Sepuluh bulan lalu, Anna dijebak suaminya sendiri demi ambisi untuk perempuan lain. Tanpa sadar, ia dilemparkan ke kamar seorang pria asing, Kapten Dirga Lakshmana, komandan muda yang terkenal dingin dan mematikan. Aroma memabukkan yang disebarkan Dimas menggiring takdir gelap, malam itu, Anna yang tak sadarkan diri digagahi oleh pria yang bahkan tak pernah mengetahui siapa dirinya.
Pagi harinya, Dirga pergi tanpa jejak.
Sepuluh bulan kemudian, Anna melahirkan dan kehilangan segalanya.
Dimas dan selingkuhannya membuang dua bayi kembar yang baru lahir itu ke sebuah panti, lalu membohongi Anna bahwa bayinya meninggal. Hancur dan sendirian, Anna berusaha bangkit tanpa tahu bahwa anak-anaknya masih hidup. Dimas menceraikan Anna, lalu menikahi selingkuhan. Anna yang merasa dikhianati pergi meninggalkan Dimas, namun takdir mempertemukannya dengan Kapten Dirga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. Dia belum pergi
Rumah dinas terasa lebih sunyi dari biasanya. Setelah kedatangan Asmiranda sore tadi, pikiran Anna terus berputar. Kata-kata perempuan itu menggantung seperti ancaman yang sengaja dibiarkan menetes perlahan ke dadanya.
Setelah menidurkan Alvaro dan Almira, Anna tidak bisa lagi menahan dorongan di dadanya. Ia membuka pintu kamar utama, kamar yang selama ini menjadi kamar Kapten Dirga. Kamar yang tidak pernah ia masuki kecuali untuk merapikan sedikit furnitur saat pertama kali tiba.
Lampu kamar dinyalakan, harum sabun pria yang samar masih terasa. Lengkap, rapi tetapi ada sesuatu yang janggal. Terlalu rapi, Anna melangkah masuk. Setiap sudut diperiksa, meja kerja, laci, rak buku, lemari pakaian. Dia berharap menemukan sesuatu yang bisa menjawab kebohongan Asmiranda. Atau sebaliknya, membenarkan kecurigaannya.
Tidak bahkan sehelai dokumen yang menyebut hubungan Dirga dengan wanita itu.
“Tidak mungkin…” Anna bergumam, napasnya berubah cepat. Jika memang Dirga memiliki hubungan terencana dengan Asmiranda, pasti ada sesuatu, bukti kecil dan mungkin sebuah petunjuk. Tapi kamar itu terlalu bersih, seolah seseorang sudah menghapus jejak.
Tiba-tiba suara ketukan pintu depan terdengar.
Tok! tok! tok!
Anna terlonjak, siapakah yang datang malam-malam begini, dengan hati-hati ia menuju ruang tamu dan membuka pintu. Begitu melihat siapa yang berdiri di ambang pintu, tubuh Anna langsung melemas lega.
“Bu Ratna…?”
Ibu Ratna, pengurus panti asuhan tempat Anna dulu tinggal dan tempat ia menjadi ibu susu bayi kembar, tersenyum lembut, wajahnya tampak khawatir.
“Anna, Nak … syukurlah kamu masih di sini.”
Anna langsung memeluknya. Kehangatan itu membuatnya hampir menangis.
“Bu … kenapa Ibu bisa tiba-tiba datang? Siapa yang memberi tahu…?”
Ibu Ratna membelai rambutnya.
“Ada seseorang yang meminta Ibu datang menemuimu. Katanya … kamu sedang butuh seseorang untuk bicara.”
Ibu Ratna masuk dan duduk di ruang tamu. Mata tuanya langsung tertuju pada dua bayi kecil yang tertidur di boks mereka.
“Masya Allah … mereka sudah sebesar ini…”
Dia tersenyum terharu. “Alvaro, Almira … kalian sehat ya, Nak…”
Anna duduk di sampingnya, memegang tangannya.
“Ibu … banyak sekali yang terjadi belakangan ini.”
Ibu Ratna menatapnya lembut. “Ceritakan, Nak. Ibu akan mendengarkannya.”
Anna menceritakan secara singkat, kedatangan Asmiranda, ancaman halusnya, klaim bahwa Dirga akan menikahinya, dan bagaimana ia sendiri tidak bisa percaya tanpa melihat Kapten Dirga langsung.
