan mati secepat itu… karena di masa depan, masih ada yang harus kau lihat sebelum itu terjadi. Tuan Adam.” Timpal Arsa dengan cepat.
Keduanya saling berdebat tentang masalah bantuan, sebelum akhirnya panggilan itu berakhir begitu saja, karena saat berbicara seseorang baru saja mengejutkan Arsa.
“Sudah aku duga, ini memang dirimu?” Ucap seorang gadis yang tadi berjalan di depannya, tiba-tiba saja berhenti dan berbalik padanya.
Kening Arsa berkerut saat menatap gadis itu. Dia seperti mengenalnya namun tidak begitu yakin aka tebakannya.
“Arsa! Kenapa kamu mengikutiku sampai ke sini?” Kata gadis itu lagi, yang membuat Arsa sedikit kebingungan.
“Mengikuti….mu?” Tanyanya, lebih terdengar seperti bergumama.
“Ya! Tentu saja! Jangan berpikir setelah wanita itu mencampakkanmu, kau bisa datang padaku begitu saja!” Balas wanita itu dengan ekspresi kesal.
Dari apa yang dikatakanya, jelas keduanya saling mengenal. Tapi saat ini Arsa sama sekali tidak bisa mengingat siapa gadis di depannya ini.
“Gina, siapa pemuda tampan ini?” Tanya seorang gadis lain saat ini berada di depan sana, memutuskan untuk ikut berbalik dan kini berada di sebelanya.
Gadis yang bernama Gina itu menggelengkan kepalanya sambil tersenyum meremehkan.
“Irish, dia pemuda yang pernah ku ceritakan padamu. Apa kamu masih ingat?” Balas Gina, sambil terus menatap Arsa dari ujung kaki hingga ke ujung kepalanya.
Saat nama Gina disebut, barulah Arsa mengingat siapa gadis ini. Hal itu membuatnya melebarkan mata, tak percaya jika wanita ini adalah Gina.
“Jadi, pemuda ini yang menolakmu?” Tanya Irish dengan nada terkejut.
“Sial! Saat itu aku masih terlalu polos. Aku hanya memikirkan wajahnya… hmmm.. ah tidak.. tapi itu dulu, sekarang sudah berbeda.” Sanggah Gina sambil menggerakkan tangannya.
Keduanya bertemu saat masih sama-sama menjadi mahasiswa baru. Saat itu, Gina begitu menyukai Arsa. Namun, entah bagaimana pemuda itu tidak tertarik pada dirinya.
“Arsa, dengar!…aku sudah tahu apa yang terjadi antara dirimu dan Fitri. Aku rasa aku mengerti. Tidak mungkin wanita seperti dirinya mau menjadi kekasihmu, tanpa alasan. Sekarang, aku juga berpikir sama. Jadi, buang apa saja yang kau pikirkan dan berhenti mengikutiku.” Hardi Gina dengan mata melotot.
“Gina ak—-“
Arsa tidak sempat menyelesaikan kata-katanya, karena saat itu Gina kembali berkata.
“Apa kau mau bilang bahwa kau juga mengambil kelas disini? Apa kau pikir aku percaya? Apa kau tau berapa biaya masuknya saja?” Cecar Gina, yang membuat Arsa sedikit memundurkan kepalanya.
“Ya! Itulah yang ingin aku katakan. Aku memang mengambil kelas disini, dan tentu saja aku tahu berapa biaya masuknya. Aku baru saja membayarnya.” Jawab Arsa enteng.
Gina mendengus, lalu menoleh pada Irish. “Kamu lihat?” Gina kembali menatap Arsa dan berkata. “Arsa, tidak perlu membuang-buang waktu dan berhenti mengikutiku!”
Setelah mengatakan itu, Gina langsung berbalik dan pergi begitu saja dari sana. Sementara itu, Arsa benar-benar dibuat terdiam dengan apa yang baru saja terjadi.
“Arsa?….”
Kening Arsa kembali berkerut, karena gadis lainnya masih disana dan kini menatapnya sambil tersenyum.
“Apa kamu benar-benar menolak Gina?” Tanyanya memastikan.
Arsa menggaruk kepalanya, karena dia tidak tahu harus berkata apa. Dia memang pernah menolak Gina sebelumnya. Namun, baginya hal itu bukanlah sesuatu yang besar, bahkan dia sudah melupakannya.
“Aku…”
“Kau hebat… aku Irish… ambil ini.”
Arsa tidak sempat menanggapi gadis bernama Irish itu, karena Irish juga sudah berbalik, menyusul Gina yang berjalan menjauh di depan sana.
