Jian Feng, seorang anak haram dari keluarga bejat, dipaksa menikahi Lin Xue, gadis cantik namun cacat dan sekarat.
Dipertemukan oleh takdir pahit dan dibuang oleh keluarga mereka sendiri, Jian Feng menemukan satu-satunya alasan untuk hidup: menyelamatkan Lin Xue. Ketika penyakit istrinya memburuk, Jian Feng, yang menyimpan bakat terpendam, harus bangkit dalam kultivasi. Ia berjanji: akan menemukan obat, atau ia akan menuntut darah dari setiap orang yang telah membuang mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agen one, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24- Kehangatan di Tengah Dingin
"Ambilkan air... dan periksa apakah ada tanaman obat..." perintah Jian Feng dengan mata terpejam.
Hening. Tidak ada suara langkah kaki. Hanya suara jangkrik yang mulai bernyanyi.
Jian Feng membuka satu matanya dengan kesal. "Hei, kenapa kau masih diam saja? Cepat laksan—"
Kata-katanya terhenti saat ia melihat Lin Xue menatapnya dengan wajah bingung campur sedih. Gadis itu menunjuk kakinya sendiri yang tergeletak tak berdaya di tanah.
"Jian Feng... a-aku kan tidak bisa berjalan," ucap Lin Xue pelan, takut membuat suaminya marah. "Kalau aku merangkak, mungkin butuh satu jam untuk sampai ke semak itu."
Jian Feng terdiam. Wajahnya yang pucat perlahan memerah, bukan karena demam, tapi karena malu. Benturan di kepalanya tadi sepertinya membuat otaknya sedikit bergeser.
"Oh... benar juga," gumam Jian Feng canggung. Ia berdeham keras untuk menutupi rasa malunya. "Ehem! Aku... aku hanya mengetes ingatanmu! Bagus, ternyata kau sadar diri."
Lin Xue menahan tawa melihat tingkah suaminya yang gengsian itu. "Iya, iya, Tuan Penguji."
Jian Feng mendengus. Ia mencoba bangkit, tapi tulang rusuknya menjerit protes. Namun, rasa haus Lin Xue adalah prioritas. Dengan susah payah, ia menggeser tubuhnya, menyeret kakinya yang patah mendekati sebuah tanaman talas liar yang daunnya menampung air embun malam.
Ia memetik daun lebar itu dengan hati-hati agar airnya tidak tumpah. Tangannya yang biasanya kokoh memegang pedang, kini gemetar hebat hanya untuk memegang daun.
Jian Feng kembali ke sisi Lin Xue. "Buka mulutmu."
"Aku bisa pegang sendi—"
"Tanganmu kotor bekas tanah. Kau mau sakit perut lalu aku harus menggendongmu bolak-balik buang air? Buka saja." potong Jian Feng ketus.
Lin Xue menurut. Jian Feng mendekatkan daun itu ke bibir Lin Xue, memiringkannya perlahan. Sikapnya sangat fokus dan serius, seolah-olah ia sedang meracik bom, bukan memberi minum.
Saat Lin Xue minum, sedikit air menetes dari sudut bibirnya, mengalir ke dagu.
Tanpa pikir panjang, Jian Feng mengulurkan ibu jarinya dan menyeka tetesan air itu dengan lembut, lalu secara tidak sadar menjilat sisa air di jempolnya sendiri.
"Manis..." gumam Jian Feng pelan, merujuk pada rasa air embun itu.
Wajah Lin Xue langsung meledak merah seperti kepiting rebus. Jantungnya berdegup kencang melihat gerakan sensual yang tidak disengaja itu. Dia... dia baru saja...
Jian Feng yang melihat wajah istrinya memerah, mengerutkan kening. "Kenapa wajahmu merah begitu? Kau demam?"
Tanpa peringatan, Jian Feng mendekatkan wajahnya. Ia menempelkan keningnya langsung ke kening Lin Xue untuk mengecek suhu tubuh. Jarak mereka hanya tinggal satu inci. Hembusan napas Jian Feng menerpa wajah Lin Xue.
Lin Xue mematung, matanya melotot, napasnya tertahan.
"Suhumu normal," kata Jian Feng datar, lalu menarik wajahnya kembali. "Dasar aneh. Jangan sakit, obat mahal."
"K-kau yang aneh!" cicit Lin Xue, memalingkan wajahnya yang panas.
