Seorang kakak miskin mendadak jadi sultan dengan satu syarat gila: Dia harus menghamburkan uang untuk memanjakan adik semata wayangnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sukma Firmansyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24: Tamu Tak Diundang
Markas Besar Wijaya Group (Eks-Royal Hotel) - Lantai 50
Sejak mengakuisisi hotel dan berbagai aset musuh, Atlas mengubah Royal Hotel menjadi markas pusat bisnisnya. Lantai 50 kini menjadi benteng korporat yang tak tertembus.
Siang ini, suasana di ruang rapat VVIP terasa dingin, meski AC sudah disetel di suhu normal.
Di satu sisi meja panjang yang terbuat dari kayu mahogany utuh, duduk Atlas Wijaya. Dia mengenakan kemeja putih sederhana dengan lengan digulung, terlihat santai namun mematikan. Di belakangnya berdiri Sebastian dan Maya.
Di sisi lain meja, duduk tiga orang pria Kaukasia (Eropa) dengan setelan jas abu-abu yang kaku. Pimpinannya adalah Mr. Frederic, perwakilan senior dari European Energy Consortium—kartel minyak raksasa yang menguasai distribusi energi di Laut Utara.
"Mr. Wijaya," Frederic membuka pembicaraan dengan bahasa Inggris beraksen Jerman yang kental. Nada bicaranya sopan, tapi matanya memancarkan arogansi khas kolonial. "Mari kita bicara realistis. Anda memenangkan ladang minyak Al-Ghazali itu lewat judi keberuntungan. Tapi Anda tidak punya kapal tanker. Anda tidak punya pipa distribusi. Anda tidak punya pembeli."
Frederic meletakkan sebuah cek di atas meja.
"Kami berbaik hati menawarkan $2 Miliar (30 Triliun Rupiah) untuk membeli kembali ladang itu. Itu harga yang sangat murah hati untuk... pemula seperti Anda."
Atlas melirik cek itu sekilas, lalu tertawa pelan. Tawa yang membuat wajah Frederic mengerut tidak suka.
"$2 Miliar?" ulang Atlas. "Ladang itu punya cadangan minyak senilai $20 Miliar. Anda mau merampok saya di siang bolong?"
"Itu bukan perampokan, itu bisnis," Frederic tersenyum sinis. "Tanpa infrastruktur kami, ladang minyak Anda cuma kolam lumpur hitam yang tidak berguna. Kami memblokir semua akses pipa di Laut Utara. Tidak ada kapal tanker yang berani mengangkut minyak Anda karena takut pada sanksi kami. Jadi, terima uangnya, atau minyak Anda membusuk di sana."
Ancaman klasik. Monopoli dan Embargo.
Atlas bersandar di kursinya, memutar-mutar cincin di jarinya.
"Sebastian," panggil Atlas.
"Ya, Tuan?"
"Berapa harga perusahaan logistik yang mengangkut minyak mereka? Nordic Shipping Line, kalau tidak salah?"
Frederic terkejut. "Apa maksud Anda? Nordic Shipping adalah mitra eksklusif kami selama 50 tahun! Anda tidak bisa—"
"Aku tanya harganya, bukan sejarahnya," potong Atlas dingin.
Sebastian membuka tabletnya. "Valuasi pasar Nordic Shipping Line saat ini sekitar $4.5 Miliar, Tuan. Tapi saham mereka sedang undervalued karena krisis internal."
Atlas mengangguk. Dia membuka aplikasi trading di ponselnya yang terhubung langsung dengan System Wealth Management.
"Mr. Frederic," kata Atlas, matanya menatap tajam pria Eropa itu. "Anda bilang saya tidak punya kapal? Kalau begitu, saya beli kapal Anda."
[SYSTEM TRANSACTION ACTIVE]
[Target: Akuisisi Saham Mayoritas 'Nordic Shipping Line' (Publik).]
[Mode: Hostile Takeover (Pengambilalihan Paksa).]
[Dana Disiapkan: $5 Miliar (± 75 Triliun Rupiah).]
Frederic tertawa meremehkan. "Anda gila! Anda pikir membeli perusahaan multinasional itu seperti membeli kacang? Butuh persetujuan dewan, butuh waktu bulan—"
Ponsel Frederic berdering.
Dia melihat layarnya. Panggilan dari CEO Konsorsium di Brussels.
