Di balik gaun pengantin dan senyuman formal, tersembunyi dua jiwa yang sejak lama kehilangan arti cinta.
Andre Suthajningrat—anak dari istri kedua seorang bangsawan modern, selalu dipinggirkan, dibentuk oleh hinaan dan pembuktian yang sunyi. Di balik kesuksesannya sebagai pengusaha real estate, tersimpan luka dalam yang tak pernah sembuh.
Lily Halimansyah—cucu mantan presiden diktator yang namanya masih membayangi sejarah negeri. Dingin, cerdas, dan terlalu terbiasa hidup tanpa kasih sayang. Ia adalah perempuan yang terus dijadikan alat politik, bahkan oleh ayahnya sendiri.
Saat adik tiri Andre menolak perjodohan, Lily dijatuhkan ke pelukan Andre—pernikahan tanpa cinta, tanpa pilihan.
Namun di balik kehampaan itu, keduanya menemukan cermin dari luka masing-masing. Intrik keluarga, kehancuran bisnis, dan bayang-bayang masa lalu menjerat mereka dari segala sisi. Tapi cinta… tumbuh di ruang-ruang yang retak.
Bisakah dua orang yang tak pernah dicintai, akhirnya belajar mencintai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Malam Hari di Rumah Bata Merah.Lily duduk di sofa ruang tengah. Lampu redup, wine merah sudah dua kali dituang, dan mulut botolnya kini dibiarkan terbuka di atas meja.
Ia mengenakan hoodie milik Andre. Entah sejak kapan ia menemukannya di lemari. Tapi kehangatannya membuat Lily merasa tidak sepenuhnya sendirian.
Ponselnya tergeletak di samping gelas. Layar penuh dengan panggilan keluar yang tidak diangkat. Ia bahkan mengirim beberapa pesan, yang semuanya tak dibalas.
“Kamu di mana?”
“Maaf.”
“Aku cuma… takut.”
“Andre, pulang.”
Suara denting kaca terdengar saat Lily menjatuhkan sendok kecil. Ia tertawa pelan, setengah mabuk, setengah nyaris menangis.
“Apa sih yang aku harapkan…” gumamnya.
Ia bersandar, menatap langit-langit. Mabuk. Pusing. Tapi yang paling menyakitkan adalah kosongnya rumah itu tanpa Andre.
...****************...
Andre duduk di kursi 3A. Business class menuju Denpasar.
Kepalanya bersandar ke jendela, tapi pikirannya mengembara.
Di pangkuannya ada berkas presentasi. Ia diundang sebagai kandidat ketua dalam forum Himpunan Pengusaha Muda Konstruksi Indonesia.
Forum prestisius.
Forum bergengsi.
Tapi semua itu terasa hampa.
Ia melihat halaman-halaman presentasi yang sudah disusun timnya. Proyek real estate, roadmap infrastruktur, sustainable architecture, semua jargon yang terdengar hebat.
Tapi satu kalimat dari media membuat matanya kembali panas.
“Calon ketua HPMKI Andre Suthajningrat, menantu cucu mantan presiden.”
Selalu begitu.
Bahkan pencapaian yang ia perjuangkan sejak lulus kuliah, kerja kerasnya dari proyek kecil di pinggiran Jakarta hingga tower tinggi di CBD, semua diredam hanya karena satu hal: ia menikahi Lily.
“Dia sukses karena nikah politik.”
“Main belakang dengan elite.”
“Cuma anak istri kedua, naik gara-gara nama mertua.”
Andre menghela napas panjang, mengusap wajahnya. Rasanya seperti semua usahanya sia-sia.
Ia melihat langit di luar jendela.
Dan di sela-sela kesal, marah, dan lelah, yang ia pikirkan hanya satu:
Wajah Lily, saat menangis di depan pintu.
Suaranya yang gemetar saat berkata: “Jadi aku ini apa buat kamu?”
Dan pesan terakhir Lily yang baru masuk saat pesawat mengudara.
“Aku takut kehilangan kamu.”
Andre mengepalkan tangan.
Dalam hati, ia bergumam,
Kalau kamu takut kehilangan aku… maka kamu harus tahu, kamu satu-satunya yang membuat aku bertahan sejauh ini.
...****************...
Pesawat Andre mendarat dengan lembut di Bandara I Gusti Ngurah Rai. Ia menyalakan ponsel begitu roda pesawat berhenti.
Puluhan notifikasi masuk. Chat, missed call, dan satu pesan suara.
Matanya langsung mencari satu nama.
Lily.
Ia membuka pesan suara. Suara Lily pelan… bergetar.
“Andre… kalau kamu denger ini… aku… aku takut kehilangan kamu…”
Detik itu juga, Andre langsung menekan tombol panggil.
Tiga dering.
Empat.
Klik.
“Hallo…” suara Lily terdengar lirih, seperti baru bangun… atau baru selesai menangis. Atau mabuk.
“Lily?” suara Andre tegang.
“Hmm… akhirnya kamu nelpon juga…” suaranya sedikit bergulir, seperti mabuk ringan.
Andre meneguk ludah. “Kamu minum?”
“Kamu pergi…” jawab Lily pelan. “Dan aku… sendirian.”
“Lily, denger aku—”
“Kenapa kamu pergi? Kenapa nggak bilang apa-apa?” Nada Lily mulai meninggi, tangis kembali terdengar di sela-sela suaranya. “Aku salah, ya? Tapi kamu juga nggak pernah kasih aku penjelasan!”
Andre terdiam.
Lalu Lily berkata, dengan suara patah yang jujur:
“Aku takut kehilangan kamu, Andre”
Andre menatap layar ponselnya, berdiri di tengah bandara.
Suara pengumuman boarding bergema samar di sekitarnya.
Tapi hanya satu suara yang menggema di kepalanya:
“Aku takut kehilangan kamu.”
Untuk pertama kalinya… Andre pun mulai takut.
Takut kalau ia benar-benar akan kehilangan Lily.
Cliffhanger: Sebuah Pesan
Setelah pesawat mendarat di Denpasar, ponsel Andre berbunyi. Ia melihat notifikasi—satu pesan dari Lily.
“Maafkan aku…”
Dan satu pesan balasan yang sudah ia kirim sebelumnya.
“Aku akan menjemputmu.”
(Terlampir: Tiket satu arah ke Denpasar)