Malam semakin larut, dan udara hutan berubah menjadi menusuk tulang. Pakaian mereka berdua robek-robek dan tipis. Lin Xue mulai menggigil, giginya bergemerutuk.
Jian Feng melihat itu. Ia menghela napas panjang, seolah menghadapi masalah dunia yang paling berat.
"Sini." perintahnya.
"Apa?"
"Mendekat. Kau mau mati beku?"
Jian Feng menarik tubuh kecil Lin Xue, menyandarkannya di dadanya (di sisi yang tulang rusuknya tidak terlalu parah), lalu melingkarkan lengannya yang kekar dan hangat di tubuh istrinya. Ia bahkan menarik sisa jubahnya yang compang-camping untuk menutupi bahu Lin Xue, membiarkan punggungnya sendiri terekspos angin malam.
"Jian Feng... kau tidak kedinginan?" tanya Lin Xue cemas.
"Kultivator sepertiku memiliki api kehidupan yang kuat. Angin sepoi-sepoi begini tidak ada apa-apanya." bual Jian Feng, padahal bibirnya sendiri sudah sedikit biru kedinginan.
Lin Xue tahu dia berbohong, tapi ia memilih diam dan menikmati kehangatan itu. Ia menyusupkan kepalanya di ceruk leher Jian Feng, merasa sangat aman.
Suasana menjadi hening dan romantis. Cahaya bulan menerobos celah dedaunan.
"Jian Feng..." bisik Lin Xue.
"Hm?"
"Terima kasih."
"Berisik. Tidurlah."
KRIUUKKK...
Tiba-tiba, suara gemuruh yang sangat tidak romantis terdengar nyaring. Bukan dari langit, tapi dari perut Lin Xue.
Keheningan pecah. Suasana syahdu itu hancur berkeping-keping.
Jian Feng menunduk, menatap perut Lin Xue dengan tatapan datar. "Apa kau menyimpan macan di dalam perutmu?"
Lin Xue menutup wajahnya dengan kedua tangan karena malu setengah mati. "I-itu... aku lapar..."
Jian Feng tertawa kecil. Tawa yang tulus, bukan tawa gila ataupun tawa dingin. "Hah... Kau ini benar-benar perusak suasana."
Ia meraba Cincin Penyimpanannya, tapi isinya kosong melompong. Semua bekal habis, dan sisa harta karun hancur saat pertarungan. Namun, tangannya menyentuh sesuatu yang kecil dan keras di saku celananya yang robek.
Ia mengeluarkannya. Itu adalah satu butir manisan Tanghulu yang tersisa dari tusuk terakhir, yang sempat ia simpan di saku karena Lin Xue tidak menghabiskannya saat di kota. Manisan itu sudah agak penyok dan gulanya meleleh lengket, penuh debu saku.
"Ini." Jian Feng menyodorkan manisan penyok itu.
"Itu... kan sudah kotor." kata Lin Xue ragu.
Jian Feng dengan santai meniup debu di manisan itu, lalu mengelapnya ke bajunya yang penuh darah kering. "Nah, sudah bersih. Makanlah. Ini manisan terenak di dunia karena ini satu-satunya yang kita punya."
Lin Xue tertawa mendengar logika itu. Ia membuka mulutnya, dan Jian Feng menyuapinya.
Rasa manis bercampur sedikit rasa debu dan kain baju memenuhi mulut Lin Xue. Tapi anehnya, itu terasa lebih enak dari makanan restoran mewah manapun.
"Enak?"
"Enak." jawab Lin Xue tersenyum manis.
Jian Feng menatap bibir Lin Xue yang mengunyah. Tanpa sadar ia bergumam pelan. "Baguslah kalau manis. Setidaknya hidup kita tidak terlalu pahit."
"Apa kau bilang sesuatu?"
"Aku bilang cepat tidur! Kau berat, kakiku kesemutan!" bohong Jian Feng, padahal ia sama sekali tidak berniat melepaskan pelukannya.
Lin Xue terkekeh pelan dan memejamkan matanya, tertidur di dalam pelukan suaminya yang kasar, galak, tapi sangat hangat.
Jian Feng tetap terjaga, menatap kegelapan hutan dengan mata waspada, menjaga harta berharganya yang sedang tidur pulas, sambil sesekali mengeratkan pelukannya saat angin berhembus.