Ibu Ratna mengerutkan dahi.
“Perempuan itu … datang ke rumah dinas seorang perwira dan mengusir istrinya…?”
Anna menelan ludah.
“Anna bukan istrinya, Bu.”
Ibu Ratna memegang pipinya.
“Nak, kamu adalah ibu dari anak-anaknya. Perempuan itu tidak punya hak mengusirmu.”
Anna menggigit bibir, ketegaran dalam dirinya rapuh malam ini. Setelah memperhatikan bayi-bayi itu beberapa saat, Ibu Ratna tiba-tiba bertanya,
“Anna … bagaimana dengan Kapten Dirga? Apa dia sudah kembali?”
Pertanyaan itu seolah menghantam sesuatu yang sudah ia tahan begitu lama. Anna memejamkan mata.
“Kata bawahannya … Kapten Dirga … dinyatakan meninggal saat ledakan gudang musuh.”
Ibu Ratna terkejut menutup mulutnya.
“Tapi Anna tidak percaya,” lanjut Anna dengan suara gemetar namun keras. “Tidak ada jasad … tidak ada bukti … tidak ada apa pun. Anna yakin Kapten Dirga masih hidup … entah di mana.”
Ibu Ratna memegang tangannya erat.
“Dan Anna berharap … kedatangan perempuan itu membuktikan sesuatu?”
Anna mengangguk perlahan. Jika Asmiranda bisa membawa Kapten Dirga kembali maka itu hanya berarti satu hal, kalau Kapten Dirga masih hidup.
Ibu Ratna menatapnya, lalu berkata lirih,
“Anna … hati-hati. Bila benar ada yang ingin memisahkan kalian, maka ancaman itu lebih besar dari yang kamu duga.”
Anna menunduk, memeluk dirinya.
“Mereka bisa ambil rumah ini … tapi mereka tidak akan ambil anak-anakku.”
Nadanya bergetar tapi tegas, Ibu Ratna tersenyum tipis.
“Itulah yang membuatmu kuat, Nak.”
Di luar, angin malam berembus. Di dalam rumah itu, dua perempuan duduk berhadapan satu tua, satu muda keduanya saling melindungi dengan ketenangan dan kekuatan yang tidak disadari Anna ia miliki. Tapi malam itu adalah awal dari sesuatu yang jauh lebih gelap. Karena seseorang memang mengirim Ibu Ratna ke rumah itu. Bukan hanya untuk menemani Anna tetapi untuk melihat apakah Anna masih berada di dalam rumah dinas Kapten Dirga.
Pagi itu rumah dinas terasa dingin, seolah ada kabut tipis yang tidak biasa menyelimuti halaman. Anna bangun lebih awal, memandikan Alvaro dan Almira, lalu menyiapkan sedikit bubur bayi untuk keduanya. Ia mencoba bersikap tenang, namun sejak kedatangan Asmiranda dan Bu Ratna malam tadi, isi kepalanya tidak berhenti berputar.
Di tengah ia menimang Almira, terdengar suara mobil berhenti di depan rumah.
Langkah sepatu berat mendekat. Anna mengintip dari jendela. Tiga orang berseragam berdiri di depan pintu, dua di antaranya bawahan langsung Kapten Dirga. Di tengah berdiri Letnan Arjas, tangan memegang map cokelat tebal.
Napas Anna tercekat. Ia membuka pintu perlahan. “Ada perlu apakah, Pak?”
Letnan Arjas menegakkan tubuh. Suaranya formal, terlalu formal untuk pagi yang masih sunyi.
“Bu Anna. Kami datang untuk menyampaikan keputusan resmi dari Markas Besar.”
Anna menegang, dia menggendong Almira lebih erat. Letnan Arjas membuka map itu. Ada beberapa lembar dokumen, stempel merah, dan tanda tangan para perwira.
“Setelah penyelidikan dua bulan penuh, dan setelah pencarian di lokasi ledakan tidak membuahkan hasil … kami dengan berat hati menyampaikan bahwa Kapten Dirga dinyatakan gugur saat bertugas.”
Kalimat itu mengenai Anna seperti palu godam yang menghantam langsung ke dada. Namun wajahnya tetap tegang. Tidak menangis dan juga tidak melemah.
“Tidak ada jenazah yang ditemukan,” lanjut Letnan Arjas. “Namun berdasarkan bukti-bukti di lokasi dan laporan tim lapangan … negara telah menetapkan tanggal resmi gugurnya Kapten Dirga.”
