Pahit nya kehidupan yang membelengguku seolah enggan sirna dimana keindahan yang dulu pernah singgah menemani hari-hari ku terhempas sudah kalah mendapati takdir yang begitu kejam merenggut semua yang ku miliki satu persatu sirna, kebahagiaan bersama keluarga lenyap, tapi aku harus bertahan demi seseorang yang sangat berarti untuk ku, meski jalan yang ku lalui lebih sulit lagi ketika menjadi seorang istri seorang yang begitu membenci diri ini. Tak ada kasih sayang bahkan hari-hari terisi dengan luka dan lara yang seolah tak berujung. Ya, sadar diri ini hanya lah sebatas pendamping yang tak pernah di anggap. Tapi aku harus ikhlas menjalani semua ini. Meski aku tak tahu sampai kapan aku berharap..
Adakah kebahagiaan lagi untuk ku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cty S'lalu Ctya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Harapan Semu
❤️POV Alana❤️
Aku tak tahu kenapa dia mengajak ku ke tempat ini, tempat dimana nuansa nya begitu apik di dekat pantai, Ya, pantai. Dulu dia pernah bilang jika tempat favorit nya adalah pantai untuk menepi. Aku kagum pada nya, ternyata dia begitu sukses sekarang, semua keinginan nya telah dia wujudkan. Andai dia tidak membenciku mungkin aku akan bahagia hidup bersama nya. Meski sekarang kita tinggal bersama dengan status pernikahan tapi semua itu hanya bagai bayangan. Dan kini aku menunggu hukuman ku dari nya. Biarlah aku hanya pasrah apa keinginan nya. Malam berlanjut, tapi dia tak nampak seusai makan tadi, entah kemana dia, usai bermain bersama Emir bercerita banyak sampai dia ketiduran di pangkuan ku, ku lihat jam di dinding sudah pukul sembilan malam tapi dia belum juga kembali. Terdengar suara mobil berhenti ternyata itu adalah asisten nya yang mencari keberadaan nya.
"Maaf mengganggu, dimana pak Yoga?" tanya nya ketika mendapati ku duduk di sofa. Aku menggeleng. Dia pun mengangguk seakan mengerti, dia berpamitan lalu keluar. Pergi kemana dia? itulah pertanyaan dalam benak ku. Tanpa terasa mata ku begitu mengantuk aku memilih bersandar di sofa sampai terlelap dengan kepala Emir di pangkuan ku. Sayup-sayup aku merasa ada yang menyentuh area sensitif ku, entah kenapa aku menikmati nya karena aku berfikir semua itu hanya ilusi, tapi lama-lama tersadar itu bukan ilusi tapi nyata. Aku pun terperanjat dan reflek mendorong tubuh nya, aku mengumpulkan kesadaran ku dan mendapati sudah ada di dalam kamar entah sejak kapan aku berpindah tempat kenapa aku tidak sadar saat dia memindahkan ku. Dan inilah hukuman yang ku nantikan ternyata dia menginginkan tubuh ku. Lagian ini juga merupakan kewajiban ku, malam ini dia memangsa ku dengan brutal tapi entah kenapa tubuh ini menikmati nya disaat batin berperang antara nikmat dan lelah. Andai hubungan ini berdasarkan suka sama suka mungkin nikmat surga dunia yang ku petik, lelah entah sampai kapan hubungan ini hanya berlandaskan pemuas nafsu semata. Apalagi permintaan nya yang lagi-lagi seolah menusuk ku, sebegitu tak mau nya dia punya anak dari ku sehingga selalu mengingatkan untuk meminum obat kontrasepsi darurat yang dia berikan. Aku hanya mengangguk padahal aku lupa tidak membawa obat itu. Aku memilih berbaring bersama Emir dan memeluk erat tubuh Emir, meski hati ku hancur dan badan ku terasa remuk hanya dia lah obat sekaligus penyemangat ku. Jam lima pagi aku mulai bangun dan melakukan aktifitas seperti di rumah aku menyiapkan makanan untuk sarapan meski hanya nasi goreng dan telur karena hanya itu bahan yang ada di dapur. Terlihat Emir menghampiri ku ke dapur, aku mengajak Emir untuk mandi sebentar sambil menunggu dia datang untuk sarapan. Tapi ternyata dia sudah pergi bahkan tanpa menyentuh sarapan hanya meminum kopi.
