Indira mengagumi Revan bukan hanya karena cinta, tetapi karena kehormatannya. Revan, yang kini memeluk Kristen setelah melewati krisis identitas agama, memperlakukan Indira dengan kehangatan yang tak pernah melampaui batas—ia tahu persis di mana laki-laki tidak boleh menyentuh wanita.
Namun, kelembutan itu justru menusuk hati Indira.
"Untukku, 'agamamu adalah agamamu.' Aku tidak akan mengambilmu dari Tuhan-mu," ujar Revan suatu malam, yang di mata Indira adalah kasih yang dewasa dan ironis. Lalu ia berbisik, seolah mengukir takdir mereka: "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku."
Kalimat itu, yang diambil dari Kitab Suci milik Indira sendiri, adalah janji suci sekaligus belati. Cinta mereka berdiri tegak di atas dua pilar keyakinan yang berbeda. Revan telah menemukan kedamaiannya, tetapi Indira justru terombang-ambing, dihadapkan pada i
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blcak areng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Bawah Restu dan Peringatan
Pagi itu, suasana meja makan terasa lebih ringan setelah kepergian Gus Ammar Fikri semalam. Namun, ketegasan Ammar tentang KPI kesehatan masih terasa menempel. Aku berusaha keras mengambil porsi nasi yang lebih banyak, demi menghindari audit tak terduga dari Bunda atau Ayah.
"Ayah, Bunda," kataku setelah menghabiskan suapan terakhirku. Aku menegakkan punggung, meniru cara Ammar, untuk menunjukkan keseriusanku. "Indira harus datang ke acara kolaborasi antar-kampus hari ini."
Ayah Bimo meletakkan koran paginya. "Oh, iya? Acara apa, Nak?"
"Acara besar, Yah. Dewan Mahasiswa dan tim Linguistik Sosial diamanahkan untuk menjadi tuan rumah bagi acara kolaborasi dengan Universitas Wijaya Krama," jelas ku, menyebut nama kampus Revan dengan sedikit tercekat. "Temanya tentang Jembatan Antar Perbedaan semacam dialog kebangsaan dan toleransi. Rapat perdana sekaligus launching-nya hari ini."
Aku menunggu reaksi Ayah. Aku tahu, menyebut nama Wijaya Krama bisa memicu penolakan karena Ayah tahu betul latar belakang Revan.
Ayah Bimo terdiam sejenak. Matanya menatapku lurus, tidak ada senyum. "Universitas Wijaya Krama?"
"Iya, Yah," sahutku pelan.
Ayah menarik napas panjang. Ekspresinya melunak, kembali ke wibawa seorang akademisi yang menjunjung tinggi tugas. "Itu acara resmi dan penting. Apalagi temanya sangat sensitif dan konstruktif bagi bangsa. Ayah tidak bisa melarang mu."
Aku merasakan kelegaan yang luar biasa. Ayah memberiku izin!
"Tapi, dengarkan Ayah baik-baik, Nak," potong Ayah Bimo, suaranya kembali tajam dan menusuk. "Kamu pergi atas nama tugas universitas, bukan atas nama pribadimu yang labil."
Ia menggeser piringnya ke samping dan bersandar ke kursi. Bunda Fatma hanya diam, mengawasi kami dengan tatapan penuh makna.
"Kamu adalah calon istri seorang Gus, Nak. Kamu sudah melewati Garis Batas kehidupanmu yang lama. Taarufmu dengan Gus Ammar Fikri adalah ikatan komitmen. Ayah tidak akan menanyakan siapa saja yang ada di sana, tetapi Ayah ingin kamu ingat satu hal. Ammar adalah pria yang berilmu, dan dia pasti tahu bahwa fitnah terbesar adalah pandangan yang tak terjaga."
Ayah menunjukku dengan sendok. "Di matanya, kamu adalah investasi masa depannya. Kamu adalah aset yang harus stabil, baik secara fisik, spiritual, maupun emosional. Jika dia mendengar satu pun laporan, sekecil apa pun, yang merusak citra dirimu sebagai calon istrinya sebagai seorang wanita yang move on maka Ayah yang akan menarikmu keluar dari kampus."
"Ayah mengizinkanmu pergi. Ayah percaya pada profesionalismemu. Tapi Ayah juga percaya pada kelemahan hati yang belum tuntas. Jaga pandanganmu, Nak. Jaga kehormatan dirimu. Karena kehormatanmu, saat ini, adalah cerminan dari komitmenmu pada Ammar."
Aku mengangguk cepat. "Indira mengerti, Yah. Terima kasih. Indira janji, ini murni tugas."
Peringatan Ayah Bimo bukanlah larangan fisik, melainkan perintah moral yang jauh lebih berat. Aku tahu, jika aku sampai bertemu Revan, itu akan menjadi ujian terberat dari komitmen yang baru sehari kkubangun.
Sore harinya, aku tiba di Auditorium Utama Universitas Abdi Negara. Tempat itu sudah ramai dengan perwakilan BEM dan Dewan Mahasiswa dari berbagai fakultas. Di sisi lain, deretan kursi terdepan sudah diisi oleh delegasi tamu dari Universitas Wijaya Krama.
