Rara Depina atau biasa di panggil Rara, terpaksa menggantikan ibunya yang sedang sakit sebagai Art di ruamah tuan muda Abian Abraham.
Rara bekerja tanpa sepengetahuan tuan muda Abian. Abian yang pergi kerja saat Art belum datang dan pulang saat Art sudah pergi membuat Rara bisa bekerja tanpa di ketahui Abian.
Apa jadinya saat tak sengaja Abian memergoki Rara tengah berada di apartemennya.
Dilema mulai muncul saat diam-diam Abian mulai jatuh cinta pada pembantu cantiknya itu, dan di tentang oleh keluarga besarnya yang telah memilihkan calon buat Abian.
Akankah Abian mampu mempertahankan Rara di sisinya, cuus baca kelanjutannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tamu Bian
Rendra sudah seminggu ini memilih tinggal di hotel ketimbang di apartemen. Keberadaan Ara di apartemen Bian membuat hatinya tak tenang. Ara benar-banar tak mampu dia lupakan.
Pagi ini dia terpaksa pulang sebab ada berkas yang harus diambilnya di apartemen. Dia sengaja pulang sepagi ini agar tidak bertemu Ara ataupun Bian, dia belum siap bertemu dengan keduanya.
Mobil melaju di jalan yang belum terlalu ramai. Dan saat mobilnya melewati halte bus yang berada di dekat Apartemen, tak sengaja Rendra melihat Sosok Ara disana. Rendra melewatinya, hatinya berdetak seketika.
Dengan memakai jaket yang menutupi tubuh seksinya Ara duduk di halte, padahal masih sepagi ini.
Rendra mendengus kasar, dengan cepat dia merubah Arah laju mobilnya, dan berhenti tepat di depan Ara.
Rendra berdecak kasar, dia benci dengan tindakannya saat ini. Apalagi saat tubuhnya tak mampu di cegah menghampiri Ara, yang tak menyadari kehadirannya.
Mata Ara yang focus pada gawainya kini teralihkan oleh sepasang sepatu yang ada di depannya, repleks dia menengadah menatap pemilik sepatu.
"Kak Rendra!" Seru Ara sumringah. Rendra tak merespon. Netranya menatap lekat wajah Ara.
"Sedang apa di sini sepagi ini?"
"Kakak gak lihat aku pakai seragam sekolah," sahut Ara sembari memperlihatkan seragam di balik jaketnya.
"Untuk apa pergi sekolah sepagi ini, scurity bahkan belum bangun dari tidurnya," ucap Rendra dingin.
Ara tak menyahut, dia menatap manik hitam Rendra yang tampak bergetar. Ada kilatan amarah di sana.
"Ayo biar ku antar," ujar Rendra masih dengan sikap yang begitu dingin. Ara seperti tak melihat sosok Rendra pada dirinya. Rendra yang dia kenal adalah Rendra yang ramah dan ceria. Bukan dingin dan terkesan Arogan begini.
"Tidak usah, aku sudah pesan taksi." tolak Ara. Sikap Rendra membuat hatinya kecewa, biasanya Rendra yang paling bisa membangkidkat mooldnya, tapi kali ini sikapnya malah membuatnya semakin tak bersemangat.
"Kau punya suami, kenapa harus memesan taksi. Apa dia tak punya waktu mengantar mu?" Ara mengangkat wajahnya menatap Rendra lekat.
"Kakak sudah tau aku sudah punya suami, kenapa menggangguku? pergilah!" sentak Ara sembari membuang pandangannya pada kendaraan yang lalu lalang.
Bukannya pergi Rendra malah meraih pergelangan tangan Ara membawanya mengikuti langkahnya. Ara menepis genggaman Rendra, tapi Ara kalah kuat, tenaga Rendra lebih besar ketimbang Ara.
Rendra diam sepanjang perjalanan, sikap dinginnya membuat Ara tak nyaman. Ara sungguh tak menyukai ini.
"Kita sarapan dulu Ra, ada tempat.."
"Tidak usah!" Potong Ara ketus. Dia muak dengan sikap Rendra, sikap yang mengingatkannya pada Bian.
"Ada apa?"
"Harusnya aku yang bertanya ada apa? Kenapa kakak begitu dingin padaku!" Seru Ara sedikit emosi.
"Kau ingin aku bersikap manis pada istri orang? Haahh!" sentak Rendra dengan suara sedikit meninggi.
