Alya, gadis sederhana dan salehah yang dijodohkan dengan Arga, lelaki kaya raya, arogan, dan tak mengenal Tuhan.
Pernikahan mereka bukan karena cinta, tapi karena perjanjian bisnis dua keluarga besar.
Bagi Arga, wanita berhijab seperti Alya hanyalah simbol kaku yang menjemukan.
Namun bagi Alya, suaminya adalah ladang ujian, tempatnya belajar sabar, ikhlas, dan tawakal.
Hingga satu hari, ketika kesabaran Alya mulai retak, Arga justru merasakan kehilangan yang tak pernah ia pahami.
Dalam perjalanan panjang penuh luka dan doa, dua hati yang bertolak belakang itu akhirnya belajar satu hal:
bahwa cinta sejati lahir bukan dari kata manis… tapi dari iman yang bertahan di tengah ujian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ricca Rosmalinda26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sore Hangat
Arga duduk di ruang tamu, mengenakan kemeja abu-abu dan jam tangan hitam. Ia menatap koran sejenak, lalu menyesap kopinya. “Acara keluarga nanti malam, jam berapa?” tanyanya datar tanpa menatap Alya.
Alya menoleh lembut. “Kata Mama, mulai jam tujuh malam, Mas. Makan malam keluarga besar, katanya semua keluarga besar Maheswara akan hadir.”
Arga mengangguk pelan. “Baik. Gue akan datang. Nanti malam gue temenin lo.”
Nada suaranya masih dingin, tapi cukup untuk membuat Alya menatapnya sejenak, sedikit terkejut. Sejak menikah, ini pertama kalinya Arga menyatakan sendiri bahwa dia akan menemani.
“Terima kasih, Mas,” ucap Alya dengan senyum kecil. “Mama pasti senang kalau Mas datang.”
Arga menghela napas, menatap jam tangannya. “Gue nggak datang pun, mereka bakal ngomel. Jadi ya, lebih baik datang sekalian. Lagipula, gue harus jaga nama baik keluarga di depan para keluarga yang lain.”
Alya hanya tersenyum lembut, tidak tersinggung. “Masih lebih baik datang dengan niat baik, daripada datang dengan beban di hati.”
Arga meliriknya sekilas. “Lo selalu bisa bikin kalimat terdengar bijak, ya.”
Alya tersenyum tipis. “Saya hanya berusaha mengingatkan, Mas. Bukankah Rasulullah bersabda, ‘Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.’”
Arga mendengus pelan, menatapnya sambil meneguk kopinya lagi. “Kalau gue diam, nanti lo bilang gue dingin. Kalau gue ngomong, lo pakai hadis buat jawab. Susah juga hidup serumah sama lo.”
Ucapan itu terdengar seperti sindiran, tapi Alya tak menanggapinya dengan kesal. Ia hanya menunduk, lalu berkata lembut,
“Kalau begitu, mungkin aku harus lebih banyak diam, Mas.”
Arga terdiam sejenak. Ada sesuatu di nada suara Alya yang membuat dadanya terasa aneh. Bukan karena kata-katanya, tapi karena ketenangannya. Perempuan itu tidak pernah marah, bahkan saat dia menyindirnya. Ia hanya tetap bersikap baik, seolah keangkuhan Arga bukan sesuatu yang bisa melukai.
Setelah beberapa saat, Arga meletakkan sendoknya.
“Pagi ini gue ke proyek dulu. Ada tim arsitek yang mau presentasi rancangan baru untuk klien luar negeri. Mungkin pulang sore.”
Alya mengangguk sopan. “Baik, Mas. Semoga urusannya lancar.”
“Gue nggak suka basa-basi kayak gitu,” ujar Arga tanpa menatapnya. “Tapi terima kasih.”
Alya menatapnya sejenak, lalu kembali fokus pada rotinya.
“Mas,” ucapnya pelan, “kalau sore nanti aku boleh izin ke salon? Mama sempat kasih rekomendasi salon yang bagus.”
Arga mendongak sedikit, ekspresinya netral tapi matanya menajam.
“Salon?”
“Iya,” jawab Alya lembut. “Hanya make-up saja. Tidak berlebihan, insyaAllah tetap sesuai syariat.”
Arga memandangnya lama. Seolah menimbang apakah permintaan itu pantas atau tidak.
“Pergi sore-sore sendirian?”
“Nggak, Mas. Seperti biasa, aku akan ditemani Pak Hasan.”
Arga menghela napas pelan, lalu bersandar di kursi.
“Nggak usah pergi dulu sebelum gue pulang,” katanya akhirnya. “Gue yang anter. Sekalian nanti kita langsung ke rumah Mama.”
