Di tengah gelapnya dunia malam, seorang Gus menemukan cahaya yang tak pernah ia duga dalam diri seorang pelacur termahal bernama Ayesha.
Arsha, lelaki saleh yang tak pernah bersentuhan dengan wanita, justru jatuh cinta pada perempuan yang hidup dari dosa dan luka. Ia rela mengorbankan ratusan juta demi menebus Ayesha dari dunia kelam itu. Bukan untuk memilikinya, tetapi untuk menyelamatkannya.
Keputusannya memicu amarah orang tua dan mengguncang nama besar keluarga sang Kiyai ternama di kota itu. Seorang Gus yang ingin menikahi pelacur? Itu adalah aib yang tak termaafkan.
Namun cinta Arsha bukan cinta biasa. Cintanya yang untuk menuntun, merawat, dan membimbing. Cinta yang membuat Ayesha menemukan Tuhan kembali, dan dirinya sendiri.
Sebuah kisah tentang dua jiwa yang dipertemukan di tempat paling gelap, namun justru belajar menemukan cahaya yang tak pernah mereka bayangkan.
Gimana kisah kelanjutannya, kita simak kisah mereka di cerita Novel => Penebusan Ratu Malam.
By: Miss Ra.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Semburat jingga di ufuk timur baru saja menyapa jendela besar di apartemen lantai dua belas itu. Ayesha terbangun dengan perasaan yang asing - perasaan aman. Tidak ada suara gaduh dari tetangga, tidak ada ketakutan akan ancaman kedatangan Jefry, hanya ada keheningan yang menenangkan.
Ia beranjak dari tempat tidur, mendekati meja kecil di mana ia meletakkan ponselnya. Sebuah notifikasi menyala, menerangi wajahnya yang masih polos tanpa riasan. Itu dari Arsha. Pesan itu dikirim tepat saat azan Subuh berkumandang.
- Arsha -
"Selamat pagi, Ayesha. Aku baru saja akan memulai perjalanan. Di setiap doaku, namamu akan selalu terselip dengan sangat kencang. Aku tahu kamu mungkin masih merasa ragu, tapi percayalah, aku tidak akan pergi untuk meninggalkanmu. Aku pergi untuk menjemput restu agar aku bisa menjagamu selamanya tanpa ada lagi dinding yang memisahkan kita.
Tersenyumlah hari ini. Karena senyummu adalah alasan bagiku untuk berani menghadapi apa pun di depan sana. Aku sudah memesankan sarapan, tadi aku sempat pesan melalui online sebelum benar-benar berangkat. Makanlah yang banyak, jangan biarkan dirimu sakit karena cemas.
Tunggu aku pulang sebagai pria yang akan membawamu ke dunia yang lebih terang. Bismillah, aku berangkat."
Bibir Ayesha bergetar, lalu perlahan sebuah senyuman merekah. Itu bukan sekadar senyum biasa, itu adalah senyum harapan yang selama bertahun-tahun terkubur di bawah puing-puing masa lalunya yang kelam. Ia memeluk ponsel itu di dadanya, seolah dengan begitu ia bisa merasakan detak jantung Arsha yang penuh keyakinan.
~
Di saat yang sama, sebuah mobil SUV hitam melaju membelah jalanan kota yang mulai ramai. Di balik kemudi, Arsha tampak fokus. Namun, di balik wajah tenangnya, pikirannya berkecamuk. Ia tahu betul siapa Abinya Kiai Hafidz, seorang kiai besar yang dihormati ribuan santri, pria yang hidupnya didedikasikan untuk menjaga kemurnian syariat. Dan ia juga tahu betapa lembut namun tegasnya Ustadzah Halimah dalam menjaga kehormatan keluarga.
Menceritakan tentang Ayesha bukan sekadar menceritakan tentang seorang wanita yang ia cintai. Ini adalah tentang membawa seorang wanita dengan 'noda' ke dalam lingkaran kesucian pesantren.
"Jika aku tidak jujur, aku mengkhianati mereka. Jika aku jujur, aku berisiko kehilangan dia," gumam Arsha pelan sambil mencengkeram kemudi. Namun, ia segera beristighfar. "Tidak, Allah adalah pemilik hati. Aku hanya perlu menyampaikan kebenaran."
~~
Dua jam perjalanan terasa begitu lambat. Pemandangan gedung-gedung tinggi perlahan berganti menjadi hamparan sawah hijau yang luas dan deretan pohon jati yang menjulang. Udara yang masuk melalui celah jendela mulai terasa lebih sejuk dan bersih, tanda bahwa ia sudah memasuki wilayah kabupaten tempat pesantren keluarganya berdiri.
