Menikah sekali seumur hidup hingga sesurga menjadi impian untuk setiap orang. Tapi karena berawal dari perjodohan, semua itu hanya sebatas impian bagi Maryam.
Di hari pertama pernikahannya, Maryam dan Ibrahim telah sepakat untuk menjalani pernikahan ini selama setahun. Bukan tanpa alasan Maryam mengajukan hal itu, dia sadar diri jika kehadirannya sebagai istri bagi seorang Ibrahim jauh dari kata dikehendaki.
Maryam dapat melihat ketidaknyamanan yang dialami Ibrahim menikah dengannya. Oleh karena itu, sebelum semuanya lebih jauh, Inayah mengajukan agar mereka bertahan untuk satu tahun ke depan dalam pernikahan itu.
Bagaimana kelanjutan pernikahan mereka selanjutnya?
Ikuti kisah Maryam dan Ibra di novel terbaru "Mantan Terindah".
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lailatus Sakinah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tak Ada Lagi Yang Tersisa
Maryam tersenyum getir, pertama kali beradu tatap dengan Ibra pasca perpisahan ternyata di saat mantan suaminya itu tengah bersama calon masa depan yang pernah jadi masa lalunya.
Maryam menghirup nafasnya dalam dan menghembuskannya perlahan. Dalam diam dia mengatur kembali hatinya yang masih merasa sesak setiap kali membayangkan Ibra dengan kehidupan barunya, dengan cintanya dan itu bukan dirinya.
Namun Maryam sadar jika pilihan sudah ditentukannya, berpisah dengan Ibra adalah pilihan agar tak lagi merasakan sakit karena cinta. Dia kira menguatkan diri selama empat bulan di pesantren akan membuat hatinya kembali seperti semula, baik-baik saja tanpa adanya keterpautan pada makhluk yang pernah halal untuknya, namun ternyata tidak semudah itu.
"Teteh, kenapa?" Disa meraih lengan Maryam yang tampak melamun di ambang pintu butik, dia seperi tidak menyadari kemana kakinya melangkah.
"Eh Dis, astaghfirullah ..." Maryam menyadari kecerobohannya, karena pertemuan tidak sengaja dengan Ibra membuat dia larut dalam lamunan.
"Dingin banget tangannya, Teteh sakit?" tanya Disa, dia tampak khawatir melihat raut wajah Maryam yang sedikit memucat.
"Tidak apa-apa, Teteh ke dalam dulu ya, mau istirahat." Maryam buru-buru masuk ke dalam butik, kebetulan ada satu ruang kecil di bagian belakang yang dia buat tertutup untuk sekedar beristirahat.
Maryam buru-buru masuk karena sekilas ujung matanya melihat Ibra yang tampak berlari mengedarkan pandangannya ke setiap toko yang ada di lantai itu.
"Dia mencariku?" gumam Maryam tanpa menoleh ke luar butik dan memilih bersembunyi, belum sanggup untuk bersua dengan mantan suaminya itu.
"Ah ... Harusnya aku bisa bersikap biasa saja ketemu dengan Akang, tapi kenapa tubuh ini bereaksi lain." sesal Maryam, kedua tangannya tampak gemetar, bahkan keringat dingin tiba-tiba membasahi dahinya.
Sementara di luar butik Ibra mengedarkan pandangannya ke setiap sudut lantai itu, dia dengan jelas Maryam berhenti di lantai itu dan berjalan ke arah gerai pakaian.
Karena tak kunjung menemukan mantan istrinya dia pun memilih kembali memasuki lift menuju lantai teratas pusat perbelanjaan dimana kantor manajemen berada.
"Akhirnya, kamu datang juga." Direktur utama mall XX yang merupakan sahabat Ibra tampak antusias menyambut kedatangan sahabatnya itu. Dia senang akhirnya pemilik saham terbesar mall XX berkunjung ke kantornya.
"Hanya sebentar, aku harus kembali ke kantor." balas Ibra tanpa minat.
Hari pun berlalu, Ibra kembali pada rutinitasnya. Bekerja dan bekerja.
Senja menguap perlahan dari balik jendela kantor yang tak lagi semeriah dulu. Laki-laki itu terduduk di balik meja kerjanya, jemarinya tak bergerak di atas laptop. Suasana hening hanya dipecah oleh ketukan tumit sepatu seseorang.
"Ibra…"
Sebuah suara lembut tapi tegas menyapanya. Sosok perempuan berpenampilan rapi, dengan blazer krem dan aroma parfum khasnya masuk perlahan ke ruangan. Tasya.
