Jingga seorang gadis cantik yang hidupnya berubah drastis ketika keluarga yang seharusnya menjadi tempat pulang justru menjadi orang pertama yang melemparkannya keluar dari hidup mereoka. Dibuang oleh ayah kandungnya sendiri karena fitnah ibu tiri dan adik tirinya, Jingga harus belajar bertahan di dunia yang tiba-tiba terasa begitu dingin.
Awalnya, hidup Jingga penuh warna. Ia tumbuh di rumah yang hangat bersama ibu dan ayah yang penuh kasih. Namun setelah sang ibu meninggal, Ayah menikahi Ratna, wanita yang perlahan menghapus keberadaan Jingga dari kehidupan keluarga. Davin, adik tirinya, turut memperkeruh keadaan dengan sikap kasar dan iri.
Bagaimanakan kehidupan Jingga kedepannya?
Akankan badai dan hujannya reda ??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R²_Chair, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rahasia yang masih tersimpan
Hari-hari pertama Jingga tinggal bersama Kakek Arga terasa seperti mimpi yang terlalu tenang untuk menjadi kenyataan. Ada keheningan yang menyejukkan, ada rutinitas kecil yang membawa ketertiban baru dalam hidupnya, dan ada perhatian halus yang membuatnya mengerti bahwa kebaikan tidak selalu perlu suara keras.
Setiap pagi, Kakek Arga akan mengetuk pintu kamarnya sambil berkata pelan,
“Jingga, sarapan sudah siap.”
Hal yang telah lama mati dalam kehidupannya.Dan tanpa sadar Jingga merindukan hal yang tak mungkin pernah terjadi lagi.
Namun ternyata salah,semua terjadi lagi dan setiap kali itu terjadi, dada Jingga selalu terasa hangat.Sesuatu yang jarang ia rasakan sejak bundanya meninggal.
Namun di balik semua ketenangan itu, Jingga mulai menyadari sesuatu.Ada banyak hal di rumah ini yang seolah sengaja di sembunyikan.
Seperti ada ruang yang tak kasatmata, tempat kenangan-kenangan Kakek Arga disimpan rapat. Tidak sedih, tapi dalam dan entah rasa apa itu.
Dan hati Jingga yang peka perlahan merasakannya.
Sore itu, ketika matahari mulai turun dan angin membawa aroma tanah basah, Jingga duduk di area belakang rumah.Ia membantu Kakek Arga membersihkan beberapa pot bunga dan memangkas daun-daun kering.
“Jingga,” panggil Kakek Arga pelan.
“Iya, Kek?”
“Boleh bantu Kakek ambilkan kotak perkakas yang ada di gudang belakang?”
“Tentu.”
Jingga segera berjalan ke gudang kecil yang berdiri beberapa langkah dari halaman. Pintu kayunya reot, namun masih kokoh. Ketika Jingga menarik gagangnya, bau kayu tua dan debu langsung menyambutnya.
Ruangan itu kecil, penuh dengan benda-benda lama. Ada pancing, kipas angin jadul, koper cokelat yang sudah robek, dan rak kayu berisi berbagai perkakas.
Ia mencari kotak berwarna merah seperti yang dideskripsikan Kakek Arga. Setelah ketemu, ia hendak keluar dari gudang, namun langkahnya berhenti saat melihat sebuah benda.
Di sudut ruangan, setengah tertutup kain putih, ada sebuah peti kayu besar.Bentuknya kuno, dengan ukiran motif bunga sederhana yang tampak dikerjakan dengan tangan. Seolah peti itu menyimpan cerita.
Jingga ragu. Ia bukan tipe yang suka mengusik barang orang. Tapi rasa penasaran itu menggigit.
Ia mendekat perlahan.Kain itu ia singkapkan sedikit.
Ternyata benar peti itu tampak tua,namun terawat. Jingga menyentuh permukaannya, merasakan dinginnya kayu tua itu.
"Tertarik, ya?”
Suara itu membuat Jingga terlonjak.
Kakek Arga berdiri di pintu gudang sambil memegang tongkat kecil yang biasa ia pakai saat berjalan jauh.
"Saya—maaf, Kek… saya hanya—”
"Tidak apa,” ujar Kakek Arga sembari masuk. "Peti itu memang memancing rasa penasaran siapa pun.”