Sepanjang jalan, Arsha terus memutar murattal Al-Qur'an dari tape mobilnya. Suara merdu itu sedikit banyak menenangkan badai yang bergejolak di dalam dadanya. Ia membayangkan wajah Ayesha, wajah yang penuh luka namun menyimpan cahaya, dan hanya ia yang bisa melihatnya. Itulah yang membuatnya tetap melaju tanpa keraguan sedikit pun.
Setelah menempuh perjalanan yang melelahkan, sebuah gapura besar bertuliskan 'Pondok Pesantren Al-Falah' dengan kaligrafi yang indah mulai terlihat. Arsha memelankan laju kendaraannya.
Melewati gerbang itu selalu memberikan sensasi yang sama bagi Arsha, kedamaian. Ia melihat para santri dengan sarung dan peci mereka berjalan beriringan menuju masjid. Beberapa dari mereka mengenali mobil Arsha dan memberikan hormat dengan menundukkan kepala. Arsha membalasnya dengan klakson pendek dan senyum tipis.
Namun, kedamaian itu kini bercampur dengan debaran jantung yang kian memburu. Setiap meter yang ia tempuh menuju rumah utama di tengah kompleks pesantren terasa seperti langkah menuju pengadilan.
Mobil Arsha akhirnya berhenti tepat di depan sebuah rumah bergaya joglo modern yang asri. Halamannya dipenuhi dengan bunga-bunga yang dirawat dengan sangat baik. Di sana, di ambang pintu kayu yang kokoh, berdiri seorang wanita paruh baya mengenakan gamis berwarna khimar senada.
Itu adalah Ummi Halimah.
Wanita itu seolah sudah tahu bahwa putra sulungnya akan pulang hari ini. Wajahnya yang teduh tampak bersinar saat melihat sosok Arsha turun dari mobil.
Arsha menarik napas panjang sebelum benar-benar keluar dari mobil. Ia merapikan kemejanya, mencoba menghapus jejak lelah di wajahnya. Begitu kakinya memijak tanah, ia langsung disambut oleh aroma khas pesantren. Wangi kayu cendana, tanah basah, dan ketenangan yang magis.
"Arsha..." suara lembut itu memanggil.
Arsha berjalan mendekat, langkahnya mantap namun penuh takzim. Begitu sampai di depan ibunya, ia langsung meraih tangan wanita itu dan menciumnya dengan takzim. Ummi Halimah tidak menunggu lama, ia langsung menarik Arsha ke dalam pelukannya.
"Putraku... Ummi sangat merindukanmu," bisik Ummi Halimah sambil mengusap punggung Arsha.
Arsha memejamkan mata. Pelukan ibunya selalu menjadi tempat paling aman di dunia. Namun, saat ini, ada rasa sesak yang menghimpit. Ia merasa seperti membawa beban besar yang sebentar lagi akan ia tumpahkan di depan wanita suci ini.
"Assalamualaikum Ummi, Arsha juga sangat merindukan Ummi," jawab Arsha dengan suara yang sedikit parau.
Ummi Halimah melepaskan pelukannya, lalu menatap wajah Arsha dengan saksama. Insting seorang ibu tidak pernah salah. Ia melihat ada sesuatu yang berbeda di mata putranya, ada kesungguhan, ada kegelisahan, dan ada cinta yang mendalam.
"Waalaikumsalam, nak. Wajahmu tampak lelah?" tanya Ummi Halimah sambil tersenyum bijak, seolah sudah bisa membaca separuh isi hati Arsha.
Arsha tertegun. Ia hanya bisa mengangguk pelan. "Iya, Ummi. Tapi, biarkan Arsha membasuh muka dulu dan mencium tangan Abi."
Ummi Halimah mengusap pipi Arsha dengan kasih sayang. "Masuklah. Abimu sedang di perpustakaan. Ummi akan siapkan teh hangat dan camilan kesukaanmu."
Arsha menatap pintu rumah yang terbuka lebar itu. Ia tahu, setelah melewati pintu ini, hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Dengan bismillah, ia melangkah masuk, meninggalkan kebisingan dunia di belakangnya, siap menjemput takdir yang telah digariskan di dalam rumah penuh keberkahan tersebut.
...----------------...
Next Episode....
duh Gusti nu maha agung.... selamatkan keduanya.