Wulan masih tidak percaya bahwa dia telah reinkarnasi ke dalam tubuh seorang perempuan yang cantik namun tidak bahagia. Dia adalah istri dari kapten yang tampan dan berkuasa, namun dingin dan tidak peduli dengan istrinya.
Wulan mempunyai janji dengan jiwa aslinya, yaitu mengubah takdir hidup sang kapten agar jatuh cinta dengan tubuh istrinya yang bermana Livia. Tapi bagaimana caranya? Kapten tersebut sangat dingin dan tidak peduli dengan istri.
.
Namun, semakin Wulan mencoba untuk mendekati sang kapten, semakin dia menyadari bahwa kapten tersebut memiliki luka yang dalam dan tidak mudah untuk diobati.
Wulan harus mencari cara untuk menyembuhkan luka tersebut agar sang kapten dapat membuka hatinya dan jatuh cinta dengan Livia.
Bagaimana kelanjutan cerita Wulan? Apakah dia berhasil mengubah takdir hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aira azahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 14
Mereka semua mencari langsung di internet, raut wajah mereka menegang dan mulut ternganga. Tidak percaya siapa Livia, akhirnya mereka menemukan donatur yang tepat.
"Hmmm .... bagaimana kita makan di sana? Anggap saja, merayakan perkenalan kita ini. Mau?" tanya Livia, membuyarkan lamunan mereka semua. "Aku yang traktir semuanya."
Zyan dan lainnya jelas setuju. Soal traktir makan nomor satu, mana mungkin menolak soal ini. Mereka harus bersikap baik, agar Livia masuk ke dalam perangkap mereka.
Livia pamit untuk pergi ke toilet seorang diri, tiba-tiba musuh Zyan datang dan mendekatinya.
"Kamu hati-hati dengan Klub motor Black, Nona. Mereka sangat licik sekali, suka memanfaatkan seseorang demi kepentingan sendiri. Kamu tahu, Wulan dimanfaatkan mereka sampai mati. Jadi jauhi mereka jauh lebih baik," kata Wanita itu, berlalu meninggalkan Livia masih mematung.
Beberapa menit kemudian, Livia bergabung dengan mereka semua lagi. "Aku bayar makanannya," katanya mendekati kasir. "Mereka tidak tahu malu, baru kenal denganku dan sudah meminta makanan doble sampai tiga. Kenapa aku dulu bodoh?" gumamnya dalam hati.
"Astaga! Ibuku memintaku pulang sekarang. Sepertinya aku harus pergi," kekeh Livia berakting seperti tidak nyaman.
"Tidak masalah, Livia. Terima kasih atas traktiran makannya, kita bisa bertemu dilain waktu. Malam minggu ada atraksi motor di sini. Apa kamu bisa datang?" tanya Zyan, dengan senyuman manisnya.
"Aku lihat jadwal dulu, bisa atau tidaknya. Pasti menghubungimu nanti, babay!" Livia mulai melangkahkan kakinya, padahal menahan rasa amarah di dada.
"Lihatlah apa yang aku lakukan nanti," gumam Livia dan masuk ke dalam mobilnya. Dengan kecepatan penuh, ia melampiaskan amarah di dadanya. Rasanya tidak sabar lagi, untuk melakukan balas dendam kepada pengkhianat itu.
*******
Sesampainya di tempat tinggal baru, Livia terkejut melihat seorang wanita menunggunya di depan rumah. Yaitu, ibu mertuanya. Jantungnya berdegup sedikit lebih kencang, campuran perasaan gugup dan terkejut menyeruak.
Livia bergegas keluar dari mobil. "Mama sudah lama di sini?" tanyanya dengan nada hati-hati, meskipun sebenarnya ia cukup terkejut atas kedatangannya yang tiba-tiba.
Nadia tersenyum lembut, namun matanya seperti mengamati lebih dalam dari sekadar tatapan biasa. "Baru sampai, Nak. Ayo, kita ngobrol di dalam saja," ujarnya sambil melirik rumah di depan.
Livia mengangguk kecil, membimbingnya masuk. Ia bisa merasakan sorot matanya menyusuri ruangan dengan teliti saat melangkah ke dalam. Rumah kecilnya yang sederhana dan rapi tampaknya memberikan kesan berbeda bagi ibu mertuanya.
Setelah duduk, Nadia langsung membuka pembicaraan. "Mama baru saja dengar kabar, kamu dan ibumu diusir oleh Rekha. Tapi kenapa kamu tidak memberitahu Mama? Kamu bahkan tinggal di sini tanpa bicara apa-apa."
Livia mencoba menjaga ekspresi wajah tetap tenang sambil meletakkan tas di atas meja. Dalam pikiran, berbagai skenario berlompatan, mencoba mencari cara agar ibu mertuanya tidak merasa terlalu khawatir. Sambil membuatkan secangkir teh untuknya, ia menjawab, "Aku suka tinggal di rumah yang tidak terlalu besar, Ma. Apalagi aku tinggal sendirian, jadi lebih mudah untuk mengurus semuanya. Selain itu, tempat ini lebih dekat dengan tempat kerjaku. Rasanya lebih praktis."