Ara terdiam. Mengapa dunia begitu kejam padanya, tidak ada yang berjalan sesuai keinginnan hatinya saat ini. Cukuplah dengan rumitnya hubungannya dengan Bian, mengapa harus ditambah lagi dengan sikap Rendra yang tiba-tiba berubah dingin padanya.
"Mengapa kalian bersikap kejam padaku, kalau tidak suka aku abaikan saja. Jangan mendekatiku tapi bersikap kasar begini. aku bukan patung yang tak punya hati," ucap Ara dengan mata berkaca-kaca.
"Apa kalian tidak tau aku hanya korban, tapi sikap kalian seolah akulah pelakunya. kalau tidak bisa bersikap manis, jangan malah menyakiti hatiku. Abaikan saja aku..." ucap Ara mulai tersedu. Renda tak bermaksud menyakiti Ara tapi nyatanya dia baru saja melakukannya.
"Ra, maaf," ucap Rendra dengan suara yang berubah lemah lembut.
Ara tak menyahut, dia diam membisu. Saat Rendra membawa Ara ketempat sarapan pagi Ara sama sekali tak beranjak dari tempat duduknya. Rendra terpaksa mengalah, memilih mengantar Ara ke sekolah.
"Sudah sampai Ra," ujar Rendra saat mobilnya sudah sampai di depan sekolah yang masih terlihat sepi.
"Kakak jangan temui aku lagi, kalau kelak kita bertemu secara tak sengaja abaikan saja aku."
Rendra terdiam hanya bisa menatap Ara yang turun dari mobil meninggalkan dirinya. Itu yang ingin dia lakukan mengabaikan Ara, tapi nyatanya dia tak mampu melakukannya.
Ara melangkah lebar menuju warung jajanan yang ada tak jauh dari gerbang sekolah, sebab gebang sekolah masih terkunci rapat.
"Buk teh anget satu, mie rebus satu, yang pedes pakai cabe rawit, sama telor setengah masak ya buk," ujar Ara pada penjual jajanan sembari duduk di kursi panjang.
"Bentar ya neng." Ara mengangguk pelan.
sepuluh menit kemudian pesanan Ara pun datang, Mie rebus super pedas dengan telor ceplok separuh masak, butiran cabe rawit yang ada di mie sungguh menggugah selera.
Baru separuh menikmati sarapan paginya dering ponsel Ara terdengar berdering nyaring. Pada layar ponselnya telihat nama tuan Abian.
"Halo."
"Dimana?"
"Di sekolah tuan."
"Sepagi ini?"
"Hemm," gumam Ara lalu memutus panggilan Bian.
Tapi tak lama ponselnya kembali berdering. Ara berdecak kesal Bian menggagu sarapan paginya.
"Ya tuan."
"Berani sekali kau memutus panggilan ku!" sentak Bian dengan nada kesal.
"Maaf tuan, aku sedang sarapn saat ini," sahut Ara dengan sesekali mendesah kepedasan.
"Apa yang kau lakukan mengapa mendesah begitu?!" tanya Bian curiga.
"Aku kepedasan tuan," ujar Ara masih diiringi desah kas orang kepedasan.
"Kau yakin itu."
"Tentu saja, bukankah tuan yang tidak yakin," sahut Ara dengan penuh penegasan.
"Tentu saja, kau membuatku curiga dengan desahanmu itu. Ingat Ra kau istriku, jangan coba macam-macam di belakang ku!"
Ara berdecak kesal, dia hanya mendesah kepedasan, tapi pikiran Abian sudah kemana-mana.
"Baiklah suamiku, sekarang bisakah aku lanjut sarapan. Sebelum mie pedasku keburu dingin," ujar Ara dengan senyum yang tentu saja tak bisa di lihat oleh Bian.
"Baiklah," sahut Bian seraya memutus panggilan telponnya.
Ara benar-benar kalap, mie dengan butiran cabe rawit dia santap tak tersisa. Bukan bibirnya saja yang merah kepedasan. Kini pipinya juga wajahnya sudah terlihat merah bahkan dia sampai menagis saking pedasnya.
"Waduh neng sampe nangis gitu, pedas banget ya?"
"Gak buk, masih pedasan ucapan Abian kok buk," sahut Ara. Tentu saja si ibuk tak paham akan ucapan Ara barusan. Dia memilih menerima uang yang di sidorkan Ara padanya.
****
Ara sedang membersihkan apartement saat bell berbunyi berulang kali. Saat Ara membuka pintu seorang wanita dengan tubuh tinggi semampai dengan wajah yang sangat cantik sedang berdiri di depan pintu, menatap Ara tak berkedip.
