Selina harus menelan pahit kenyataan di kala dirinya sudah bercerai dengan mantan suami hasil perjodohan. Ternyata tak lama setelah itu, dia menemukan dirinya tengah berbadan dua.
Selina akhirnya memutuskan untuk membesarkan bayinya sendiri, meskipun harus menjadi ibu tunggal tak membuatnya menyerah.
Berbeda dengan Zavier. Mantan suaminya yang hidup bahagia dan mewah dengan kekasihnya. Seseorang sudah hadir di hidup pria itu jauh sebelum kedatangan Selina.
Akankah kebenarannya terungkap seiring berjalannya waktu? Belum lagi Selina Kini harus terjebak dengan seorang bos yang sangat menyebalkan.
Ikuti kisahnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ara Nandini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30
Usai mendaratkan tamparan keras di pipi Maisa, Selina sama sekali tak ingin berlama-lama lagi di rumah Jayden. Atmosfer di sana terasa begitu mencekik dan beracun baginya. Dengan hati yang masih berkecamuk hebat dan tangan yang sedikit gemetar, ia segera menggandeng Ian, membawa putranya itu pergi secepat mungkin.
Kini, Selina dan Ian sudah berada di dalam kamar mereka yang tenang. Ian masih terisak, membenamkan wajahnya di pelukan sang ibu.
“Mama... kenapa Tante itu jahat sama Ian? Kenapa semua orang nggak suka sama Ian... apa salah Ian?” lirih bocah itu dengan suara serak, napasnya tersengal akibat tangis yang tak kunjung usai.
Selina merasa jantungnya seakan diremas mendengar pertanyaan polos namun menyakitkan itu. Ia mengeratkan pelukannya, mencoba menyalurkan seluruh kekuatan yang ia miliki kepada putra semata wayangnya.
Bayangan kejadian tadi kembali berputar di kepalanya. Saat ia menampar Maisa, ia sebenarnya kaget sendiri dengan tindakan impulsifnya tersebut. Selina bukanlah orang yang kasar, namun hinaan Maisa sudah melampaui batas kewajaran. Ia sadar, jika tadi ia tidak bersikap tegas dan berdiri membela diri, wanita itu akan terus merasa di atas angin dan terus menghina Ian tanpa henti. Sebagai seorang ibu, Selina bersumpah di dalam hati bahwa ia tidak akan pernah membiarkan siapa pun, tidak peduli seberapa kaya atau berkuasanya mereka, merendahkan darah dagingnya.
“Ian selalu jadi anak baik dan penurut. Ian nggak pernah nakal. Tapi... selalu saja ada orang yang benci sama Ian...” lanjut bocah itu lagi.
Selina lalu melepaskan pelukannya dan menangkup pipi Ian dengan sangat lembut. Ia menggunakan ibu jarinya untuk mengusap pelan sisa air mata yang masih mengalir di pipi tembam putranya.
“Nggak apa-apa kalau ada orang yang benci sama kamu, Sayang. Kita nggak bisa memaksa semua orang untuk baik,” Selina tersenyum lembut meski matanya sendiri sebenarnya sudah berkaca-kaca. “Tapi kamu harus ingat satu hal, banyak juga orang yang sayang sama kamu dan yang paling penting... ada Mama.”
Selina menatap dalam-dalam ke mata Ian. “Mama nggak akan pernah ninggalin kamu. Apa pun yang terjadi di depan nanti, apa pun yang orang-orang jahat itu katakan tentang kita, putra Mama ini tetap menjadi kesayangan Mama... selamanya. Kamu adalah segalanya buat Mama.”
Selina sempat melirik ke arah jam dinding yang tergantung di sudut kamar. Jarum jam sudah menunjukkan pukul delapan lebih lewat beberapa menit. Seharusnya, ini adalah waktu bagi Ian untuk bersiap-siap, namun ia tahu benar bahwa Ian sama sekali tidak memiliki semangat atau tenaga untuk pergi ke sekolah hari ini.
Setelah berhasil menenangkan Ian hingga bocah itu tampak sedikit lebih rileks, Selina keluar dari kamar.