Livia mencoba membuat jawabannya terdengar setenang mungkin, meskipun ada bagian dirinya yang enggan mengakui kebenaran di balik semua ini. "Apakah Mama bisa membaca apa yang sesungguhnya ada dalam pikiranku?" pikirnya. Ia tak tahu pasti, tapi dapat melihat matanya memperhatikan secangkir teh hangat di hadapannya dengan sorot yang sulit ditebak.
" Apa yang tengah dia pikirkan? Dan apakah aku cukup meyakinkan?" batin Livia hanya berharap semua ini terlihat biasa saja di matanya.
"Hmmm... tehnya enak sekali, rasanya pas di lidah. Terima kasih, Ma," kata Nadia sambil mencicipi tehnya lagi. Ia mencoba tersenyum, meskipun hati rasanya seperti dihimpit beban yang tak terlihat. "Kamu yakin ingin tetap tinggal di sini? Kalau perlu pindah saja ke rumah Mama, ya?" Ia menatap menantunya penuh harap, tapi hanya bisa menghela napas panjang.
"Terima kasih atas tawarannya, Ma. Tapi aku tidak bisa menerima itu. Lagipula, aku dan Alex... kami akan berpisah nanti," jawab Livia pelan, berusaha menahan gemuruh dalam dadanya. Kata itu masih terasa asing sekaligus menyakitkan di lidah, tapi ia tahu keputusan ini harus diambil.
"Kenapa kamu tidak coba pikirkan lagi, Nak? Mama jujur saja, Mama tidak setuju kalian berpisah." Suara Nadia terdengar berat, bahkan ada nada kecewa di sana. "Dengar-dengar Alex akan pulang cepat, mungkin malam minggu ini. Nanti Mama jemput kamu ke rumah, ya?"
Livia hampir ingin tertawa—sarkastik dan pahit. Ibu mertuanya selalu berubah sikap. Dulu dia sering memarahi Livia, menyebut manja, tidak pantas untuk Alex. Tapi sekarang, ketika semuanya berantakan, beliau justru ingin mempertahankannya. Ironi yang melelahkan.
"Tidak perlu jemput aku, Ma. Aku akan datang sendiri dengan ibuku," kata Livia, berusaha menenangkan situasi dengan senyum kecil yang tak benar-benar tulus. Namun, di dalam hati, ia membisikkan kata-kata lain, tajam dan dingin, yang hanya bisa didengar sendiri.
"Jangan harap aku akan bertemu dengan pria itu lagi. Bahkan membayangkan berada di satu ruangan dengannya saja membuatku muak. Lebih baik aku pergi ke ujung dunia sekalipun, daripada menjadi bahan gosip orang-orang," batin Livia meneguk tehnya lagi, mencoba menyembunyikan keresahan yang terus merayap dalam pikiran. Tapi ia tahu, senyum yang diberikan barusan hanyalah topeng—rapuh dan mudah pecah kapan saja..
"Tidak, Ma, tidak perlu begitu," jawab Livia pelan, menahan gejolak yang berkecamuk dalam hati. Ia tahu bahwa ini momen yang sangat berat, baik untuk dirinya maupun untuk siapapun.
"Tapi apakah aku sanggup mengabaikan luka-luka yang telah tertanam begitu dalam?" pikir Livia dalam hati.
Nadia menggenggam tangan Livia erat, sorot matanya penuh harapan dan penyesalan. "Mama hanya ingin kalian bersama, Livia. Maafkan sikap Mama selama ini, ya?" katanya dengan nada penuh iba.
Livia menghela napas, mencoba menata kata-kata yang sering kali sulit keluar saat emosi menguasai. "Aku tidak bisa janji soal itu, Ma," ujarnya akhirnya. Ada nada tegas namun juga getir di suaranya. "Aku sudah berusaha, lebih dari yang mungkin terlihat. Aku mencoba mencintai dan dicintai, meskipun dengan semua ketidaksempurnaanku. Aku tahu, sikapku terkadang manja dan kurang dewasa, tapi aku berusaha. Namun, apa artinya usaha itu jika pada akhirnya tetap tak dihargai? Rasanya semakin lama aku hanya menguras diriku sendiri."
Livia menatap Nadia dengan tatapan yang mencoba tegar, meskipun rasanya hatinya hampir hancur. "Mungkin ... mungkin akan lebih baik jika aku menjauh. Mungkin inilah yang Alex inginkan selama ini—akhir dari semuanya." Matanya melihat bulir air mata yang turun dari pipi ibu mertuanya.
Melihat Nadia, ada secuil rasa bersalah yang menjalari hati, tapi ia juga terluka. "Aku minta maaf soal dulu," katanya dengan suara gemetar. "Mama sadar pernah marah-marah padamu, pernah membentakmu juga. Apa Mama harus berlutut di depanmu agar kamu memaafkan Mama?" Kata-kata itu menusuk hati seperti belati, membuat emosi campur aduk antara kasihan, marah, dan lelah.
Livia memalingkan pandangannya sesaat, tak ingin menunjukkan air mata yang mulai menggenang di pelupuk. "Apakah luka-luka ini bisa sembuh hanya dengan kata maaf? Apakah semuanya bisa kembali seperti dulu?"
"Aduhhh .... kenapa jadi ribet begini? Aku mau hidup tenang kali, tanpa bersama dengan suami arogan itu," batin Livia memejamkan matanya sebentar. "Ak-aku ...."