Satu janji, satu rahim, dan sebuah pengorbanan yang tak pernah ia bayangkan.
Nayara menjadi ibu pengganti demi menyelamatkan nyawa adiknya—tapi hati dan perasaan tak bisa diatur.
Semakin bayi itu tumbuh, semakin rumit rahasia, cinta terlarang, dan utang budi yang harus dibayar.
Siapa yang benar-benar menang, ketika janji itu menuntut segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Sea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24 — Ketakutan Lama
Sore perlahan berubah menjadi malam. Langit di atas panti berwarna biru tua, disikat garis oranye terakhir sebelum matahari benar-benar tenggelam. Udara dingin setelah hujan menempel di kulit, meninggalkan rasa lembap yang sunyi.
Nayara masih berdiri di halaman panti, surat dari Santoso Group tergenggam erat di tangannya. Kertas itu bergetar—bukan karena angin, tapi karena jemarinya sendiri.
Nama itu masih tertancap di kepalanya seperti paku yang dipukul berulang-ulang.
Rendra Wijaya Santoso.
Sepuluh tahun.
Sepuluh tahun tanpa kabar.
Sepuluh tahun tanpa jejak.
Dan sekarang… muncul sebagai direktur program yang ingin bertemu “wali Aru”.
Nadim berdiri di belakangnya, menatapnya seperti seseorang yang siap menahan badai dengan tubuhnya sendiri. “Kak… kita harus tenang dulu. Jangan bikin keputusan sekarang.”
“Aku nggak bisa…” Nayara menutup mata, berusaha bernapas. “Nadim… dia—dia bisa ambil Aru kapan saja.”
“Tapi Kak, itu cuma surat pertemuan. Belum tentu dia tahu. Belum tentu dia cari Aru.”
Nayara menatapnya dengan mata yang memerah. “Nama Aru masuk program beasiswa. Nama aku ditulis sebagai wali. Dan yang minta ketemu langsung itu dia. Itu bukan kebetulan, Dim.”
Nadim terdiam.
Beberapa anak memanggil-manggil dari kejauhan, tapi dunia Nayara seperti mengecil. Semua suara jadi jauh. Lampu-lampu panti terlihat seperti cahaya kabur.
Aru mendekati mereka, membawa robot kardus kecil yang dibuatnya siang tadi.
“Ibu, liat… aku kasih cat biru di bagian kepalanya. Mirip helm luar angkasa, kan?”
Senyum Aru begitu murni. Begitu polos.
Begitu tidak tahu apa-apa tentang dunia orang dewasa yang menakutkan.
Nayara mengusap kepala anak itu dengan tangan gemetar. “Bagus banget, sayang…”
Aru mengangguk bangga lalu kembali berlari ke temannya.
Begitu punggung kecil itu menjauh, tubuh Nayara melemas. “Dim… kalau Rendra lihat Aru… dia akan tahu.”
“Belum tentu.”
“Nadim.”
Suara Nayara serak.
Ia menatap Nadim seperti seseorang yang baru saja kehilangan pegangan.
“Wajah Aru… semakin hari semakin mirip. Kamu lihat sendiri.”
Nadim menunduk. Ia tidak bisa menyangkal itu.
Anak itu memang… cerminan yang hampir tak terbantahkan.
Malam jatuh dengan cepat.
Ruang makan panti sudah kosong, hanya tersisa beberapa gelas dan piring yang belum dicuci. Lampu kuning menggantung di tengah ruangan, menciptakan bayangan panjang di lantai keramik yang dingin.
Nayara duduk sendirian di meja panjang, menatap formulir surat itu sekali lagi.
Besok pagi, panti diminta mengonfirmasi jadwal pertemuan.
Besok. Begitu cepat.
Begitu tiba-tiba.
Pintu ruang makan terbuka. Bu Lilis masuk sambil membawa map.
“Nayara, kamu masih di sini? Saya pikir sudah pulang.”
Nayara tersentak. “Eh… iya, Bu. Saya cuma… mikirin ini.”
Ia menunjuk surat itu.
Bu Lilis menghela napas panjang, lalu duduk di seberangnya.
“Yara, saya tahu kamu kaget. Tapi percayalah… ini kesempatan besar. Selama saya memimpin panti ini, nggak pernah ada donatur sebesar ini datang.”
“Iya, Bu… saya paham.”
“Tapi kamu kelihatan takut. Kenapa? Ada masalah?”
Pertanyaan sederhana.
Namun bagi Nayara, itu seperti pisau kecil yang menyentuh luka lama.
Nayara menggigit bibir. “Saya cuma… belum siap. Kalau bisa… saya mau izin beberapa hari, Bu. Mungkin… cuti sementara.”
Bu Lilis terkejut. “Cuti? Sekarang? Dalam waktu secepat ini?”
