Bossku Ayah Anakku

Tiga hari berlalu. Hari ini Lea resmi boleh keluar dari rumah sakit. Bocah itu melonjak gembira mendengar kabar itu.

“Akhirnya! Kukira kita akan tinggal di sini selamanya!” rengeknya sambil tertawa. Semua ikut tertawa.

Poppy masih bersama mereka, dan Dasha bertanya apakah keluarganya tidak mencarinya.

“Itu juga yang mau kukatakan. Aku mungkin akan kembali ke Roma malam ini. Aku akan rindu cucu-cucuku,” ucap Poppy haru.

“Aku akan kembali dua minggu lagi, Nenek. Saat itu aku akan bicara dengan Issa. Aku butuh waktu ini untuk anak-anakku dulu. Sepertinya aku terlalu lama mengabaikan mereka.”

“Bagus itu, sayang. Tak lama lagi, kau akan jadi keluarga yang benar-benar utuh. Aku bisa merasakannya.”

“Semoga begitu, Nek. Tapi dengan rahasia sebesar ini… apa Issa masih bisa memaafkanku?”

“Dia akan memaafkanmu. Mungkin tidak langsung, tapi waktu akan menyembuhkan semuanya.” Lucia menepuk bahunya lembut.

Dasha meninggalkan mereka untuk menyiapkan semua dokumen agar Lea bisa segera keluar.

**

Mereka naik mobil sewaan Poppy menuju rumah.

Sepanjang jalan, kedua anak itu terus bercerita tanpa henti. Lucia sama sekali tidak keberatan; malah ia menikmati setiap celoteh polos cucu-cucunya.

Ketika mereka hampir tiba di rumah, Dasha melihat sebuah mobil mewah terparkir di depan pagar rumahnya.

Ia mengernyit. Mobil itu tidak dikenalnya.

“Apakah Levi ganti mobil?” tanyanya pada anak-anak.

“Tidak, Mima. Mobil Paman masih sama,” jawab Leo.

Lalu siapa? pikirnya cemas.

Begitu mobil berhenti, si kembar langsung melesat keluar, berlomba menuju pintu rumah.

“Leo, Lea! Hati-hati! Baru keluar dari rumah sakit, jangan sampai balik lagi ke sana,” seru Poppy.

“Yey! Aku duluan!” teriak Lea. “Maaf, Nek”

“Baiklah, kau menang lagi,” jawab Poppy sambil tersenyum.

“Maaf juga, Nek!” tambah Leo.

“Tidak apa-apa, anak manis. Sekarang bantu Nenek turun, ya.”

Sementara mereka masuk ke rumah, Dasha membantu sopir menurunkan barang-barang.

Tinggal ia seorang di luar ketika mendengar suara yang amat dikenalnya.

“Mima?”

Suara itu membuat tubuhnya kaku. Ia tahu siapa pemilik suara itu, bahkan tanpa menoleh.

Perlahan ia menoleh, berharap ini hanya halusinasi.

“Mima?” ulang suara itu.

“I-Issa! A-apa yang kamu lakukan di sini?” katanya terbata.

Namun Issa tidak menjawab pertanyaannya. Ia menatap tajam dan mengulang, kali ini lebih dalam, “Mima?”

“Aku bisa jelaskan,” ucapnya dengan suara bergetar.

“Dasha, sialan… kamu sudah jadi ibu?! Kau sudah menikah?!”

Mata Issa penuh amarah, kebingungan, dan luka.

“Tidak! Aku tidak menikah. Tolong biarkan aku jelaskan dulu. Kita bicara baik-baik.” Air mata Dasha jatuh deras.

“Jangan gunakan air mata itu padaku, Dasha.”

“Aku tahu, aku salah. Aku mohon maaf.” Ia mengusap pipinya, tapi air mata terus mengalir. “Tolong… izinkan aku menjelaskan.”

“Masuk ke mobilku. Sekarang.”

Issa berbalik dan menuju mobil mewah itu. Rupanya mobil tadi miliknya.

Dasha segera masuk ke kursi penumpang. Begitu sabuk pengamannya terpasang, mobil melaju cepat. Ia tak tahu ke mana mereka akan pergi. Ia hanya berusaha mengumpulkan keberanian.

Ternyata pertemuan kami terjadi lebih cepat dua minggu. Aku belum siap, tapi ini sudah terjadi.

Ia mengirim pesan pada Ibunya bahwa ia keluar sebentar untuk berbicara dengan seseorang, agar mereka tidak khawatir.

Mobil berhenti di atas bukit sepi tempat yang bahkan belum pernah ia datangi sebelumnya.

“Sekarang, jelaskan,” suara Issa dingin.

“Aku… aku minta maaf.”

“Dari tadi aku dengar kata itu terus. Aku tidak butuh maafmu, aku butuh penjelasan. Kau benar-benar ibu mereka?”

“Y-ya… dan Papa mereka adalah…”

“Jadi apa artinya hubungan kita waktu itu? Semua yang kita lalui?”

“...kamu.” suaranya nyaris tak terdengar.

“Apa?!” bentak Issa. “Ulangi!”

“Kamu Papa mereka.” ucap Dasha lirih, menunduk.

“Jangan tundukkan wajahmu, Dasha. Lihat aku!”

“Aku minta maaf, Issa. Tolong tenang dulu agar kita bisa bicara baik-baik.”

“Bagaimana aku bisa tenang setelah tahu kau menyembunyikan dua anak dariku?! Jelaskan bagaimana itu bisa terjadi!”

“Aku takut, Issa. Aku pengecut. Aku… aku tidak tahu harus bagaimana.”

“Dasha, apa salahku sampai kamu melakukan ini padaku?” kini air mata mengalir di wajah Issa.

“Aku sungguh menyesal. Aku tahu aku salah besar. Aku akan lakukan apa pun agar kau memaafkanku.”

“Aku tak tahu, Dasha. Sekarang, bawa aku menemui ANAK-ANAKKU yang telah kau sembunyikan dariku. Dan… jangan bicara padaku dulu. Aku benar-benar marah. Aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkanmu.”

Ia berjalan kembali ke mobil, membanting pintu dengan keras.

Dasha menatap pemandangan indah di hadapannya, tapi hatinya terasa hancur. Ia tersenyum getir.

Aku memang bodoh. Semua ini salahku.

Ia berjalan kembali menuju mobil Issa.

Semoga suatu hari kau bisa memaafkanku, Issa. Aku akan menunggu. Aku akan berusaha keras agar pantas mendapatkan maafmu.