"Ibu, kenapa?" tanya Emir yang melihat ku terdiam di ruang makan. Aku menatap Emir, ku ulas senyum serta menggeleng.
"Tidak apa, yuk maem, ini ibu buatin bubur" alih ku seraya hendak menyuapi Emir. Tapi Emir seolah menginginkan nasi goreng.
"Ibu, apa Emil boleh maem nasi goleng?" tanya nya polos. Aku menarik nafas panjang seraya menggeleng.
"Nanti jika Emir sudah sembuh total ya nak" ucap ku lembut. Beruntung Emir anak yang menurut dia pun mengangguk, aku mulai menyuapi nya bubur dengan telaten.
"Permisi.." tiba-tiba suara seorang wanita dan lelaki paruh baya bersamaan masuk ke dalam rumah, sontak aku dan Emir menatap mereka.
"Maaf mbak, saya Dana dan dia pak Yayan suami saya, kami biasanya yang membersihkan villa" lanjut Bu Dana memperkenalkan dirinya. Aku pun mengangguk seraya menyambut mereka.
"Saya Alana dan ini anak saya" ujar ku memperkenalkan diri.
"Ya, kami sudah tahu, mbak istri mas Yoga" sela Bu Dana.
"Kami di pesan mas Yoga untuk menemani mbak selama mas Yoga keluar kota" lanjut pak Yayan.
"Kalau mbak Alana butuh sesuatu bilang saja pada kami, kami siap kapan pun mbak butuhkan" ujar Bu Dana menambahi.
"Terima kasih" ucap ku tulus.
"Kalau begitu kami pamit ke belakang dulu ya mbak" pamit Bu Dana dan pak Yayan.
"Ya, silakan!"
Selesai sarapan aku dan Emir keluar ke taman samping dimana ada pak Yayan yang sedang menyapu daun Ketapang yang keting di pantai.
"Bu kita ke pantai yuk main pasir!" ajak Emir.
"Yuk, tapi Emir janji gak boleh kelelahan!" pesan ku pada Emir. Emir mengacungkan jari jempolnya tanda setuju.
"Eh,, ada mbak Alana sama Emir" sapa pak Yayan ketika kita menghampiri nya.
"Pak apa Emil boleh main pasil nya" tanya cadel Emir dengan begitu polosnya.
"Boleh dong, Emir boleh main sepuas Emir" jawab pak Yayan.
"Makasih pak, ayo Bu!" Emir mengajak ku bermain pasir.
Sudah dua hari tinggal di villa dan Bu Dana bersama pak Yayan selalu menemani kita. Ternyata disini cukup menyenangkan, Bu Dana mengajak kami jalan-jalan ke salah satu peternakan kambing yang tak jauh dari villa.
"Dulu, lahan seluas dua hektar ini adalah milik kami mbak, pak Yayan terikat hutang dengan bank dan tanah ini disita beserta rumah kami, beruntung mas Yoga menebus nya, kami pun di perbolehkan mas yoga menempati rumah kami lagi dan mas Yoga mulai membangun peternakan juga villa, anak saya di percaya untuk mengurus peternakan sedangkan kami di percaya mengurus villa, mbak beruntung mendapat suami baik seperti mas Yoga" ujar Bu Dana ketika kita sampai di peternakan kambing, sedangkan Emir berkeliling melihat kambing yang sedang di peras susunya di temani anak Bu Dana. Memang sejatinya kak Yoga begitu baik pada siapa pun, tapi pengecualian untuk ku dan keluarga ku. Wajar semua ini dia lakukan mungkin karena sebuah dendam juga sakit hati dengan sikap ayah yang mengusirnya. Aku pun tidak bisa berbuat apa pun karena sebuah ancaman.
"Sampai kau berani menemui dia, jangan harap dia akan selamat!" itulah ancaman dari ibu ku di kalah aku melihat nya tersungkur di tanah dengan deraian air mata dengan sebuah harapan pertolongan dan dukungan.
"Maafkan aku kak, hanya ini yang bisa ku lakukan, aku tak ingin kamu dalam bahaya" lirih ku memilih kembali masuk, aku tak kuat melihat semua itu. Dan begini lah sekarang, dia membenci diri ini dan menjerat hidup ku dalam penjaranya. Mungkinkah aku bisa bebas? ataukah semua itu hanya harapan semu belaka.