NovelToon NovelToon
ISTRI YANG DIPOLIGAMI

ISTRI YANG DIPOLIGAMI

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Poligami
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: Naim Nurbanah

Cinta sejati terkadang membuat seseorang bodoh karena dibutakan akal sehat nya. Namun sebuah perkawinan yang suci selayaknya diperjuangkan jika suami memang pantas dipertahankan. Terlepas pernah melakukan kesalahan dan mengecewakan seorang istri.

Ikuti kisah novel ini dengan judul
ISTRI YANG DIPOLIGAMI

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naim Nurbanah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6

Umar menatap Airin dengan mata yang sesekali mengerling, suaranya terdengar berat saat berkata,

"Airin, aku titip Nay lagi malam ini ya? Besok pagi aku akan jemput Nay seperti biasa."

Ada jeda sejenak, seolah kata-katanya menggantung di udara, dan dia ragu ingin menyampaikan sesuatu lebih dalam.

Setelah makan malam bersama Nay, dosen muda itu mengantar Nay pulang ke kontrakan Airin. Pintu yang tertutup rapat seakan menutup pula semua rasa tak nyaman yang mulai merayap di dada Airin.

Dalam diam, hatinya bergejolak, pikirannya berlari menebak-nebak.

"Apa Umar mulai curiga? Apa dia sudah tahu rahasiaku?"

Wajah Airin mengeras, bibirnya bergetar pelan. Tapi ia menarik napas panjang, berusaha membungkam kegelisahan itu.

"Mungkin aku cuma terlalu berlebihan. Umar pasti cuma sibuk dan cuma ingin memastikan Nay baik-baik saja," bisiknya lirih, mencoba menenangkan hati yang berontak.

Umar menatap Airin dengan rasa aneh yang sulit dijelaskan. Wajahnya kaku, matanya sesekali menghindar, seperti ada beban berat yang ia sembunyikan. Umar menggigit bibir bawahnya, berdebat dalam hati. Dia ingin bertanya, namun takut menyusup ke wilayah yang tak pantas.

“Semoga Airin baik-baik saja,” bisiknya lirih, lalu langkahnya berat meninggalkan rumah kontrakan itu, pikiran berkecamuk tak menentu.

“Umar, jangan khawatir, ya!” suara Airin terdengar gugup, berusaha menutupi kegelisahan yang sama. Aku mengerutkan dahi, suara hatiku naik pelan,

“Oh iya, kamu sebenarnya mau ke mana lagi?” tanya itu mengalir dari mulut tanpa sadar, didorong rasa ingin tahu yang mengganjal.

Beberapa hari terakhir, Umar seolah menghilang dari rumah kontrakan. Tetangga yang biasanya ramah malah terlihat saling bisik, menatap kosong ke arah pintu rumahnya.

"Ke mana ya dia?" suara tanya itu kerap terdengar di lorong.

Aku sendiri meremas-remas mug di tangan, hatiku dipenuhi rasa ingin tahu yang terus menggulung. Dalam diam, pikiranku melayang, menebak-nebak alasan Umar menghilang seperti ini. Apakah dia sedang menemui seseorang yang istimewa? Atau malah terjebak masalah yang berat hingga tak berani berbicara?

Hati ini gelisah, makin mendorongku untuk menemukannya dan membuka tabir misteri itu. Saat akhirnya kutemui Umar di acara pengkaderan organisasi kemahasiswaan Islam di pinggiran kota, kudengar suara serak dan suara nyamuk di sekeliling. Umar tampak lesu, menyeka keringat di dahinya yang basah.

"Di sini banyak nyamuk, Ai. Aku antar Nay di sini supaya dia bisa istirahat lebih tenang, gak terganggu," ujarnya sambil tersenyum tipis, tapi matanya terlihat sayu seolah menyimpan cerita yang belum siap ia bagi.

Umar menatap Airin dengan serius, lalu berkata pelan, "Mengingat kondisi acaranya, aku ingin Nay merasa lebih nyaman."

Airin mengangguk pelan, seolah bisa membaca kekhawatiran Umar soal nyamuk yang bisa mengganggu kesehatan Nay. Umar menarik napas dalam-dalam, matanya menatap jauh ke depan, berharap acara pengkaderan berjalan lancar dan Nay bisa beristirahat tanpa gangguan.