Jingga menunduk, takut kalau ia dianggap lancang. Tapi Kakek Arga malah tersenyum samar.
"Kotak itu milik Alma.”
Hening sesaat.
"Itu dulu tempat dia menyimpan pakaian, buku catatan, dan beberapa barang kesayangannya.”
"Maaf, Kek… saya tidak bermaksud mengganggu.”
"Kamu tidak mengganggu.”
Kakek Arga menepuk bahunya lembut. "Suatu hari… kalau kamu sudah siap, dan Kakek juga sudah siap, mungkin kita akan membukanya bersama.”
Ada makna yang dalam dalam kata-kata itu.
Sebuah rahasia.
Sebuah cerita yang belum tersampaikan.
Malamnya, setelah makan malam,Jingga duduk di ruang tamu dengan novel tua yang dipinjamnya dari rak Kakek Arga. Namun pandangannya berkali-kali hilang fokus. Bayangan peti kayu itu muncul terus dalam pikirannya.
"Kamu tampak banyak pikiran,” komentar Kakek Arga sambil membawa dua cangkir teh jahe.
"Maaf, Kek… saya cuma kepikiran soal peti tadi.”
Kakek Arga duduk di kursi kayu, menatap Jingga dengan mata teduhnya. "Kalau kamu ingin tahu, tanya saja. Tidak apa.”
Jingga menggigit bibir. "Apa di dalam peti itu… ada hal yang penting sekali untuk Kakek?”
"Penting!” jawab Kakek Arga. “Tapi bukan barang mahal. Lebih seperti sisa-sisa hidup seseorang.”
Jingga mengangguk. Ia mengerti. Ada barang yang harganya bukan dari uang, tapi dari kenangan.
"Kake tidak takut melihatnya lagi?” tanya Jingga pelan.
Kakek Arga menghela napas panjang. “Bukan takut. Hanya..setiap benda di dalam sana membuka ingatan yang sudah Kakek kubur lama. Menghidupkan kenangan itu butuh kesiapan hati.”
Jingga menatap teh yang mengepul di tangannya. "Jingga paham Ke.”
Kakek Arga tersenyum.
“Dan kamu,” lanjutnya, “tidak perlu merasa bersalah menanyakan itu. Kamu berada di rumah ini sekarang. Wajar kalau kamu ingin tahu.”
Perkataan itu membuat Jingga merasa dihargai dan di anggap. Seakan ia benar-benar diterima di rumah ini.
°°°°
Keesokan harinya, saat Jingga menyapu halaman depan, ia menemukan sesuatu yang membuatnya berhenti.
Di bawah kursi rotan di teras, ada sebuah bingkai foto yang tergeletak telungkup.Seperti terselip tanpa sengaja.
Jingga membaliknya.
Di foto itu, terlihat Kakek Arga muda mungkin sekitar usia empat puluhan berdiri di samping seorang pria dewasa yang usianya tidak jauh berbeda.Mereka berdua tersenyum lebar di depan sebuah rumah besar.
Namun yang membuat Jingga terpaku bukan laki-laki di samping Kakek Arga.
Melainkan sosok lain di foto itu.
Seorang anak kecil.Seorang anak perempuan berusia mungkin delapan tahun.
Matanya bulat.
Kulitnya cerah.
Dan yang membuat jantung Jingga serasa jatuh,anak itu punya senyum yang hampir sama dengan miliknya ketika masih kecil.
Jingga memelototi foto itu lama. Ada desir aneh di dadanya. Bukan sekadar mirip. Tapi seperti melihat versi kecil dirinya.
“Kamu menemukan itu dari mana?”
Kakek Arga sudah berdiri tidak jauh darinya, suaranya tenang namun terdengar berbeda lebih berat.
"Di bawah kursi, Kek… Ini siapa?”
Kakek Arga mengambil foto itu perlahan, memegang bingkainya dengan jemari tua.
"Ini..foto lama.” Lirihnya
"Lalu siapa anak kecil itu? Mirip sekali dengan saya.”
Kakek Arga menatap Jingga. Tatapannya seperti memendam sesuatu, tapi juga tidak ingin membuat Jingga gelisah.
"Anak itu…”
Ia berhenti sejenak.
"…adalah keponakan Alma.”