Aku mengambil tempat di barisan belakang dengan Neli dan Imel. Kedua sahabatku itu langsung sibuk berbisik.
"Lihat, Ra! Itu Revan!" bisik Imel, sambil menunjuk ke depan.
Aku menunduk, jantungku berdetak kencang, menolak untuk melihat. Garis Batas Keyakinan-ku berteriak, mengingatkanku pada suara merdu Ammar semalam. Jaga pandangan, jaga pandangan.
"Dia di barisan paling depan, Ra. Diapit oleh Rektorat mereka. Dia benar-benar pimpinan BEM di sana," tambah Neli, suaranya sedikit kecewa karena aku tidak merespons. "Dia kelihatan lebih... dewasa, ya."
Aku memaksa diriku untuk tidak mendongak. Aku hanya fokus pada layar proyektor di depan, berpura-pura membaca slide presentasi yang belum dimulai.
"Dia sudah lihat kamu, Ra," bisik Imel lagi. "Tadi dia noleh ke belakang. Wajahnya... campur aduk banget."
Perasaan aneh menyeruak. Rasa bersalah, rindu, dan rasa takut bercampur menjadi satu. Aku tahu aku harus profesional, tapi ini Revan! Pria yang kucintai, yang kuputuskan karena Garis Batas yang kini harus kujaga demi pria lain.
Aku akhirnya menyerah. Aku mengangkat pandanganku sedikit.
Di barisan paling depan, di kursi utama delegasi, duduklah Revan Elias Nugraha.
Dia mengenakan kemeja formal berwarna biru gelap, terlihat sangat resmi dan berwibawa, jauh dari kesan mahasiswa teologi yang suka main gitar di tepi danau. Dia sedang berbicara serius dengan Dekan kampusnya.
Namun, saat aku melihat, dia sedang menatapku.
Pandangan kami bertemu sejenak, tanpa sengaja, tetapi terasa seperti tabrakan dua galaksi.
Matanya yang dulu selalu hangat dan penuh cinta, kini terlihat pedih dan dipertanyakan. Ada kesedihan yang mendalam di sana, tetapi juga ada jejak rasa sakit dan ketidakmengertian.
Revan adalah orang yang mengerti perpisahan kami. Dia tahu tentang Garis Batas. Tapi melihatku di sana, duduk tenang di bawah perlindungan Ayah, seolah mengonfirmasi bahwa aku baik-baik saja dan siap melangkah, pasti menyakitinya.
Aku segera menundukkan pandanganku, wajahku memanas.
Cukup. Cukup Indira. Ingat janji Ayah. Ingat komitmen pada Ammar.
Aku menggenggam erat ponsel di pangkuanku, seolah benda itu adalah penangkal terhadap godaan. Pertemuan pertama ini baru dimulai, dan aku sudah merasa kakiku gemetar.
Aku baru tahu betapa sulitnya menjaga Garis Batas Keyakinan ketika masa lalu yang hangat datang dan berdiri sebagai bayangan dari masa depan yang dingin yang kini kujalani.
Acara kolaborasi antara Universitas Abdi Negara dan Universitas Wijaya Krama dimulai. Aku berusaha sekuat tenaga untuk fokus pada materi presentasi tentang pentingnya literasi dalam dialog multikultural, tetapi pikiranku terus terdistraksi oleh satu sosok: Revan Elias Nugraha.
Ia duduk di barisan depan, sibuk sesekali berbisik dengan delegasi kampusnya. Setiap kali ia bergerak atau berbicara, aku merasakan tatapan pedihnya mengarah ke belakang. Aku tahu, ia pasti masih bingung dan sakit hati melihatku begitu cepat kembali ke kehidupan normal setelah panggilan terakhir kami.
"Ra, lo kenapa pucat banget?" bisik Neli yang duduk di sampingku. "Acara belum selesai, lo enggak boleh pingsan di sini."
"Aku enggak apa-apa," bisikku kembali, meremas tanganku di bawah meja. "Aku cuma kurang tidur."
Aku tahu itu bohong. Aku takut. Takut jika Revan mendekat, takut jika ia menanyakan komitmenku, dan takut jika aku goyah dan menghancurkan semua yang telah Ayah dan Gus Ammar Fikri bangun.
Acara memasuki sesi istirahat. Para delegasi mulai berdiri dan berbaur. Ini adalah momen yang paling kutakutkan. Aku harus segera melarikan diri ke kamar mandi atau kantin, menghindari potensi perjumpaan.
"Ayo, Guys! Kita ke luar sebentar, aku haus," ajakku, menarik tangan Neli dan Imel.
Namun, terlambat.
Saat kami berjalan menuju pintu keluar, suara yang begitu kukenal suara yang kurindukan dan ku takuti memanggil namaku.
"Indira."
Aku membeku. Aku memejamkan mata sejenak, mengambil napas, dan berbalik.