"Maaf, bukankah ini apartemen Abian?"
"Iya nona."
"Lalu kau?" Tanya wanita itu seraya menatap Ara intens.
"Ooh saya Art tuan Bian nona," sahut Ara dengan senyum di bibirnya.
"Oooh, kau hampir saja membuat aku kena serangan jantung, oh ya siapa namamu?" tanyanya Ramah seraya melangkah masuk.
"Aku Ara nona," sahut Ara sembari mengekori Tamunya dari belakang.
"Ara kecantikan mu bukan milik seorang Art, Bian pandai mencari Art secantik kamu," puji wanita itu sembari menatap lekat wajah cantik Ara.
"Tuan bukan mempekerjakanku nona, melainkan ibuku. Tapi ibuku sakit, terpaksa aku yang menggantikannya," jelas Ara dengan senyum.
"Ooh, maaf kalau aku sempat salah paham, sebab kau cantik sekali," ucap wanita itu dengan ramah.
"Tidak apa nona. Oh ya, nona apa perlu aku beri tahu tuan?"
"Tidak usah, aku berniat mengejutkan Abian dengan kedatanganku. Boleh aku menunggu di kamar Bian? Oh ya, namaku Septia."
"Silahkan nona Septia," sahut Ara dengan senyum tipis di bibirnya.
Septia melangkah dengan begitu anggunya menuju kamar Bian. Ara menghela napas berat, ada beliung tajam yang menghujam hatinya saat ini. Dia begitu menyesali kebodohannya yang berani main hati pada Bian, sedang wanita di sisi Bian sekelas Septia.
Tak Biasanya Bian pulang sesore ini. Ara yang pergi tanpa pamit dan sikap acuhnya sepanjang siang tadi mbuat Bian tak tenang. Bian berulang kali mengiriminya pesan tapi Ara mengabaikannya, membuatnya meradang tak karuan.
Bian masuk ke apartemen dengan langkah lebar, melempat tas hitamnya dengan kasar ke atas sofa lalu beranjak kekamar Ara.
Brak!!
Bian membuka pintu kamar Ara dengan kasar, membuat Ara yang sedang belajar terlonjak kaget.
"Tuan?"
"Berani sekali kau mengabaikan ku!" Sentak Bian dengan tatapan yang menghunus jantungnya.
Ara gugup tak karuan bukan karena sekarang Bian tengah merengkuh tubuhnya dan berusaha mencium bibirnya, tapi karena ada Septia di kamar Abian. Abian malah mengunjunginya.
"Tuan Ada nona Septia di kamar tuan," ujar Ara pelan. Bian yang hendah melabuhkan bibirnya terdiam seketiaka.
"Kau bilang apa?"
"Ada nona septia menunggu di kamar tuan," sahut Ara semakin pelan. Entah mengapa tadi dia sepertinya kuat menerima kedatangan wanita yang mencari suaminya. Tapi mengapa perasaannya berbeda saat Abian ada di dekatnya.
Perlahan Bian melepas rengkuhannya, menatap lekat wajah mendung Ara.
"Apa sebaiknya aku menginap di ruamah ibu saja tuan?" tanya Ara dengan sauara liri.
"Tetaplah di sini, dia akan segera pulang," ujar Bian sembari membelai rambut Ara.
"Tidak apa tuan, aku bisa menginap di rumah temanku kalau tuan takut ibu berpikir macam-macam," ujar Ara dengan senyum hambar.
"Ara! diamlah di sini, aku pastikan dia pulang, kau dengar!" Ara mengangguk pelan.
Mengapa hatinya sesakit ini saat Bian melangkah pergi meninggalkan kamarnya menemui wanita itu.
Tak selalu ucapan bisa di percaya. Begitu juga pada ucapan Bian. Sudah hampir dua jam, wanita itu tak jua keluar dari kamar Bian. Ara tak tahan lagi, hatinya rerasa terbakar api, panas sekali.
Lama-lama di rumah ini dia bisa mati berdiri. Entah seperti apa status pernikahan mereka, yang jelas dia dan Bian sah menjadi suami istri. Dan membiarkan Bian berdua dikamar dengan wanita lain membuat hati Ara terluka sangat dalam.
Ara menyusun baju sekolah dan keperluan lainnya kedalam tas, lalu beranjak pergi. Tujuannya adalah rumah temannya dia tak mungkin pulang ke ibu tanpa di antar Bian.
.
Happy reading.
Hay readers emak, tinggalin jejak ya buat yang udah mampir🥰🙏