Jingga mengerutkan kening. "Lalu di mana dia sekarang?” rasa penasarannya semakin menggebu.
Kakek Arga tidak langsung menjawab. Ia memandang jauh, ke halaman yang tampak lengang.
“Dia… hilang kontak dengan keluarga sejak kecil. Kami tidak pernah mendengar kabarnya lagi.”
Ada sesuatu yang tidak tuntas dalam cerita itu.
Sesuatu yang ditahan.
Sesuatu yang sengaja tidak diungkap sepenuhnya.
Jingga tidak memaksA. Ia tahu batas,dan mungkin ini batasnya.Namun di dalam hatinya, ada tanda tanya besar.
Kenapa anak kecil di foto itu mirip sekali dengan dirinya?
Apakah itu hanya kebetulan atau sesuatu yang lebih ?
Tak lama, mereka menerima tamu pertama sejak Jingga tinggal di rumah itu.
Seorang pria tua lain, tetangga yang tinggal tidak jauh, datang membawa beberapa mangga dari kebunnya.
“Kamu punya cucu baru, Arga?” tanya pria itu sambil terkekeh ketika melihat Jingga.
Bibir Jingga kaku,rasanya aneh bertemu orang baru.
Namun Kakek Arga menjawab cepat, "Dia hanya anak yang sedang Kakek bantu.”
Sebentar saja nada suara itu terdengar sangat melindungi.
Pria itu mengangguk-angguk sambil menatap Jingga. "Bagus. Rumah ini memang terlalu sepi kalau kamu sendirian.”
Setelah pria itu pulang, Jingga menatap Kakek Arga dengan bingung.
“Kek apa orang-orang di sini tahu saya bukan keluarga?”
"Tentu.” Kakek Arga tersenyum. "Dan tidak ada yang akan mempermasalahkan itu. Di sini, orang tidak peduli soal hubungan darah.”
“Tapi… apa tidak aneh jika saya tinggal di sini?”
"Tergantung hatinya,” jawab Kakek Arga.
"Apa maksud Kakek?”
"Kalau kamu tinggal karena kamu butuh tempat, itu bukan hal yang aneh.Kalau Kakek menerima kamu karena ingin membantu itu juga bukan hal yang aneh.”
Jingga terdiam.
"Kamu anak baik, Jingga. Kakek tahu itu sejak pertama kali melihatmu jatuh di bawah hujan.”
Nada suaranya tenang, tapi penuh keyakinan.
"Tidak semua orang datang untuk menyulitkan. Ada juga yang datang untuk diselamatkan.”
Jingga menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak pernah mendengar seseorang mendefinisikan dirinya dengan begitu halus.
Hingga malam datang, dan Kakek Arga mengajak Jingga duduk di halaman belakang.
“Ada sesuatu yang ingin Kakek ceritakan,” katanya tiba-tiba.
Jingga menoleh cepat. “Tentang apa, Kek?”
Kakek Arga menatap langit. “Tentang masa muda Kakek.”
Kakek Arga mulai bercerita bagaimana dulu ia bekerja sebagai pengrajin kayu. Bagaimana ia dan Alma bertemu, menikah, lalu membangun rumah kecil itu. Rumah yang dulunya ramai dengan suara anak-anak tetangga yang bermain di halaman.
“Tapi setelah Alma meninggal,” lanjutnya, “rumah ini berhenti hidup.”
Ia menoleh ke Jingga.
“Sampai kamu datang.”
Jingga menunduk. “Saya… tidak tahu harus bilang apa.”
“Kamu tidak perlu bilang apa pun.Kehadiranmu saja sudah cukup.”
Hati Jingga terasa hangat tapi juga berdebar.Karena semakin ia mengenal kehidupan Kakek Arga, semakin terasa bahwa pertemuan mereka bukan hanya sekadar sebuah kecelakaan di tengah hujan.
Seolah-olah takdir memang ingin menautkan mereka berdua.
Namun untuk alasan apa?
Jawabannya belum jelas.
Tapi Jingga tahu rahasia di rumah itu belum selesai.Peti kayu itu belum terbuka.Dan foto anak kecil yang mirip dirinya belum menemukan penjelasan.
Ia menarik napas pelan.
Perjalanannya baru dimulai.
...🍀🍀🍀...
...🍃Langit Jingga Setelah Hujan🍃...