NovelToon NovelToon
Embun Di Balik Kain Sutra

Embun Di Balik Kain Sutra

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Cinta Terlarang / Romansa pedesaan
Popularitas:563
Nilai: 5
Nama Author: S. N. Aida

Di Desa Awan Jingga—desa terpencil yang menyimpan legenda tentang “Pengikat Takdir”—tinggal seorang gadis penenun bernama Mei Lan. Ia dikenal lembut, tapi menyimpan luka masa lalu dan tekanan adat untuk segera menikah.

Suatu hari, desa kedatangan pria asing bernama Rho Jian, mantan pengawal istana yang melarikan diri dari kehidupan lamanya. Jian tinggal di rumah bekas gudang padi di dekat hutan bambu—tempat orang-orang jarang berani mendekat.

Sejak pertemuan pertama yang tidak disengaja di sungai berembun, Mei Lan dan Jian terhubung oleh rasa sunyi yang sama.
Namun kedekatan mereka dianggap tabu—terlebih karena Jian menyimpan rahasia gelap: ia membawa tanda “Pengkhianat Istana”.

Hubungan mereka berkembang dari saling menjaga… hingga saling mendambakan.
Tetapi ketika desa diguncang serangkaian kejadian misterius, masa lalu Jian kembali menghantui, dan Mei Lan harus memilih: mengikuti adat atau mengikuti hatinya yang berdegup untuk pria terlarang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 4 — Benang Sutra yang Bergetar

​Seorang penenun yang hebat memiliki hubungan yang intim dengan alat tenunnya. Bagi Mei Lan, alat tenun kayu jati itu bukan sekadar mesin; ia adalah perpanjangan dari jiwanya, sebuah wadah tempat ia menuangkan emosi yang tidak terucapkan. Biasanya, saat ia duduk di bangku tenun, pikirannya menjadi jernih, seperti air sungai yang diendapkan. Tetapi tidak beberapa hari terakhir ini.

​Benang pakan yang seharusnya disisipkan dengan ketenangan sempurna kini terasa sulit dikendalikan. Tangannya bergetar, dan ritme tuk-tak yang menjadi detak jantungnya sering kali terputus oleh jeda yang tiba-tiba, jeda yang diisi oleh bayangan seorang pria yang berdiri di ambang pintu gudang padi.

​Mei Lan sedang mengerjakan tugas terpentingnya: menenun kain Cahaya Bintang—kain sutra yang sangat halus yang akan menjadi hadiah persembahan bagi para leluhur saat puncak Festival Panen. Kain itu harus berwarna perak, diwarnai menggunakan mineral langka yang hanya ditemukan di Gua Kaca di puncak gunung.

​“Fokus, Mei Lan, fokus,” bisiknya pada dirinya sendiri, menyisipkan benang dengan hati-hati. “Kain ini tidak boleh memiliki cacat. Ini untuk leluhur.”

​Namun, pikiran itu terus kembali pada saat ia melihat punggung Rho Jian yang penuh luka. Bagaimana luka-luka itu tampak seperti peta dari sebuah perang yang tragis, dan bagaimana matanya yang dingin memancarkan kelelahan yang sama dengan yang ia rasakan. Jian adalah kain yang rusak, dan Mei Lan, sang penenun, merasakan dorongan yang tak tertahankan untuk memperbaikinya.

​Nona Yuhe, yang sedang mengamati, menyadari kegelisahan itu. Ia duduk di sebelah Mei Lan, mengelus helai sutra yang baru saja ditenun.

​“Kainmu tegang, Gadis Manis,” kata Nona Yuhe, suaranya lembut. “Tidak selembut biasanya. Ada beban yang Kau bawa ke sini. Beban itu akan membuat kainmu kaku, dan leluhur tidak menyukai kekakuan.”

​Mei Lan menghela napas, menghentikan tenunannya. “Saya minta maaf, Nona Yuhe. Saya… saya hanya sedang memikirkan perkataan Kepala Desa Liang.”

​Nona Yuhe mengusap bahu Mei Lan, pandangannya penuh makna. “Kepala Desa Liang hanyalah seekor lalat yang terus berdengung. Jangan biarkan lalat mengganggu tangan penenun. Ada hal lain. Pria di gudang padi itu. Sudahkah Kau bertemu dengannya lagi?”

​Mei Lan menunduk. “Hanya sekali, di sungai.”

​“Dan sekali saja sudah cukup untuk menggetarkan benang sutramu?” Nona Yuhe tersenyum, senyum yang menunjukkan bahwa ia tidak marah, hanya prihatin. “Mei Lan, ingat, orang-orang seperti dia adalah benang takdir yang paling liar. Mereka datang dari luar tenunan kita, membawa angin topan dan rahasia yang tidak bisa kita pahami. Kau adalah gadis desa yang polos. Jangan biarkan benang asing merusak pola utamamu.”