“Sial! Ada apa dengan gadis-gadis itu?” Gumam Arsa sambil menatap keduanya menjauh.
Namun, sesaat setelahnya dia menundukkan kepalanya, melihat apa yang baru saja diberikan Irish padanya. “Apa ini?”
Di tangan Arsa, saat ini pemuda itu sedang memegang sebuah kartu, yang dia sendiri tidak tahu untuk apa.
***
Sementara itu, di waktu yang bersamaan, di asrama mereka. Sebuah paket berukuran sangat kecil baru saja tiba.
“Harris, apa Arsa memiliki kenalan diluar negeri?” Tanya Bryan, sambil membawa kotak kecil bersamanya masuk.
“Aku tidak tahu. Kenapa memangnya?” Harris balik bertanya.
“Tidak apa-apa, hanya saja disini tertulis dari luar negeri.” Jawab Bryan, sambil menaruh paket itu di atas lemari Arsa.
Beberapa hari yang lalu, dan saat ini Arsa masih berada di sebuah jalan yang disisi kanan dan kirinya di penuhi gedung perkantoran.
Tidak ada yang terlalu tinggi, namun setidaknya hampir semua gedung disana memiliki lima atau tujuh lantai, di setiap bangunannya.
Meski begitu, diantara semua jalan dan tempat yang ada di kota Dreams. Dreams Tranding Mart atau yang lebih dikenal sebagai DTM ini, adalah jalan dimana perputaran uang terbesar di kota itu bermuara.
Setidaknya ada dua puluh tujuh perusahaan sekuritas disini. Lebih tiga perempat dari perputaran uang yang keluar atau masuk kota Dreams, melintas di wilayah ini.
“Ayahku memulainya ditempat ini,” gumam Arsa, saat melihat sebuah bangunan yang mungkin memiliki ukuran paling kecil di bandingkan yang lainnya.
Flora in Investmant. Pernah begitu berjaya diawal-awal perusahaan sekuritas itu dibuka. Dari apa yang Arsa baca, itu saat ayahnya masih bekerja di tempat ini.
Arsa datang ketempat ini hanya untuk sekedar melihat-lihat saja. Sejak tinggal dan berkuliah di Dreams, tempat inilah yang paling ia hindari.
Arsa berbalik dam terus berjalan. Tekadnya semakin kuat untuk menjalankan rencananya.
‘Suatu saat nanti, nama Arhan Pratama akan kembali kesini.’ Gumamnya dalam batin.
Lima nelas menit kemudian, sampailah dia pada jalan berikutnya. Meski tidak sebesar DTM, namun di jalan ini juga banyak perusahaan sekuritas.
Arsa tesenyum miring, saat melihat bangunan sepuluh lantai. Tempat dimana Fitri seharusnya bekerja.
Sebelumnya, gedung ini adalah milik Perez Investment. Namun, perusahaan itu baru saja bangkrut, beberapa hari setelah terbongkarnya penipuan investasi yang dilakukan oleh sebuah perusahaan tambang, yang memalsukan data temuan mereka di lapangan.
Mengingat apa yang sudah dia lewati bersama wanita itu saat masih kuliah hingga akhirnya bekerja, Arsa menggelengkan kepalany seolah tak percaya.
Tidak tahu dimana wanita itu sekarang bekerja, namun Arsa tidak lagi peduli. Fitri sudah sedikit membuka matanya, setidaknya soal wanita di dunia yang kejam ini.
“Wanita memang lebih rumit dari rangkaiaan angka-angka yang paling rumit.” Ucap Arsa.
Saat Arsa mengucapkan itu, dia merasa ponselnya saat ini bergetar. Saat dia mengeluarkannya, di layar dia melihat sebuah nomor baru, yang jelas saja tidak dia kenali.
“Hallo?”
“Tuan One, maaf, aku Clara Parker.”
Arsa sendiri sudah mendengar nama wanita itu, saat Tom menghubungi dirinya sebelum ini. Jadi dia sudah tidak terkejut saat Clara menghubunginya.
“Ya. Nona Parker! Ada apa?”
“Tim yang anda inginkan sudah siap… sekarang, apa anda sudah menemukan perusahaan apa yang akan anda akuisisi di kota Dreams itu?” Tanya Clara langsung pada intinya.
Meski tahu Clara tidak akan melihatnya, Arsa menganggukan kepala dan berkata. “Ya, aku akan mengirimkan profil perusahaan itu padamu.”