Alya sempat terdiam sejenak, agak kaget dengan ucapan itu.
“Mas yang nganter?” tanyanya pelan.
Arga menatapnya sekilas. “Kenapa? Lo pikir gue nggak bisa bersikap sebagai suami di depan orang tua gue sendiri?”
“Bukan begitu, Mas…”
“Ya sudah. Tunggu gue pulang. Gue paling lambat sore sudah di rumah.”
Alya mengangguk kecil. “Baik, Mas. Aku tunggu.”
Suasana hening lagi. Alya melanjutkan sarapannya dengan perlahan, sementara Arga kembali menatap ponselnya, membaca pesan dari Bima. Namun, di balik nada suaranya yang dingin tadi, ada sedikit nada tanggung jawab yang mulai terasa, seolah Arga mulai mencoba memainkan perannya, meski belum sepenuh hati.
Setelah Arga berangkat, rumah kembali tenang. Mbok Dharmi membersihkan ruang tamu, sementara Alya membereskan meja makan. Di sela-sela aktivitasnya, ia memandangi kursi tempat Arga duduk tadi pagi.
“Dia bilang mau nganter aku ke salon,” gumam Alya pelan sambil tersenyum samar. “Semoga Allah lembutkan hatinya sedikit demi sedikit.”
Dia tahu Arga masih jauh dari kata lembut, apalagi hangat. Tapi baginya, setiap langkah kecil adalah kemajuan. Setidaknya, kini Arga mulai berbicara tanpa kemarahan. Dan mungkin, itu adalah bentuk awal dari perbaikan yang Allah tunjukkan secara perlahan.
Sementara itu, di lokasi proyek, Arga berdiri di antara para pekerja dengan wajah serius. Udara siang terasa terik, namun matanya fokus menatap struktur bangunan tinggi yang sedang dikerjakan. Ia berbicara dengan para arsitek, memberi instruksi, menegur satu dua kesalahan.
Namun sesekali, pikirannya melayang ke rumah.
Bayangan wajah tenang Alya pagi tadi entah kenapa terlintas begitu saja. Cara Alya menunduk saat berbicara, nada lembutnya, dan ucapan dengan ayat serta hadis yang menenangkan.
Arga tidak mengerti. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
Bukankah seharusnya dia sudah terbiasa dengan perempuan yang jauh lebih menarik, lebih bebas, lebih berani? Tapi mengapa sekarang sosok sederhana itu perlahan masuk ke pikirannya?
Dia mendengus kecil, menepis pikirannya.
“Tidak mungkin,” gumamnya pelan. “Gue cuma terpaksa, itu saja.”
Namun entah mengapa, nada dingin itu terasa seperti pembelaan yang lemah.
Menjelang sore, Arga kembali ke rumah. Mobilnya berhenti di halaman, dan dari jendela ruang tamu ia melihat Alya sedang berbicara dengan Mbok Dharmi sambil membawa tas kecil. Gaun biru muda yang ia kenakan membuatnya tampak lembut dan bersih, wajahnya tampak segar meski tanpa riasan.
Begitu Arga masuk, Alya menyambut dengan tenang.
“Mas sudah pulang?”
“Iya,” jawab Arga sambil melepas jas. “Lo udah siap?”
“Sudah, Mas. Aku tunggu dari tadi.”
“Oke.” Arga menatap jam tangannya. “Kita ke salon dulu, tapi jangan lama. Gue nggak suka menunggu.”
Alya tersenyum pelan. “InsyaAllah, nggak lama, Mas.”
Tanpa banyak bicara lagi, keduanya pun berangkat. Dalam mobil, keheningan kembali hadir di antara mereka. Namun kali ini, keheningan itu tidak lagi terasa sesak seperti dulu. Hanya ada suara jalan dan deru mesin mobil yang pelan.
Arga memegang kemudi dengan tatapan lurus ke depan, sementara Alya duduk di sampingnya, tangannya menahan tas di pangkuan.
Mereka tidak bertukar banyak kata, tapi ada sesuatu yang berbeda, mungkin bukan kedekatan, tapi benih dari pengertian yang perlahan tumbuh tanpa mereka sadari.
Dan di tengah perjalanan itu, di bawah langit sore yang mulai memerah, Alya memejamkan mata sejenak dan berdoa dalam hati:
“Ya Allah, lembutkan hati suamiku. Bimbing aku untuk mencintainya dengan sabar, bukan karena keinginanku, tapi karena ridha-Mu.”
Mobil terus melaju, membawa dua hati yang masih berjarak, namun perlahan, waktu mulai mengikis kebekuan di antaranya.
aku aja klo ngomong diceramahi emosi apalagi modelan arga 🤣🤣