NovelToon NovelToon
Suami Setengah Pakai

Suami Setengah Pakai

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: Aluina_

Aku terbiasa diberikan semua yang bekas oleh kakak. Tetapi bagaimana jika suaminya yang diberikan kepadaku?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aluina_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 4

Dua hari. Selama dua hari penuh aku mengurung diri di dalam kamar. Kamarku yang sempit kini telah menjelma menjadi benteng pertahanan sekaligus sel isolasi. Aku menolak makan, menolak bicara. Satu-satunya komunikasiku dengan dunia luar adalah melalui gelegar musik dari pengeras suara yang sengaja kusetel sekencang mungkin, berharap bisa meredam suara-suara dari balik pintu.

Suara Ibu yang awalnya bernada perintah, perlahan berubah menjadi bujukan, lalu menjadi isak tangis frustrasi. Suara Kak Binar yang memanggil namaku dengan nada lirih dan penuh kepalsuan. Bahkan suara Ayah yang biasanya berwibawa, kini terdengar lelah dan memohon. Aku menulikan telinga untuk mereka semua.

Perutku melilit karena lapar, kepalaku pening karena kurang tidur dan dehidrasi. Tapi rasa sakit fisik itu tidak ada apa-apanya dibandingkan badai yang berkecamuk di dalam dadaku. Tamparan Ibu masih terasa membekas di pipi, tapi lukanya lebih dalam di hati. Permintaan gila itu terus terngiang di kepalaku, seperti kaset rusak yang diputar berulang-ulang.

Menikah dengan Mas Danu. Menjadi istri kedua. Mengandung anaknya.

Setiap kata adalah belati yang mengoyak kewarasanku. Mereka tidak memintaku berkorban. Mereka memintaku untuk bunuh diri secara perlahan. Membunuh semua mimpiku, harapanku, dan hakku untuk bahagia.

Pada pagi hari ketiga, keheningan di luar pintu terasa aneh. Tidak ada lagi ketukan atau panggilan. Musikku sudah mati sejak semalam karena aku terlalu lemas untuk menyalakannya lagi. Aku berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit, merasa hampa.

Kemudian, terdengar ketukan pelan. Berbeda dari sebelumnya. Ketukan ini tidak menuntut, melainkan ragu-ragu.

"Arini ...."

Itu suara Ayah. Lembut dan sarat akan kelelahan.

Aku tidak menjawab. Kutarik selimut hingga menutupi kepala.

"Nak ... Ayah mohon. Buka pintunya sebentar. Ayah tidak akan marah. Ayah hanya ingin bicara, sebagai ayah kepada putrinya."

Ada sesuatu dalam suaranya yang membuat pertahananku goyah. Sesuatu yang begitu tulus dan menyedihkan. Dengan sisa tenaga yang kumiliki, aku bangkit dari tempat tidur. Kakiku gemetar saat berjalan menuju pintu. Tanganku bergetar saat memutar kunci.

Pintu terbuka. Ayah berdiri di sana, tampak sepuluh tahun lebih tua. Punggungnya yang biasanya tegap kini sedikit membungkuk. Ada kerutan-kerutan baru di sekitar matanya yang sayu. Di tangannya ada sebuah nampan berisi semangkuk bubur hangat dan segelas teh.

"Makan dulu, ya? Kamu belum makan apa-apa dari kemarin," katanya pelan.

Aku menyingkir, memberinya jalan untuk masuk. Ia meletakkan nampan itu di meja belajarku. Aku kembali duduk di tepi ranjang, memeluk lututku sendiri.

Ayah tidak langsung bicara. Ia menarik kursi belajar dan duduk di hadapanku. Ia menatapku lama, tatapan yang dipenuhi kesedihan dan rasa bersalah.

"Maafkan Ibu-mu, ya," ucapnya akhirnya. "Dia tidak bermaksud begitu. Dia hanya ... panik. Dia sangat takut kehilangan Binar."

Aku tetap diam.

"Ayah tahu, apa yang kami minta itu... mustahil," lanjutnya, suaranya serak. "Tidak ada orang tua waras yang tega meminta putrinya melakukan hal seperti itu. Ayah merasa gagal, Rin. Gagal sebagai kepala keluarga. Ayah tidak bisa melindungi kalian dari rasa sakit."

Setetes air mata jatuh di punggung tangannya yang keriput. Melihat Ayah menangis adalah pemandangan yang menghancurkan hatiku. Seumur hidupku, aku belum pernah melihatnya meneteskan air mata.

"Kakakmu ... kondisinya semakin menurun sejak dokter memberinya vonis itu," katanya lagi. "Bukan hanya fisiknya, tapi semangat hidupnya. Dia tidak mau makan, tidak mau bicara. Dia hanya menangis sepanjang malam. Mas Danu juga bingung harus bagaimana. Ayah takut ... Ayah takut dia akan melakukan hal nekat."

Perutku terasa mual. Ini dia. Kartu truf yang selalu mereka gunakan rasa bersalah.

"Kenapa harus Arin, Yah?" bisikku, pertanyaan itu akhirnya lolos dari bibirku yang kering. "Kenapa selalu Arin yang harus mengalah?"