Wanita yang dulu pernah tiga kali menolak lamarannya. Yang pernah begitu dicintainya hingga membuatnya lupa pada logika.
Ibra mendongak, mencoba tersenyum, hambar.
"Hai, Tasya. Tumben ke sini." Ibra mencoba bersikap biasa, berdamai dengan menjadi teman, sekedar teman.
"Aku lagi ada proyek dekat sini. Kupikir, ya... kenapa nggak sekalian mampir? Lagipula kita sekarang sama-sama sendiri, kan?"
Ibra diam. Tak langsung menjawab. Tatapannya kosong menembus bayangan senja di balik kaca. Ternyata Tasya belum menyerah.
"Kenapa diam? Kamu terlihat... berbeda."
Tasya mengambil tempat duduk di seberang meja.
"Tasya..." Ibra menghela napas panjang.
"Kamu tahu? Ada hal-hal dalam hidup yang baru kita sadari nilainya setelah semuanya terlambat." Sifat ambisius Tasya ternyata berlaku dalam segala hal, bukan hanya dalam pendidikan dan karir namun tentang cinta, se obses itu dia.
"Apa maksudmu?" Tasya menaikkan alis, penasaran.
"Aku kehilangan seseorang... yang bukan kamu."
Tasya menggigit bibirnya, lalu tersenyum kecut.
"Masih tentang mantan istrimu?" Tasya sempat geram saat beberapa hari yang lalu melihat Ibra yang berlari ke sana ke mari mencari keberadaan mantan istrinya di mall XX sampai-sampai dirinya ditinggalkan begitu saja.
"Dia bukan sekadar mantan istri, Sya. Dia... rumah. Aku datang padanya sebagai orang asing yang dijodohkan, tapi dia menerima aku dengan sepenuh hati. Bahkan saat aku masih menyimpan bayang-bayangmu, dia tetap mencintaiku tanpa syarat."
"Ibra, aku minta maaf waktu itu… aku pikir mengejar mimpi itu lebih penting..."
Ibra memotong pelan, nadanya tenang namun terluka.
"Aku nggak menyalahkan kamu. Justru karena kamu menolak, aku akhirnya menikah. Tapi bukan pernikahan yang membuatku mencintai mantan istriku... melainkan caranya mencintai aku yang membuat aku belajar mencintainya."
Hening. Tasya menunduk, matanya mulai memanas.
"Tapi kalian sudah bercerai. Kamu bebas sekarang, Bra… kita bisa mulai lagi."
Ibra menggeleng, lirih.
"Perpisahan kami bukan karena cinta yang hilang. Tapi karena aku terlalu bodoh mempertahankan bayangan masa lalu. Termasuk kamu..."
Tasya terpaku. Ibra, laki-laki yang begitu mencintainya dan sabar menunggunya kini telah berubah.
"Aku ingin kembali padanya, Sya. Bukan karena dia istri yang baik, tapi karena tanpanya... aku ternyata kosong. Bahkan ketika kamu datang hari ini, aku sadar... perasaanku padamu sudah mati sejak dia pergi."
"Kalau dia menolakmu?"
"Aku akan terus menunggu. Karena kali ini, bukan karena dijodohkan, bukan karena pelarian… tapi karena aku mencintainya dengan sadar."
Tasya menarik napas, pahit.
"Aku datang berharap kamu masih menyimpan rasa. Ternyata aku terlambat... lagi." Dulu dia terlambat kembali karena Ibra sudah terlanjur menikah karena perjodohan yang dilakukan orang tuanya.
Ibra menatapnya, lembut tapi mantap.
"Dan kali ini, aku tidak akan salah memilih. Bukan cinta yang ditunda, tapi cinta yang tidak akan kubiarkan pergi lagi." balas Ibra mantap.
Kedua bola mata Tasya memanas, dengan jelas Ibra melihat setetes air bening itu membasahi pipi wanita yang pernah di cintainya.
Andai dulu itu terjadi, Ibra akan menjadi orang pertama yang menghapus air mata itu. Tapi tidak kali ini, dia semakin yakin jika tak ada lagi rasa yang tersisa untuk wanita dari masa lalunya.
Ibra siap-siap patah hatii seperti nya....
semoga up nya gak lama-lama lagi yaa Thor 🤩🤩🤩🙏🙏🙏
percuma punya gelar $2, tapi kelakuan malah jadi seorang Pelakor 😡😡