Sesampainya di dapur, Selina tidak langsung melakukan apa-apa. Ia hanya terduduk lemas di kursi meja makan. Tangannya terulur mengusap pipinya sendiri, menghapus air mata yang sejak tadi ia tahan di depan Ian agar terlihat kuat. Namun kini, air mata itu mengalir tanpa bisa dicegah lagi.
“Maafin mama, Ian... semua ini gara-gara mama,” katanya lirih dengan suara yang bergetar hebat.
•
•
Sementara di rumah megah, Jayden tiba di rumah orang tuanya malam hari dengan ekspresi yang sangat datar dan dingin. Sebenarnya, pria itu sama sekali tidak ingin menginjakkan kaki di kediaman mewah ini. Ia tahu hanya ada ketegangan yang menantinya di dalam. Namun, Bella—ibunya—telah menggunakan senjata pamungkas dengan mengancam akan merajuk dan tidak mau bicara padanya jika ia tidak menampakkan diri malam ini.
Di depan pintu jati yang besar dan kokoh itu, Jayden sempat berdiri diam untuk waktu yang cukup lama. Ia menarik napas panjang sedalam mungkin.
Bayangkan saja, setelah sempat makan pagi di restoran bersama Selina, ia belum lagi menyentuh sesuap nasi pun hingga malam ini. Perutnya mungkin kosong, tapi kepalanya terlalu penuh dengan masalah.
Begitu ia melangkah masuk ke dalam rumah yang luas itu, suasana intimidatif langsung menyambutnya. Di ruang tamu besar yang biasanya digunakan untuk menerima tamu-tamu penting, sudah duduk tiga orang yang jelas-jelas memang sedang menunggu kedatangannya.
Jayden tidak perlu menjadi seorang jenius untuk menebak apa yang akan terjadi. Ia langsung tahu, topik pembicaraan malam ini tidak akan jauh-jauh dari hal membosankan yang selalu mereka paksakan—perjodohan.
“Jika kalian menyuruhku datang ke sini hanya untuk membicarakan perjodohanku,” ucap Jayden tanpa basa-basi, langsung menusuk ke inti masalah sebelum mereka sempat menyapa. Suaranya terdengar dingin dan tegas. “Jawabanku tetap sama dan tidak akan pernah berubah. Aku tidak akan pernah menikah dengan orang yang tidak aku cintai. Sampai kapan pun, jangan pernah harap aku akan setuju.”
“Duduk dulu,” potong Orlan dengan suara berat yang berwibawa, tidak terpengaruh oleh ledakan emosi cucunya. “Ada hal penting yang ingin kakek bicarakan kepadamu.”
“Duduk, Jayden,” tambah Bella. Kali ini nada bicaranya tidak lagi lembut seperti biasanya. Wajah ibunya itu terlihat datar.
Dengan perasaan malas dan jengah, Jayden akhirnya menghempaskan tubuhnya ke sofa, tepat di samping Aron. Pria itu tidak berkata apa-apa, ia hanya menepuk bahu putra tirinya pelan.
Orlan lalu berdehem. “Kakek dapat laporan siang tadi dari Maisa. Dia datang ke sini sambil menangis sesenggukan, dan pipinya terlihat sangat merah. Dia bilang dia baru saja ditampar oleh salah satu karyawan barumu di rumahmu sendiri.”
Jayden memutar bola matanya malas, merasa muak dengan drama Maisa. Sudah bisa ditebak, Maisa pasti akan berlari ke tempat ini secepat kilat untuk mengadu, tentu saja dengan bumbu-bumbu cerita yang membuat dirinya terlihat seperti korban yang paling menderita.
Orlan melanjutkan dengan nada yang semakin menginterogasi, “Bukan cuma itu. Dia juga cerita kalau kamu pergi ke acara pernikahan Zavier kemarin... dengan membawa wanita itu sebagai pasanganmu.” Nada suaranya semakin menekan di setiap kata, matanya menyipit.
“Siapa sebenarnya dia?” Orlan mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap Jayden dengan pandangan tajam yang menusuk, menuntut jawaban yang jujur. “Ada hubungan apa kamu dengan wanita itu, hah?”