Ayah menghela napas panjang. "Karena hanya kamu yang bisa, Nak. Kamu adiknya. Kamu bagian dari keluarga ini. Ayah tidak memaksamu. Percayalah, jika ada cara lain, Ayah akan menempuhnya walaupun harus menjual seluruh harta kita. Tapi ini bukan soal uang."

Ia menatapku lurus ke dalam mata. "Ayah hanya minta satu hal. Pertimbangkanlah. Bukan sebagai perintah, tapi sebagai sebuah permohonan. Pikirkan ini bukan sebagai pengorbanan untuk kakakmu, tapi sebagai cara untuk menolongnya yang sedang berdiri di ujung jurang. Pikirkanlah nasib Danu yang begitu mencintai kakakmu. Dan pikirkanlah Ayah dan Ibumu yang sudah tua ini."

Setelah mengatakan itu, ia bangkit. Ia mengusap kepalaku dengan lembut, seperti yang biasa dilakukannya saat aku kecil. "Makanlah buburnya selagi hangat."

Lalu ia pergi, meninggalkanku sendirian dengan dilema yang kini terasa seribu kali lebih berat. Tangisan Ayah dan permohonannya telah meruntuhkan sebagian besar dinding bentengku. Amarahku yang membara kini mulai padam, menyisakan bara api kebingungan dan rasa bersalah yang menyakitkan.

Aku butuh udara. Merasa tercekik di dalam kamar, aku memutuskan untuk keluar. Bukan untuk menyerah, tapi untuk mencari ruang bernapas. Aku menyelinap keluar melalui pintu belakang, menuju taman kecil di samping rumah.

Duduk di bangku kayu yang dingin, aku mencoba menjernihkan pikiran. Tapi bayangan wajah Ayah yang menangis terus menghantuiku.

"Arini."

Suara itu membuatku terlonjak. Mas Danu berdiri beberapa meter dariku, di dekat pohon mangga. Dia tampak sama kacaunya denganku. Kemejanya kusut, rambutnya acak-acakan, dan ada lingkaran hitam pekat di bawah matanya.

Ini pertama kalinya kami berdua saja sejak "pertemuan keluarga" itu.

"Bisa kita bicara sebentar?" tanyanya.

Aku tidak menjawab, hanya menatapnya tajam.

Dia mengerti itu sebagai persetujuan dan berjalan mendekat, tapi menjaga jarak. Dia tidak duduk di sampingku.

"Aku tahu, kamu pasti sangat membenciku sekarang," mulainya. "Dan kamu berhak untuk itu."

"Benci itu kata yang terlalu ringan, Mas," desisku dingin.

Dia meringis, seolah kata-kataku adalah tamparan fisik. "Aku... aku minta maaf. Atas nama Binar, atas nama orang tuamu, dan atas namaku sendiri. Seharusnya kami tidak pernah memintamu melakukan ini."

Ada secercah harapan dalam hatiku. "Kalau begitu, batalkan ide gila ini. Katakan pada mereka kalau Mas nggak setuju."

Dia menggeleng pelan. Harapan itu langsung padam. "Aku tidak bisa."

"Kenapa tidak bisa?" tuntutku, berdiri menghadapnya. "Mas ini laki-laki, kan? Suami! Harusnya Mas yang mengambil keputusan, bukan malah terseret dalam drama istri Mas!"

"Justru karena aku suaminya, aku tidak bisa melakukannya!" balasnya, suaranya meninggi, dipenuhi frustrasi. "Kamu tidak lihat bagaimana kondisinya, Arini? Dia hancur! Dia merasa tidak berharga sebagai wanita, sebagai istri. Harapan untuk punya anak adalah satu-satunya hal yang membuatnya bertahan. Kalau aku mengambil harapan itu darinya, sama saja aku membunuhnya!"

"Jadi Mas lebih memilih membunuh masa depan saya?"

Pertanyaanku menohoknya. Dia terdiam, rahangnya mengeras.

"Apa Mas nggak mikirin perasaan saya sama sekali?" lanjutku, suaraku bergetar karena emosi. "Saya ini manusia, Mas. Punya mimpi, punya harapan. Saya mau menikah dengan orang yang mencintai saya, bukan menjadikan saya mesin pabrik anak! Saya bukan cuma rahim berjalan!"

"Maafkan aku, Arini," ucapnya lirih, tatapannya penuh dengan rasa sakit dan rasa bersalah yang tak tertolong. "Aku tahu ini tidak adil. Sangat tidak adil. Tapi saat ini ... jujur ... aku tidak bisa memikirkan hal lain selain istriku. Keselamatannya adalah prioritasku."

Jawaban itu adalah paku terakhir untuk peti mati harapanku. Begitu jelas. Begitu terang. Aku tidak penting. Perasaanku tidak ada artinya. Di matanya, dan di mata seluruh keluargaku, aku hanyalah alat. Sebuah solusi untuk sebuah masalah.

Aku tertawa, tawa pahit yang terasa seperti racun di kerongkonganku. "Begitu, ya. Baiklah. Sekarang saya mengerti posisi saya di mana."

