Aruna tahu hidupnya tidak lama lagi. Demi suami dan putri kecil mereka, ia memilih sesuatu yang paling menyakitkan... mencari wanita yang akan menggantikannya.
Alana hadir sebagai babysitter tanpa mengetahui rencana besar itu. Adrian salah paham dan menilai Lana sebagai perusak rumah tangga. Namun, pada akhirnya Aruna memaksa keduanya menikah sebelum ia pergi untuk selamanya.
Setelah Aruna tiada, Adrian larut dalam rasa bersalah dan menjauh dari istri keduanya. Lana tetap bertahan, menjalankan amanah Aruna meski hatinya terus terluka. Situasi semakin rumit saat Karina, adik Aruna berusaha merebut Adrian dan menyingkirkan Lana.
Akankah Adrian berani membuka hati untuk Alana, tanpa mengkhianati kenangan bersama Aruna? Atau justru semuanya berakhir dengan luka yang tak tersembuhkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter — 6.
Setelah lama terpuruk di ruangan kerja, Adrian kembali ke kamarnya dan mendengar suara tangis lirih Aruna di dalam kamar.
Ia berdiri lama di depan pintu, tidak mampu melangkah masuk. Ia tidak siap menghadapi kenyataan yang ia tolak mentah-mentah.
Adrian mengepalkan tangan.
Dalam diam, ketakutan itu tumbuh. Ketakutan kehilangan wanita yang selama ini menjadi pusat seluruh hidupnya.
Pagi itu terasa lebih hampa dari biasanya.
Langit di luar rumah memerah sebelum benar-benar cerah, seolah menahan sesuatu yang berat. Aruna berdiri di depan cermin, menatap wajahnya yang makin pucat. Tulang pipinya lebih menonjol, lingkar hitam di bawah matanya bukan lagi sesuatu yang bisa ditutupi bedak.
Ia menahan napas sejenak, kemudian tersenyum kecil pada pantulan dirinya.
“Sedikit saja aku harus kuat hari ini…”
Senyum itu bukan untuk dirinya, itu untuk Adrian dan untuk putrinya. Agar mereka tidak melihat betapa tubuhnya sudah hampir menyerah.
Alana mengetuk pintu pelan. “Nyonya Aruna… sarapannya sudah siap.”
Aruna mengangguk kecil dan berjalan perlahan menghampiri gadis itu di depan pintu. Gerakannya tampak hati-hati, seperti tulang di tubuhnya bisa patah kapan saja.
“Terima kasih, Lana,” ucapnya lembut.
Lana mengamati sebentar. “Nyonya kelihatan lebih pucat, perlu saya panggil dokter?”
Aruna cepat menggeleng sambil tersenyum. “Tidak apa-apa...”
Alana tidak percaya begitu saja, tapi ia sadar ada batas yang tidak boleh ia lewati.
Adrian sudah duduk di meja makan, menatap cangkir kopinya. Ia belum menyentuhnya. Biasanya, Aruna yang selalu menyuguhkan kopi itu. Tapi kini, kopi itu diracik oleh Alana dengan hafalan yang sudah diajarkan Aruna.
Saat Aruna berjalan memasuki ruang makan, Adrian berdiri refleks dan menatap istrinya dengan alis mengerut.
“Kamu terlihat pucat, hari ini kita akan periksa ke dokter.” Suara pria itu lebih tegas dari seharusnya, nada khawatir yang terselip tapi tertutup oleh sikap tenang. Ia tak ingin istrinya curiga, jika dia sudah mengetahui penyakitnya.
“Enggak Mas, aku akan ke dokter jika perlu.”
“Jadi menurutmu sekarang tidak perlu?” Suara Adrian meninggi sedikit tanpa ia sadari.
Aruna menunduk. “Aku baik-baik saja.”
Alana menyaksikan percakapan itu dalam diam. Ia melihat kekhawatiran di mata Adrian, namun juga melihat tembok besar yang memisahkan mereka.