"Halo, Sir?" jawab Frederic.
Wajah Frederic yang tadinya merah karena marah, perlahan berubah menjadi putih pucat. Mulutnya menganga.
"Frederic! Apa yang kau lakukan di sana?! Tiba-tiba ada 'Whale' (Investor Paus) misterius yang memborong 51% saham logistik kita di bursa saham London! Kita kehilangan kendali atas armada tanker kita sendiri! Siapa yang kau lawan?!"
Frederic menjatuhkan ponselnya. Dia menatap Atlas dengan horor.
Pemuda di depannya ini baru saja menggelontorkan 75 Triliun Rupiah dalam waktu kurang dari 3 menit, hanya dengan menekan beberapa tombol di ponsel, sambil minum kopi.
"Bagaimana..." suara Frederic gemetar. "Siapa Anda sebenarnya?"
Atlas berdiri. Dia mengambil cek $2 Miliar dari meja, merobeknya jadi dua, dan melemparnya ke wajah Frederic.
"Sekarang, saya pemilik armada tanker yang mengangkut minyak kalian," bisik Atlas, membungkuk sedikit ke arah Frederic. "Jadi, kalau kalian tidak mau distribusi minyak kalian ke Eropa macet total besok pagi... lebih baik kalian bayar sewa kapal ke saya dengan harga yang saya tentukan."
Atlas menunjuk pintu keluar.
"Bawa sampahmu dan pergi dari gedungku. Sebelum aku berubah pikiran dan membeli perusahaan indukmu sekalian."
Frederic dan timnya lari terbirit-birit keluar ruangan, melupakan segala arogansi mereka. Mereka datang sebagai serigala, pulang sebagai anjing terpukul.
[MISI BISNIS SELESAI: Dominasi Laut Utara.]
[Aset Diakuisisi: Nordic Shipping Line (Armada Logistik Global).]
[Status: Raja Minyak & Logistik.]
[Cashback Aset: Armada tanker ini menghasilkan profit bersih ± 1 Triliun Rupiah/bulan.]
Atlas menghembuskan napas panjang. Rekeningnya terkuras habis-habisan untuk manuver ini. Saldo tunainya menipis, tapi aset produktifnya melonjak drastis. Ini investasi jangka panjang.
"Tuan," Sebastian menyodorkan segelas air. "Itu pertaruhan yang berbahaya. Likuiditas kita sekarang sangat rendah sampai dividen bulan depan cair."
"Aku tahu," Atlas memijat pelipisnya. "Tapi kadang kita harus membakar uang untuk menunjukkan siapa yang pegang korek api."
Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka.
Orion masuk dengan wajah ceria, masih memakai baju latihan tarinya.
"Kak Atlas!"
Wajah tegang Atlas langsung mencair. "Hei, Tuan Putri. Gimana latihannya?"
"Lancar! Madam Rosa bilang gerakanku makin luwes," Orion duduk di sofa, mengambil apel di meja. "Eh, tadi aku lihat ada bule-bule lari keluar muka pucat. Kenapa, Kak? Dikejar hantu?"
Atlas terkekeh. "Bukan hantu. Mereka cuma kaget lihat harga sewa kapal naik."
Orion tidak mengerti bisnis, tapi dia mengerti kakaknya. Dia melihat gurat lelah di wajah Atlas.
"Kakak jangan kerja terus dong," Orion mendekat, memijat bahu kakaknya. "Uang kita kan udah banyak. Nanti Kakak sakit."
Sentuhan kecil itu lebih menyembuhkan daripada Elixir apa pun.
"Kakak nggak capek kok. Asal kamu seneng," jawab Atlas.
"Oh iya, Kak. Soal ke Singapore minggu depan..." Orion ragu sejenak. "Boleh nggak kalau kita berangkatnya agak awal? Aku mau jalan-jalan di Universal Studios dulu sebelum pentas."
Atlas tersenyum. "Boleh. Kita berangkat besok. Naik pesawat kita sendiri, jadi bebas mau jam berapa aja."
"Yey! Sayang Kakak!"
Atlas menatap adiknya yang bahagia. Uang triliunan yang baru saja dia habiskan untuk membeli perusahaan kapal itu? Worth it. Karena dengan menguasai logistik, dia memastikan tidak ada yang bisa mengganggu masa depan adiknya.