Aku berbalik, hendak meninggalkannya. Aku tidak tahan lagi melihat wajahnya, wajah pria yang akan menjadi sumber penderitaanku.

Malam itu, saat aku sedang menatap kosong ke luar jendela, pintu kamarku diketuk lagi. Aku sudah terlalu lelah untuk mengabaikannya.

"Masuk," kataku tanpa menoleh.

Pintu terbuka. Kak Binar masuk. Penampilannya membuatku terkejut. Dia mengenakan piyama kebesaran, wajahnya pucat pasi tanpa riasan, rambutnya diikat asal-asalan. Dia tampak ... hancur. Ini bukan akting. Ini nyata.

Dia berjalan ke arahku dengan langkah gontai. Tanpa aba-aba, dia berlutut di kakiku.

"Kak! Apa-apaan ini!" Aku kaget, refleks mencoba membuatnya berdiri.

"Arin... maafkan aku," isaknya, memeluk kakiku. Air matanya membasahi celana piyamaku. "Maafkan aku, Dek. Aku egois. Aku kakak yang jahat."

Aku terpaku, tidak tahu harus berbuat apa.

"Lupakan saja semua ini, ya?" lanjutnya di sela isak tangisnya. "Lupakan permintaan gila itu. Aku salah. Aku nggak seharusnya menyeretmu ke dalam penderitaanku."

Aku menatap puncak kepalanya, bingung. Apa ini taktik baru?

"Aku ... aku sudah bicara sama Mas Danu," katanya, mengangkat wajahnya yang basah oleh air mata. "Aku akan relakan dia, Rin. Aku akan minta cerai."

Jantungku seakan berhenti berdetak. "Cerai?"

"Iya," angguknya lemah. "Dia berhak bahagia. Dia berhak punya anak dari wanita yang dia cintai. Aku nggak bisa terus mengikatnya dalam pernikahan tanpa masa depan ini. Aku nggak apa-apa. Aku bisa ... aku bisa urus diriku sendiri."

Dia mencoba tersenyum, tapi yang keluar hanyalah sebuah ringisan yang memilukan.

"Aku cuma mau kamu tahu, aku sayang sama kamu, Rin. Maafkan semua kesalahanku selama ini," bisiknya.

Setelah itu, matanya perlahan terpejam. Tubuhnya terkulai lemas di kakiku.

"Kak? Kak Binar!" Aku panik. Aku menepuk-nepuk pipinya. "Kak, bangun! Jangan bercanda!"

Dia tidak merespons. Tubuhnya terasa dingin. Napasnya terdengar dangkal.

"IBU! AYAH!" teriakku sekuat tenaga, panik dan ketakutan menjalari seluruh tubuhku. "TOLONG! KAK BINAR PINGSAN!"

Di lantai kamarku, dengan tubuh kakakku yang terkulai lemas di pangkuanku, aku sadar. Ini adalah langkah terakhirnya. Sebuah sekakmat. Dia tidak memberiku pilihan.

Jika aku tetap menolak, dan sesuatu yang buruk terjadi padanya, itu akan menjadi salahku. Darahnya akan ada di tanganku. Seumur hidupku, aku akan hidup dengan bayang-bayang bahwa aku membiarkan kakakku hancur karena keegoisanku.

Dia telah berhasil mendorongku ke ujung jurang. Dan kini, aku dihadapkan pada dua pilihan: melompat ke dalam jurang kehancuran itu sendirian, atau menariknya bersamaku, berharap kami berdua bisa selamat.

Dilema ini bukan lagi tentang gaun atau suami. Ini tentang nyawa. Dan aku, Arini, si spesialis barang bekas, kini dipaksa untuk menjadi pahlawan.

1
Ma Em
Akhirnya Arini sdh bisa menerima Danu dan sekarang sdh bahagia bersama putra putrinya begitu juga dgn Binar sdh menyadari semua kesalahannya dan sdh berbaikan , semoga tdk ada lagi konflik diantara Arini dan Binar dan selalu rukun 🤲🤲.
Ma Em
Arini keluargamu emang sinting tdk ada yg normal otaknya dari ayahmu ibumu juga kakakmu yg merasa paling benar .
Sri Wahyuni Abuzar
ini maksud nya gimana yaa..sebelumnya arini sudah mengelus perutnya yg makin membuncit ketika danu merakit ayunan kayu..kemudian chatingan sm binar di paris (jaga keponakan aku) ... lhaa tetiba baru mau ngabarin ke ortu nya arini bahwa arini hamil...dan janjian ketemu sama binar di cafe buat kasih tau arini hamil..
kan jadi bingung baca nya..
Sri Wahyuni Abuzar
danu yg nyetir mobil ke rumkit..ayah duduk di kursi samping danu..lalu binar dan ibu nya duduk di kursi belakang..pantas kalau arini bilang dia seperti g keliatan karena duduk di depan..di kursi depan bagian mana lagi yaa bingung aku tuuh 🤔
Noivella: makasih kak. astaga aku baru sadar typo maksudnya kursi paling belakang😭😭
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!