​“Tapi, Nona Yuhe,” Mei Lan mengangkat wajahnya, keberaniannya muncul. “Dia terlihat sangat terluka. Saya melihat luka di punggungnya. Bukan luka baru, tetapi parut-parut yang dalam. Dia tidak tampak seperti Pengkhianat yang diceritakan orang-orang. Dia tampak seperti korban.”

​“Semua pengkhianat adalah korban, dan semua korban bisa menjadi pengkhianat, Mei Lan,” balas Nona Yuhe, nada suaranya berubah menjadi sangat serius. “Pria itu membawa beban politik istana, Kau tidak punya tempat untuk beban itu. Istana itu kejam, Mei Lan. Jauhi dia. Jauhi gudang padi itu.”

​Meskipun Nona Yuhe memberinya nasihat yang bijaksana, ada sesuatu dalam sorot mata wanita tua itu yang membuat Mei Lan merasa bahwa Nona Yuhe tidak hanya berbicara tentang Jian, tetapi juga tentang masa lalunya sendiri. Nona Yuhe selalu tampak terlalu memahami tentang bahaya dari luar desa.

​Mei Lan harus menyelesaikan tugasnya: memindahkan gulungan kain yang sudah diwarnai ke gudang penyimpanan di sisi lain desa, dekat dengan alun-alun. Ini adalah pekerjaan yang biasanya ia nikmati—berjalan di bawah matahari sore, merasakan angin lembut yang membawa aroma ladang kering.

​Sambil membawa gulungan kain yang lumayan berat di pundaknya, ia memilih rute pintas. Rute pintas ini adalah jalan setapak sempit yang meliuk di antara pagar tanaman tinggi dan rumah-rumah tua.

​Saat ia berjalan, ia merasakan suasana desa yang mulai berubah seiring mendekatnya Festival. Di sudut jalan, ia melihat Kepala Desa Liang sedang berbicara dengan seorang pria asing yang berpakaian rapi, wajahnya tampak angkuh. Itu pasti Putra Pedagang Cheng yang ambisius. Mei Lan buru-buru menunduk, mencoba bergerak secepat mungkin, menghindari konfrontasi baru.

​Ketika ia berbelok tajam di antara pagar tanaman bambu, ia tiba-tiba bertubrukan dengan seseorang.

​Gulungan kain yang ia bawa hampir jatuh, dan tangannya secara refleks terentang untuk menstabilkan diri, mendarat di dada orang yang ia tabrak.

​Tubuhnya menegang, dan ia mendongak.

​Itu adalah Rho Jian.

​Ia tidak mengenakan jubah gelapnya seperti biasa, melainkan kemeja katun tipis berwarna abu-abu. Ia baru saja kembali dari hutan, membawa seikat kayu bakar yang diikat rapi. Bau kayu suren yang kering dan sedikit bau tanah menempel di udara di sekitarnya.

​Jian tidak terkejut, tetapi ia jelas tegang. Matanya yang gelap memancarkan peringatan yang hampir sama dengan saat mereka bertemu di sungai, tetapi kali ini, ada lapisan kebingungan yang samar.

​Mereka berdiri begitu dekat, di jalan setapak yang begitu sempit, sehingga Mei Lan bisa merasakan kehangatan yang memancar dari kulitnya. Jari-jari Mei Lan masih bertumpu di dadanya. Dadanya terasa keras, seperti batu, tetapi ada ritme jantung yang berdetak di bawah telapak tangannya. Ritme itu, meskipun cepat, terasa seimbang dan kuat.

​“Maafkan saya,” bisik Mei Lan, segera menarik tangannya. Ia merasa panas menjalar di seluruh wajahnya. Sentuhan yang tidak disengaja itu terasa terlalu lama, terlalu intim. Itu adalah sentuhan paling dekat yang pernah ia rasakan dengan seorang pria sejak pertunangan lamanya batal.

​Jian tidak bergerak, tidak mundur. Ia hanya berdiri di sana, menatap Mei Lan lurus di mata, seolah-olah ia sedang memindai tenunan yang rumit dan mencoba menemukan cacat.

​“Kau terlalu cepat berjalan,” kata Jian, suaranya rendah dan serak, bahkan lebih rendah dari saat di sungai.

​“Saya harus cepat,” jawab Mei Lan, berusaha untuk tidak terengah-engah. “Saya ingin menghindari Kepala Desa Liang dan tamu-tamunya.”

​Jian menyipitkan matanya. “Putra pedagang itu?”

​Mei Lan mengangguk, terkejut bahwa Jian tahu. Tentu saja, Jian pasti sudah mendengar gosip di pasar.

​“Mereka menekan saya untuk menikah dengannya,” kata Mei Lan, tanpa sadar mengungkapkan beban hatinya. “Saya tidak ingin menikah. Saya hanya ingin menenun.”