Adrian menarik napas panjang, mencoba meredam emosinya. “Aruna… aku tidak suka kamu menyembunyikan sesuatu dariku.”
Aruna tersenyum lagi. “Justru itulah… aku tidak ingin kamu khawatir.”
Adrian hendak menjawab, namun suara ceria memotong.
“Mamaaaaa!” Alima berlari dan langsung memeluk kaki Aruna.
Aruna membungkuk, memeluk putrinya seolah itulah sumber kekuatannya yang tersisa di dunia.
“Ayo sarapan dulu,” ucap Aruna lembut.
Makanan pagi itu terasa hambar meski Alana sudah berusaha memasak sebaik mungkin.
Adrian mencicipi makanan itu… dan terdiam. Bukan karena rasanya kurang enak, justru karena rasanya terlalu mirip masakan Aruna.
“Masakan Lana makin enak, kan? Dia sudah belajar banyak tentang semua kebiasaan dan kesukaan kamu, Mas.” Ujar Aruna santai.
Adrian menyipitkan mata, dia menatap dingin Alana. “Kau, belajar banyak tentang… aku?”
Alana terkejut dan menggeleng cepat. “Saya hanya melakukan apa yang diminta Nyonya, Tuan.”
“Benar begitu?” Nada dingin itu kembali lagi.
Aruna menepuk tangan Adrian pelan. “Aku yang minta dia belajar, agar dia bisa membantu lebih banyak di rumah ini.”
Adrian menoleh ke Aruna, seperti ingin memaksa istrinya jujur.
Aruna hanya tersenyum… lagi dan lagi. Namun, senyum istrinya kini mulai terlihat menyakitkan.
Siang hari...
Aruna meminta Alana keluar bersama Alima untuk membeli beberapa keperluan. Gadis itu menuruti, dengan sedikit bingung karena biasanya Aruna ingin selalu bersama Alima.
Begitu pintu rumah menutup, Aruna menyender pada sofa. Dada kirinya terasa seperti diremas dari dalam, napasnya tercekat. Ia menekan rasa sakit itu sambil meraba ponselnya, ia tahu ia butuh bantuan.
Namun sebelum ia menekan tombol nomor dokter, tubuhnya kehilangan tenaga. Telepon itu terjatuh, pandangannya berputar.
Adrian yang mempunyai firasat buruk dan kembali dari kantor, langsung melihat istrinya terkulai di sofa.
“Aruna?!” Ia berlari menghampiri.
Aruna berusaha tersenyum, tapi tubuhnya melemah. “Aku hanya… sedikit pusing…”
Adrian memeluknya erat. “Cukup! Aku tidak mau mendengar alasan lagi! Kita ke rumah sakit sekarang.”
Aruna tidak sempat menolak lagi, kesadarannya mengambang.
Sebelum semuanya gelap… Aruna sempat berbisik. “Maafkan aku…”
Di rumah sakit, suara monitor jantung berdetak pelan saat Aruna akhirnya membuka mata. Kamarnya putih, aroma obat menyeruak. Tangannya terasa dingin dan berat ditutupi selang infus.
Adrian menatapnya dari samping ranjang, dengan mata merah karena panik dan marah yang bercampur.
“Kenapa kamu tidak cerita?” suaranya serak.
Aruna menggeleng pelan. “Aku tidak ingin kamu khawatir…”
“Bagaimana aku tidak khawatir kalau kamu pingsan di depan mataku!” Adrian meninggikan suara, tapi suaranya pecah di akhir kalimat.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Aruna melihat air mata menggantung di sudut mata suaminya.
Ia mengangkat tangannya dengan lemah, menyentuh pipi Adrian. “Aku hanya ingin kamu bahagia.”
“Apa maksudmu…?” Adrian menahan napas, takut mendengar jawabannya.
Aruna tersenyum. “Aku akan ceritakan semuanya. Hanya… tidak sekarang. Aku harus pastikan dulu semuanya siap…”
“Aruna…”
“Aku janji kamu akan mengerti.”