Di sudut ruangan, Nay duduk dengan hati berdebar, matanya tak lepas mengamati Umar. Rasa penasaran menggelitik, membuatnya tak kuasa menahan pertanyaan dalam hati,

"Kenapa aku harus di rumah Airin, bukan langsung ke lokasi pengkaderan?”

Pikiran itu berputar-putar, menggumpal menjadi kegelisahan yang samar tapi sulit diabaikan.

Nay duduk di pojok ruangan, pandangannya kosong menatap keramaian panitia yang sibuk berlalu-lalang. Sebenarnya, ia tak keberatan harus tidur berdesakan dengan mereka, tapi pikirannya terus berputar tak menentu. Dari sudut matanya, ia menangkap Umar yang sedang berbicara dengan suara serius, penuh penjelasan panjang lebar. Namun, suara itu seolah melayang di antara gumpalan kabut, sulit ia tangkap maknanya.

"Kenapa ya, mereka berusaha banget buat aku?" gumam Nay pelan, bibirnya bergetar sedikit.

Sesekali, ia mengerutkan kening, berusaha menembus tirai rahasia yang terasa mengekang. Ada sesuatu yang disembunyikan, sebuah alasan yang lebih dalam dan penting dari sekadar niat baik. Hatinya mulai risau, tapi ia tak tahu harus bagaimana menggali kebenaran itu.

Setelah berbincang panjang, Nay dan Airin saling menatap lelah sebelum akhirnya sepakat untuk beristirahat. Airin melangkah ke kamar Nay dengan hati-hati, tangannya sibuk merapikan kasur dan menata bantal seolah takut ada yang kurang.

"Semoga dia bisa tidur nyenyak di sini," gumamnya pelan, matanya menyapu sudut kamar yang sederhana tapi rapi. Di balik senyum tipisnya, ada kekhawatiran yang sulit disembunyikan.

"Apa kamar ini cukup nyaman untuknya? Jangan-jangan aku malah bikin dia gak betah..." pikir Airin sambil menarik napas dalam-dalam.

Di sisi lain, di kamar sebelah, Nay mencondongkan badan ke dinding, rasa lega perlahan mengisi dadanya. Meski baru beberapa jam saling mengenal, ada sesuatu yang membuatnya merasa hangat dan aman saat berbicara dengan Airin, sesuatu yang tidak mudah ia temukan di tempat lain.

Nay merebahkan tubuhnya di kasur yang hangat, mata menatap langit-langit kamar yang sederhana tapi terasa nyaman, hasil perhatian Airin yang tak pernah dia sangka.

"Kenapa ya, aku merasa sudah kenal Airin sejak lama?" gumamnya dalam hati, jari-jarinya menyentuh lembut bantal yang masih beraroma wangi sabun mandi itu.

Rasa hangat dan perhatian dari Airin membuat hatinya bergetar, tapi di balik itu, ada pertanyaan samar yang terus mengusik pikirannya. Sebelum menyerah pada kantuk yang merayap, Nay meraih ponselnya yang tergeletak di samping. Layar kecil itu tiba-tiba menyala, memancarkan cahaya biru lembut yang langsung menarik perhatiannya.

Beberapa pesan baru berdatangan, membuat alisnya sedikit mengernyit penasaran. Ada dari Umar dan juga Adam. Ia membalik layar satu per satu, jari-jemarinya bergerak cekatan. Pesan dari Umar singkat tapi manis, membuat senyum kecil muncul di bibir Nay.

"Ini malah bikin aku makin bingung, deh," pikir Nay sambil mengusap pelan wajahnya, campuran antara rasa hangat dan sedikit dilema mengisi dadanya.

Umar memang selalu jadi sumber tawa, tingkahnya yang kocak dan polos kadang datang di saat-saat sulit. Nay menatap layar ponselnya, senyum kecil terbit di bibirnya. Namun tiba-tiba, hatinya berdetak lebih cepat saat melihat notifikasi pesan dari Adam. Wajah Adam yang biasanya dingin dan pendiam bertolak belakang dengan Umar yang ceria.

"Apa ya isi pesan ini? Ada apa sampai dia kirim sekarang?" pikir Nay, dadanya berdebar campur cemas.

Nay menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri sebelum membuka pesan itu. Jantungnya berdegup semakin cepat saat jarinya menyentuh layar. Begitu kalimat-kalimat itu muncul, matanya berbinar tak percaya. Perasaan yang tak pernah ia sangka mulai tumbuh, menggeliat dalam dadanya.

