"Kamu harus ingat ya, Maira, posisi kamu di rumah ini nggak lebih dari seorang pengasuh. Kamu nggak punya hak buat merubah apa pun di rumah ini!"
Sebuah kalimat yang membuat hati seorang Maira hancur berkeping-keping. Ucapan Arka seperti agar Maira tahu posisinya. Ia bukan istri yang diinginkan. Ia hanya istri yang dibutuhkan untuk merawat putrinya yang telah kehilangan ibu sejak lahir.
Tidak ada cinta untuknya di hati Arka untuk Maira. Semua hubungan ini hanya transaksional. Ia menikah karena ia butuh uang, dan Arka memberikan itu.
Akankah selamanya pernikahan transaksional ini bejalan sedingin ini, ataukah akan ada cinta seiring waktu berjalan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon annin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 24 Mudah Lepas
Maira mulai menjalankan usahanya dengan menjadi afiliator produk Rose$kin milik ibu mertuanya. Ia tak menyangka dalam waktu dua minggu keuntungan yang ia peroleh cukup lumayan.
Ia makin semangat untuk meneruskan usaha ini. Setidaknya sampai ia bisa punya cukup uang untuk keluar dari rumah ini secara terhormat. Maira sudah merencanakan semua, kalau nanti ia sudah siap secara finansial, ia sendiri yang akan mengajukan gugatan cerai. Karena itulah ia begitu santai menyikapi vidio Arka yang dikirim orang tak dikenal itu, meski awalnya sempat kaget. Maira bahkan tak peduli dengan siapa Arka berhubungan. Hati dan mentalnya sudah begitu kuat teruji akan pria itu.
"Mai, kamu udah siap?" seru Rosmala yang masuk ke kamar Zara.
"Udah, Ma. Ini Zara juga udah siap."
Rosmala mendekat. Menyentuh pipi gembul Zara. "Cantiknya cucu, Oma. Buruan, yuk, entar Papa kamu ngomel."
Maira segera menggendong Zara membawanya keluar untuk pergi dengan Arka dan kedua mertuanya. Siang ini mereka akan menghadiri acara resepsi pernikahan saudara sepupu Arka di Jogja.
Perjalanan dengan pesawat ditempuh dalam waktu kurang lebih satu jam. Mereka langsung menuju hotel tempat acara. Semua sudah disiapkan oleh keluarga pengantin.
Ini kali pertama Maira berkenalan secara langsung dengan keluarga besar Arka. Waktu pernikahannya dulu mereka tak sempat berkenalan lebih jauh karena sibuknya acara.
"Wah, pengantin baru kita. Gimana-gimana, udah hasil belum?" tanya Kinasih—yang tak lain adalah kakak kandung Rosmala.
"Tanya sendiri tuh sama anaknya," jawab Rosmala menimpali.
Malu-malu Maira menggeleng. Bagaimana mau hasil, disentuh saja tidak. Tapi Maira bersyukur akan hal itu, setidaknya ia akan mudah lepas dari Arka nantinya.
"Apa kabar, Tante, Om," sapa seorang pemuda pada Rosmala dan Aditya. Ia menyalami kedua orang tua itu dengan takzim. Lalu menyapa Arka dan Maira.
Pandangan pria itu tertahan beberapa detik pada Maira. Sampai Kinasih yang merupakan orang tuanya berdehem mengingatkan.
"Oh, maaf. Soalnya waktu Arka nikah saya kan nggak datang, jadi saya kagum aja. Arka emang pinter kalau milih istri. Nggak pernah ada yang fail, ya, Ka," goda pemuda yang bernama Rendra itu.
"Bisa aja kamu bercandanya." Justru Rosmala yang menanggapi, sedang Arka terlihat cuek digoda sepupunya seperti itu.
"Udah selesai kuliah kamu di Singapore?" tanya Aditya.
"Udah, Om. Rencana aku mau ngajar di Jakarta juga. Boleh nggak nanti aku tinggal sama Om dan Tante?" Rendra memang tipe yang humoris. Pria yang berusia tiga tahun lebih tua dari Arka itu adalah seorang akademisi. Baru-baru ini ia menyelesaikan program doktornya di salah satu universitas di Singapore.
"Boleh, lah. Malah Om seneng nanti ada temen ngobrol. Arka sejak balik ke rumahnya sendiri, jarang main ke rumah Mama-Papanya. Sibuk terus sama istri." Aditya ikut-ikutan berkelakar.
"Ya udah, kalian istirahat dulu aja. Besok pas acara biar nggak capek banget," usul Kinasih. Yang disetujui oleh Rosmala dan Aditya.
Keluarga Arka pun meninggalkan loby hotel untuk ke kamar masing-masing.
"Liatin apa, kamu?" tanya Kinasih pada anak sulungnya yang masih lajang. Ia sadar benar ke mana tatapan sang anak tertuju.
"Kamu jangan macem-macem ya, Ren. Dia istri Arka. Saudara kamu!"
"Tenang aja, Bu. Aku tahu dan aku bisa jaga diri aku dengan baik," jawab Rendra. Meyakinkan keresahan hati ibunya.
"Ibu pegang omongan kamu!" Kinasih langsung pergi meninggalkan Rendra sendiri di loby.
Sepeninggal ibunya, pria itu mengambil dompet dari saku celana. Mengeluarkan sebuah potret yang lama tersimpan dan selalu ia bawa ke mana pun ia pergi. Menatapnya dalam.
"Maira," gumamnya lirih. Menyebut nama istri dari sepupunya.
*****
Santi terus mengomel pada Shela dan meminta anaknya itu mengakui siapa ayah dari anak yang Shela kandung.
"Mama ini ngomong apa, sih?" elak Shela saat Santi menuduhnya tengah hamil. Sebagai ibu, Santi tahu apa yng menjadi ciri-ciri wanita tengah berbadan dua.
Sebelumnya ia juga melihat tanda-tanda yang sama pada Raswa. Ia tak mau kecolongan dua kali.
"Shela, kamu jangan main-main ya sama, Mama. Sekarang kamu bilang siapa ayah anak kamu itu?"
"Aku nggak hamil, Ma. Aku cuma masuk angin aja. Mama aja yang overthinking." Shela masih menyangkal.
"Mama nggak bodoh ya, Shel!"
"Terserah Mama aja deh kalau nggak percaya. Yang pasti aku nggak akan seperti Kak Raswa!" Shela yang keras kepala meninggalkan sang ibu begitu saja. Ia bersiap untuk pergi ke kampus sekarang. Tak peduli dengan semua praduga yang ibunya lontarkan padanya hanya karena melihat ia muntah-muntah tadi pagi.
Sebelum ke kampus, ia menghubungi Willy untuk mengajak ketemu di tempat biasanya. Sayangnya berulang kali ia mencoba menelepon, nomor Willy sudah tidak aktif lagi.
"Ke mana sih kamu, Wil? Pake matiin telepon segala! Awas aja ya kalau ketemu nanti, nggak akan aku kasih ampun," omel Shela dengan tatapan tertuju pada ponsel di tangan.