Air yang menetes dari mata Adrian jatuh tepat di tangan Aruna.
Aruna memejamkan mata, menyimpan setiap detik itu dalam hati. Karena ia tahu… waktunya tak akan lama lagi.
Alana kembali ke rumah bersama Alima, ia terkejut mendengar kabar dari Adrian jika Aruna dirawat. Ia secepatnya pergi ke kamar rumah sakit, diluar kamar rawat Adrian menunggu lalu menggendong Alima.
Alana melangkah masuk ke dalam, begitu melihat Aruna terbaring dengan selang dan infus, hatinya remuk.
“Nyonya Aruna…” Alana menghambur mendekati ranjang.
Aruna tersenyum teduh. “Aku tidak apa-apa…”
“Kamu tidak perlu bilang begitu.” Adrian memotong dingin. “Kamu harus mulai jujur pada orang-orang yang peduli padamu.”
Aruna menatap suaminya, lalu menatap Alana. “Maafkan aku… aku menyayangi kalian.”
Alana menunduk, ada rasa yang tidak bisa ia jelaskan.
Malamnya.
Adrian duduk di kursi samping ranjang, masih menggenggam tangan Aruna seolah itu adalah satu-satunya yang membuatnya berfungsi sebagai manusia.
Aruna membuka mata dan melihat pria yang ia cintai sepanjang hidup sedang terjaga hanya untuk menjaganya.
“Mas…” panggilnya.
“Ya?”
“Aku ingin kamu berjanji sesuatu.”
Adrian menatapnya penuh perhatian.
“Aku ingin kamu… menikahi Lana.”
Jantung Adrian seperti berhenti berdetak.
“Apa yang kamu katakan?” suaranya berubah parau.
Aruna tetap menatap suaminya lembut. “Aku ingin kamu punya seseorang yang akan menjagamu… dan Alima, saat aku tidak ada.”
“Aruna hentikan. Kita tidak bicara hal seperti itu,” ucap Adrian tajam. “Kamu akan sembuh.”
Aruna menggeleng pelan. “Aku tidak akan sembuh, Mas. Dokter sudah mengatakan semuanya, aku... hanya punya waktu sedikit.”
“Tidak! Aku tidak akan menikah dengan siapa pun lagi. Kamu istriku... hanya kamu.”
Aruna tersenyum getir. “Aku tidak bisa berada di sini lebih lama lagi, Mas. Demi Alima... putri kita. Dia butuh seorang ibu yang benar-benar menyayanginya. Alana adalah orang yang tepat, dia orang baik.“
Air mata Adrian jatuh satu per satu.
Aruna menggenggam tangan suaminya lebih erat. “Kumohon, penuhi permintaan terakhirku.”
Adrian menunduk, menahan tangis. “Mengapa harus dia?”
“Karena aku percaya padanya,” bisik Aruna. “Karena aku tahu dia akan mencintaimu… sebaik aku mencintaimu.”
Adrian menutup wajahnya dengan tangan, hatinya nyeri tak berbentuk.
Aruna menarik napas panjang, lalu berbisik lirih. “Janji… atau aku akan pergi dengan hati yang tidak tenang…”
Adrian menatap Aruna lama sekali, ada badai di matanya. Lalu, dalam suara yang paling rapuh yang pernah ia keluarkan sepanjang hidupnya. “Aku… berjanji.”
Aruna tersenyum bahagia, namun itu bukan senyum kemenangan.
Itu senyum perpisahan.
Senyum seseorang yang akhirnya bisa melepaskan… meski seluruh hatinya ingin bertahan. Aruna memejamkan mata, tidurnya terlihat damai.
Namun bagi Adrian, malam itu adalah awal dari neraka yang sesungguhnya. Ia telah berjanji pada cinta dalam hidupnya… untuk memberikan hidupnya kepada wanita lain.
Janji yang belum siap ia tepati, janji yang terasa seperti mengkhianati cinta itu sendiri.
Di luar, hujan turun deras. Seolah langit pun menangisi keputusan yang baru saja dibuat.