Nayara mengangguk pelan. “Saya… kurang sehat.”
Bu Lilis menatap wajah Nayara lebih lama, seolah menilai apakah yang di depannya sedang berkata jujur atau hanya mencari alasan.
“Nayara…” suara Bu Lilis melembut. “Saya mengerti kamu lelah. Tapi kita nggak bisa kehilangan staf di minggu ini. Persiapan kedatangan donatur besar itu luar biasa banyak.”
“Tapi Bu—”
“Saya butuh kamu.”
Nada suaranya berubah serius.
“Dan Aru juga. Donatur mau bertemu anak itu. Kita nggak bisa jalan tanpamu.”
Nayara membeku.
Bu Lilis melanjutkan, “Kalau kamu butuh waktu, saya bisa kasih istirahat dua jam besok pagi. Tapi kamu harus datang saat pertemuan berlangsung. Mohon mengerti.”
Kata-kata itu jatuh seperti palu terakhir.
Nayara menunduk. “Iya, Bu…”
Ketika ia keluar dari ruang makan, Nadim sudah menunggunya di depan pintu.
“Gimana?”
Nayara menggeleng. “Aku nggak bisa cuti.”
Nadim mengumpat pelan. “Kita harus cari jalan lain.”
Mereka berjalan ke teras. Angin malam menusuk kulit.
“Nadim…” Nayara merapatkan jaket. “Kamu pernah mikir… kalau dia tahu aku hamil dulu? Waktu aku pergi… dia kan nggak tahu apa pun. Tapi kalau dia lihat Aru sekarang…”
“Rendra bukan orang bodoh,” Nadim menyahut cepat. “Dia akan sadar.”
Nayara memejamkan mata.
Sepuluh tahun lalu, ia pergi dari rumah sakit tanpa pamit.
Tanpa penjelasan.
Tanpa memberikan kesempatan.
Ia menghilang dari semua radar keluarga Santoso.
Nomor telepon mati.
Alamat berubah.
Rekam medis disembunyikan.
Dan ia membesarkan Aru seorang diri, di tempat paling jauh dari dunia yang dulu menghancurkan hidupnya.
Kini, semua itu seperti sia-sia.
Nadim memperhatikan wajahnya lama-lama. “Kak… kamu harus kuat.”
“Aku capek, Dim.”
“Aku tahu. Tapi… aku sama kamu. Kita berdua.”
Nayara menghela napas yang seperti mengeluarkan luka lama.
“Aku cuma… takut kehilangan dia.”
Nadim menatap ke arah halaman, tempat anak-anak berlarian di bawah lampu luar. “Kak… Aru itu anak kamu. Nggak ada siapa pun yang bisa ganti itu. Termasuk dia.”
Nayara memeluk dirinya sendiri. “Kalau hukum ikut campur?”
“Hukum juga lihat situasi. Aru udah kamu rawat sepuluh tahun. Dia terdaftar sebagai anak asuhmu. Rendra nggak punya dokumen apa pun tentang Aru.”
Nayara mendongak. “Tapi dia punya kekuasaan, Dim.”
“Itu urusan nanti.” Nadim menguatkan suaranya. “Yang penting sekarang… kita siap.”
Hening sejenak.
Sampai lampu motor terdengar dari kejauhan.
Suara mesin itu pelan… tapi cukup untuk membuat Nayara menoleh refleks.
Lalu suara lain menyusul. Lebih berat.
Lebih mahal.
Nadim ikut menoleh.
Dari gerbang panti, seberkas cahaya mobil menembus gelap.
Mobil hitam. Mewah. Dengan plat nomor perusahaan.
Nayara mematung.
“Dim…” bisiknya, nyaris tak terdengar. “Itu… mobil donatur?”
Nadim berdiri cepat, tubuhnya tegang. “Harusnya besok. Bukan malam ini.”
Mobil itu melambat.
Lampunya menyorot halaman panti, memantul di kaca jendela.
Aru yang sedang duduk di ayunan langsung berdiri dan melambai—anak itu selalu ramah pada siapa pun.
Tapi Nayara refleks menarik Nadim.
“Ambil Aru,” katanya cepat. “Sekarang.”
“Baik.”
Nadim berlari ke arah ayunan.
Nayara menatap mobil itu seakan menatap sesuatu yang datang dari masa lalu.
Mobil berhenti tepat di depan gerbang.
Mesinnya mati.
Tidak ada yang keluar.
Belum.
Tapi cukup untuk membuat Nayara merasa seperti dunia menahan napas.
Ia mundur setengah langkah, punggungnya menyentuh dinding. Napasnya tidak beraturan.
“Jangan-jangan…” suaranya pecah.
Pintu mobil perlahan terbuka.