Letnan Arjas menunduk, suaranya melemah.
“Mulai hari ini … Kapten Dirga secara hukum dianggap meninggal dunia saat menjalankan tugas.”
Bawahan lain memberikan kotak kecil berisi, Lencana Dirga, jam tangan kesayangannya dan buku kecil operasi, sepucuk surat yang ditemukan di tas lapangannya Anna menerima kotak itu dengan tangan gemetar.
Rasanya seperti dunia memaksanya menerima sesuatu yang tidak pernah ia akui. Letnan Arjas menatap Anna lama. Ia tahu bagaimana Dirga memperlakukan Anna dan anak-anak itu. Ia tahu betapa Dirga melindungi mereka.
“Bu Anna…” suaranya pelan, hati-hati.
“Kami tahu ini berat. Tapi … kami berharap Ibu bisa menerima keputusan ini.”
Anna mengangkat wajahnya, tatapannya tidak kosong atau putus asa. Tatapannya penuh keyakinan yang tak tergoyahkan.
“Tidak.” suaranya tenang, namun tegas.
“Saya tidak menerima.”
Ketiga pria itu tampak kaget.
“Kapten Dirga tidak meninggal. Dia tidak akan meninggalkan anak-anaknya. Dia bukan tipe pria yang hilang tanpa jejak.”
Letnan Arjas menghela napas. “Tapi, Bu...”
“Tidak ada jasad. Tidak ada bukti.” Anna memotong cepat.
“Kalian hanya punya ledakan. Itu tidak membuktikan apa-apa.”
Arjas memandang dua anak bayi di ruang tengah.
Sorot matanya berubah lembut.
“Bu Anna … saya tahu Kapten Dirga. Dia pria yang keras kepala. Kalau dia hidup … dia pasti pulang.”
Anna mengangguk pelan.
“Dan karena itu … saya yakin dia masih hidup.”
Keheningan tegang menyelimuti ruang tamu. Akhirnya Arjas menutup map itu.
“Saya mengerti … Tapi keputusan ini tetap harus disampaikan. Semua hak pensiun, hak keluarga, dan perlindungan negara akan tetap diberikan.”
Anna menatapnya tajam.
“Perlindungan? Lalu siapa yang melindungi saya dan anak saya kemarin ketika seseorang mencoba menerobos masuk rumah ini?”
Arjas dan dua prajurit lain saling pandang kaget.
“Maaf, Bu? Siapa yang menyerang Anda?”
“Saya tidak tahu pasti, seseorang datang mengaku sebagai calon istri Kapten Dirga, lu besoknya terjadi penyerangan seakan mengusir saya secara halus,"
Letnan Arjas langsung berubah wajah, sadar bahwa situasinya jauh lebih serius dari sekadar penyampaian dokumen.
“Kami akan menempatkan penjagaan tambahan,” ujarnya cepat.
“Ini … tidak boleh dibiarkan.”
Anna mengangguk singkat. Ia menatap dokumen penetapan kematian Dirga lama sekali lalu menutupnya.
“Kapten Dirga tidak mati.”
“Aku akan menunggu dia pulang.”
Letnan Arjas terdiam, dan lalu ia berkata lirih,
“kadang … intuisi seseorang lebih benar daripada seribu laporan militer.”
Ia memberi hormat pada Anna dan anak-anak itu. Anna hanya berdiri diam memeluk Almira, tatapannya tajam bukan putus asa, tapi penuh tekad. Setelah para prajurit pergi, rumah itu kembali sunyi. Anna memandang kotak kecil milik Dirga. Tangannya menyentuh lencana itu. Di dadanya tumbuh satu tekad baru, jika negara sudah menyerah maka ia sendiri yang akan mencari Kapten Dirga.
"Nona, wanita itu masih di kediaman Kapten Dirga,"
[Buat dia segera mengangkat kaki sebelum ingatan Dirga pulih, tentang wanita itu,] suara Asmirandah terdengar tajam di seberang telepon.
ayo basmi habis semuanya , biar kapten dirga dan anna bahagia
aamirandah ksh balasan yg setimpal dan berat 🙏💪
kejahatan jangan dibiarkan terlalu lama thor , 🙏🙏🙏
tiap jam berapa ya kak??
cerita nya aku suka banget🥰🥰🙏
berharap update nya jangan lama2 🤭🙏💕