​Wajah Jian tetap tanpa ekspresi, tetapi matanya menunjukkan pergerakan. Ada semacam pengakuan. Ia tahu rasanya ditekan oleh kekuatan besar, dipaksa untuk menjadi sesuatu yang tidak ia inginkan.

​Jeda itu, dalam keheningan jalan sempit yang hanya diisi oleh suara angin di dedaunan, terasa seperti ruang hampa yang menarik mereka. Jian tidak berbicara, tetapi tatapannya mengatakan banyak hal: Aku tahu bagaimana rasanya terperangkap.

​Mei Lan menatap lekat-lekat ke mata Jian. Di sana, ia melihat bayangan Pengkhianat Istana yang diceritakan Nona Yuhe, tetapi ia juga melihat kelelahan dari seorang pria yang hanya ingin bersembunyi.

​“Kau ingin aku menghilang,” kata Mei Lan, suaranya nyaris seperti pertanyaan. “Seperti yang Kaulakukan saat di sungai. Kau ingin aku tidak melihat lukamu.”

​Jian akhirnya memecah keheningan dengan desahan yang sangat pelan. Ia melangkah mundur satu langkah, hanya satu langkah, cukup untuk membiarkan Mei Lan lewat, tetapi tidak cukup jauh untuk melepaskan diri dari ketegangan yang ada.

​“Aku ingin Kau tidak melihat apa-apa,” jawab Jian, suaranya kembali dingin, seperti perisai yang kembali terangkat. “Karena apa yang ada padaku hanya membawa bahaya. Dan Kau… Kau terlalu rentan.”

​Mei Lan merasakan nyeri di dadanya, nyeri yang bercampur dengan rasa dambaan yang baru. Jian tidak menghinanya, tetapi ia menjauhkannya. Ia tahu itu adalah tindakan perlindungan, dan itu membuat Mei Lan makin tertarik.

​“Saya bukan anak kecil,” balas Mei Lan, memegang erat gulungan kain di pundaknya. “Saya bisa memilih. Dan apa yang Kau lihat, Jian? Saat Kau melihatku?”

​Pertanyaan itu, yang terucap dengan keberanian yang tak terduga, seolah menyentuh inti dari Rho Jian. Pria itu terdiam, alisnya sedikit berkerut, seperti sedang memecahkan kode yang rumit.

​“Aku melihat… kerapuhan,” kata Jian, suaranya nyaris berbisik, tetapi setiap kata terasa berat, seperti batu yang dilempar ke air sunyi. “Kerapuhan yang terikat oleh benang yang terlalu kuat.”

​Lalu, ia mengalihkan pandangannya, seolah terlalu sulit untuk menatap Mei Lan lebih lama lagi. “Pergilah, Mei Lan. Jangan kembali ke sini. Jalan ini terlalu sepi untuk seorang gadis sepertimu.”

​Mei Lan mengangguk, tenggorokannya tercekat. Ia tahu ia harus pergi, tetapi setiap bagian dari dirinya ingin bertahan, ingin mengatakan padanya bahwa ia tidak takut pada kerapuhan. Ia tidak takut pada benang yang terlalu kuat.

​Ia melangkah perlahan melewatinya, merasakan bau kayu bakar, tanah, dan maskulinitas Jian yang mentah. Saat mereka berjarak beberapa langkah, Mei Lan berbalik, menatap punggung Jian yang kokoh.

​“Sampai jumpa, Rho Jian,” katanya, lebih sebagai janji daripada perpisahan.

​Jian tidak menoleh. Ia hanya mengangkat tangannya sedikit, memberi lambaian penolakan yang tidak lengkap, lalu melanjutkan jalannya ke gudang padi.

​Mei Lan melanjutkan perjalanannya ke gudang penyimpanan, tetapi ia tidak lagi peduli pada Kepala Desa Liang atau Putra Pedagang Cheng. Satu-satunya hal yang ia rasakan adalah sisa kehangatan dari sentuhan yang tidak disengaja di dada Jian, dan kata-kata Jian yang masih bergema di telinganya: “Kerapuhan yang terikat oleh benang yang terlalu kuat.”

​Malam itu, saat ia kembali ke alat tenunnya, Mei Lan tidak bisa menenun. Ia hanya duduk di sana, memandang benang sutra yang bergetar samar karena angin malam. Benang-benang itu tidak lagi kaku. Mereka kini terasa bergetar, dipenuhi dengan ketegangan yang baru, ketegangan yang datang dari tatapan yang terlalu lama dan sentuhan yang tidak bisa dilupakan. Rasa ingin tahu telah berubah menjadi rasa dambaan yang berbahaya. Benang takdir mereka kini terasa semakin dekat.

1
Rustina Mulyawati
Bagus ceritanya... 👍 Saling suport yuk!
marmota_FEBB
Ga tahan nih, thor. Endingnya bikin kecut ati 😭.
Kyoya Hibari
Endingnya puas. 🎉
Curtis
Makin ngerti hidup. 🤔
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!