Revan berdiri di belakangku. Ia berjalan ke arahku, meninggalkan sejenak timnya. Di mata Neli dan Imel, Revan tetaplah pria yang hangat, tetapi di mataku, ia adalah ancaman bagi garis batas yang sedang kujaga.
"Revan," balasku, menjaga nada bicaraku tetap datar dan formal.
Neli dan Imel langsung merasakan ketegangan. Mereka melangkah sedikit menjauh, memberikan ruang tetapi tetap waspada.
"Aku cuma mau pastikan, kamu baik-baik aja," kata Revan, suaranya pelan dan berat, khusus untukku. "Setelah Om Bimo telepon aku, aku tahu kamu sedang menjalani masa-masa sulit."
"Aku baik-baik saja," jawabku cepat, menghindari kontak mata. "Seperti yang kamu lihat, aku sibuk dengan tugasku di kampus. Aku harus bersikap profesional."
"Aku mengerti profesionalisme, Ra. Tapi ini aku," Revan berhenti, mencoba menangkap pandanganku. "Aku lihat tadi di presentasi, kamu terlihat... tertekan. Apakah Gus-mu itu tahu kamu ada di sini? Di acara yang aku inisiasi?"
Kata Gus itu keluar dari mulutnya dengan sedikit rasa sakit.
"Ayah memberiku izin penuh. Ini tugas kampus," tegasku. "Dan aku harap kamu juga profesional, Revan. Kita sudah tidak ada urusan pribadi. Kita hanya rekan kolaborasi antar-universitas."
Tepat pada saat itu, ponselku bergetar. Layar menunjukkan nama yang membuatku panik seketika.
Panggilan Masuk: Ammar Fikri
Aku merasakan darahku berdesir dingin. Kenapa dia meneleponku sekarang?
Revan melihat layar ponselku. Matanya langsung menangkap nama itu: Ammar Fikri. Rasa sakit di matanya berubah menjadi pemahaman pahit.
Aku menelan ludah. Ammar pasti meneleponku untuk memastikan aku sudah pulang sesuai jadwal, atau mungkin dia ingin melakukan audit mendadak.
"Aku harus menjawab ini," kataku pada Revan, tanpa meminta izin. Aku segera berbalik, melangkah menjauh dari Revan dan teman-temanku.
Aku menekan tombol jawab, suaraku nyaris berbisik. "Assalamu'alaikum, Gus."
Suara Ammar terdengar datar dan tanpa emosi, seperti biasa. "Wa'alaikumussalam, Saudari Indira. Saya baru saja selesai rapat di kantor. Saya menelepon untuk mengingatkan: hari ini adalah hari Selasa. Kita sudah sepakat, Selasa adalah hari pertemuan mingguan kita."
Aku melirik jam tangan. "Ya, Gus. Saya ingat. Tapi saya masih di kampus. Acara kolaborasi ini baru akan selesai jam lima sore."
"Saya tahu. Saya sudah memeriksa kalender akademik kampus Anda," jawab Ammar. Tentu saja, ia sudah mengaudit jadwal kampusku. "Saya akan menjemput Anda di gerbang utama jam lima seperempat. Kita akan membahas Studi Kasus Pengendalian Emosi yang saya siapkan. Jangan terlambat."
"Baik, Gus. Saya akan berada di gerbang utama," jawabku, merasa seperti seorang karyawan yang menerima perintah dari atasannya.
"Dan Saudari Indira," Ammar menambahkan, nadanya sedikit lebih rendah. "Saya harap lingkungan kampus Anda hari ini tidak memberikan variable yang tidak saya inginkan. Saya percaya Anda bisa mengelola lingkungan berisiko dengan baik."
Ammar mengakhiri panggilan tanpa basa-basi lagi.
Aku berdiri mematung. Lingkungan berisiko. Dia sudah tahu aku berada di tengah pertemuan yang melibatkan kampus Revan. Dia sedang mengujiku.
Aku kembali menghampiri Revan. Ia masih berdiri di sana, menatapku dengan tatapan kosong.
"Itu Gus-mu?" tanya Revan, nadanya kini dingin, meniru Ammar. "Dia sudah menjadwalkan hidupmu sampai detail menitnya."
"Dia hanya seorang pria yang bertanggung jawab. Dan sekarang, aku harus kembali ke tugasku. Selamat datang di kampus kami, Revan. Aku harap acara ini sukses," kataku, berusaha memberikan senyum formal.
Aku segera berbalik, menarik Neli dan Imel menjauh, meninggalkan Revan yang terdiam di tengah keramaian.
"Ra! Dia mau jemput lo jam lima seperempat?" bisik Imel, matanya melotot. "Itu kayaknya Manajer Proyek lo mau antar jemput! Tapi OMG, Revan tadi lihat lo ditelepon Ammar. Keras banget tatapannya!"
Aku tidak menjawab, hanya berjalan cepat. Aku tahu, Revan kini melihat buktinya. Aku bukan hanya di-khitbah; aku dimiliki oleh seorang pria yang sangat powerful dan sangat terstruktur.
Ujian terberatku bukan untuk menghindari Revan, tetapi untuk menanggapi panggilan Ammar, si Auditor Emosi.