“Kenapa Adam bisa seperti ini?” gumam Nay pelan, mengulang isi pesan di benaknya.

Dengan rasa syukur, Nay menutup ponsel dan menghela napas lega. Pesan itu seperti jendela baru yang membuka sisi lain Adam yang selama ini tersembunyi, memberinya harapan dan kehangatan di malam yang sepi.

Nay duduk termenung, matanya menatap layar ponsel dengan fokus yang berat. Pesan dari Umar masih berputar di pikirannya, mencoba dia pahami satu per satu maksud tersembunyi di balik kata-kata itu.

"Mungkin memang saatnya aku mencoba melihat sisi lain mereka..." gumamnya pelan, suara hati yang tak berani ia lantangkan.

Napas panjang terhempas dari dadanya, mengiringi senyum kecil yang merekah di bibirnya. Tangannya menggenggam erat ponsel seolah itu adalah pegangan hidupnya.

"Terima kasih, Mas Umar," bisik hati Nay penuh rasa syukur, sebelum akhirnya ia memejamkan mata dan membayangkan mimpi indah menantinya.

Namun, jauh di dalam hatinya, bayang-bayang keraguan dan cemburu mulai menggerogoti. Foto-foto yang dikirim Adam seperti jarum tajam menusuk. Pandangannya tertuju pada satu gambar yang membuat dadanya sesak: Umar bersama seorang wanita, Citra, calon dokter yang sudah lama dikenal Nay.

Rasa cemburu itu mencubit hatinya dengan perih, meski ia berusaha mengusirnya, pikiran buruk itu terus merayap, menorehkan tanda tanya di relung jiwanya yang paling dalam.

Aku menatap foto itu berulang kali, mata tak lepas dari sosok Umar yang duduk bersama Citra. Ada sesuatu yang menggelitik di dadaku, campuran cemas dan rasa penasaran yang susah dijelaskan. Kenapa Umar bisa bersama dia? Apa mereka sudah saling mengenal lama, atau ini baru pertemuan pertama?

Dalam hatiku, pertanyaan itu berputar tanpa henti, membuat dada terasa sesak. Kulihat senyum lembut Umar dalam foto itu, tapi aku tak tahu apakah di balik senyum itu tersembunyi rasa bersalah atau malah kebahagiaan. Jantungku berdegup lebih kencang saat bayangan kemungkinan-kemungkinan buruk mulai merayap masuk, mungkinkah ada sesuatu yang kuketahui? Aku menelan ludah, meragu.

“Haruskah aku tanya langsung ke Umar? Atau cari tahu dulu dari yang lain?” pikirku, sambil jari kugesek-gesek permukaan meja, menahan gelisah. Rasa cemburu mulai menyelinap, mendorongku untuk tahu siapa sebenarnya Citra, wanita yang kini tak lepas dari pikiranku.

Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalaku, menusuk tanpa henti. Apakah dia benar-benar lebih baik dariku? Bisakah dia memberi Umar kebahagiaan yang tak pernah bisa aku raih? Dadaku sesak, cemburu merayap seperti racun yang pelan tapi pasti menenggelamkan setiap harapan.

Aku menghela napas dalam-dalam, mencoba meredam gelombang perasaan yang bergemuruh di dalam. Dengan gemetar, aku memutuskan untuk mencari tahu tentang Citra dan hubungannya dengan Umar terlebih dahulu, sebelum aku kehilangan kendali dan berkata sesuatu yang aku sesali. Semoga aku bisa melawan rasa cemburu ini dan bicara dengan Umar nanti, tanpa melukai diri sendiri atau dia.

1
Shaffrani Wildan
bagus
Dhani Tiwi
kasuhan nay... tinggal aja lah si umar nay..cari yang setia.
tina napitupulu
greget bacanya thorr...gak didunia maya gak didunia nyata banyak kejadian serupa../Grievance/
Usman Dana
bagus, lanjutkan
Tini Hoed
sukses selalu, Thor
Ika Syarif
menarik
Sihna Tur
teruslah berkarya Thor
Guna Yasa
Semangat Thor.
NAIM NURBANAH: oke, terimakasih
total 1 replies
Irma Kirana
Semangat Mak 😍
NAIM NURBANAH: Terimakasih banyak, Irma Kirana. semoga nular sukses nya seperti Irma menjadi penulis.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!